Dewan Museum Internasional menetapkan tema ”Museum untuk Kesetaraan: Keanekaragaman dan Inklusi” untuk merayakan Hari Museum Internasional 2020. Momen ini untuk mendorong perbaikan pengelolaan museum di Tanah Air.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan museum di Indonesia perlu mengubah pendekatannya kepada pengunjung agar lebih segar dan bersemangat interaktif. Museum bukan lagi sebagai institusi budaya yang bersifat satu arah. Tata kelolanya harus mampu berkembang seiring perkembangan zaman yang menuntut pendekatan komunikasi dua arah.
”Tidak hanya perubahan pada tata pamer, tetapi juga program museum itu sendiri, cara penyampaian, dan pengemasan konten informasi kepada pengunjung,” ujar dosen Arsitektur Universitas Indonesia, Nevine Rafa Kusuma, Senin (18/5/2020), di Jakarta, saat ditanya refleksi penting pada peringatan Hari Museum Internasional yang jatuh setiap 18 Mei.
Setiap tahun sejak 1977, Dewan Museum Internasional (ICOM) telah menyelenggarakan Hari Museum Internasional setiap tanggal 18 Mei. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran tentang fakta bahwa museum merupakan sarana penting pertukaran, pengayaan, kerja sama budaya, dan perdamaian di antara orang-orang.
Mengutip laman ICOM, di seluruh dunia, semakin banyak museum berpartisipasi pada Hari Museum Internasional. Pada 2019, terdapat lebih dari 37.000 museum di 158 negara berpartisipasi dengan membuat acara.
Pada 18 Mei 2020, ICOM memilih tema ”Museum untuk Kesetaraan: Keanekaragaman dan Inklusi” guna merayakan Hari Museum Internasional. Tema ini diharapkan menjadi titik temu untuk merayakan keragaman perspektif yang membentuk komunitas museum.
Nevine mengatakan, dengan tema museum untuk kesetaraan berarti pengelolaan sebuah museum harus bisa menciptakan pengalaman ruang bagi pengunjung. Dengan demikian, siapa pun pengunjung bisa menikmati seluruh informasi.
Pengelolaan yang inklusif, lanjut dia, berarti harus memperhitungkan pengunjung disabilitas. Tata letak sampai penyajian informasi atas artefak dapat menggunakan pendekatan multisensorik, cetak tiga dimensi, dan audiovisual.
Nevine lantas mencontohkan Museum Tactile Antique and Modern Painting yang mereplikasi lukisan dari zaman Renaissance ke wujud cetak tiga dimensi. Pengunjung tunanetra jadi bisa ikut menyentuh karya. Pengunjung lain pun jadi punya pengalaman baru.
Ketua Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta Yiyok T Herlambang berpendapat tentang pentingnya mengelola museum tanpa ada bias pengunjung. Salah satu caranya adalah memperkuat program atau konten.
”Museum sebagai institusi budaya seyogianya memang dikelola menyerupai wisata MICE atau pertemuan, insentif, konferensi, dan acara. Setiap pengembangan kontennya harus dikaji. Pihak pengelola dapat bekerja sama dengan akademisi dan komunitas,” kata Yiyok.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, salah satu pekerjaan rumah museum - museum di Indonesia adalah kompetensi sumber daya manusia. Kecakapan sumber daya manusia bisa membangun sistem permuseuman menjadi profesional.
”Jadi, akan ada peningkatan kapasitas besar-besaran yang melibatkan pihak luar untuk tugas dan fungsi yang belum bisa ditangani dari dalam,” ujar Hilmar.
Terkait kelembagaan, dia mengaku, sudah beberapa tahun terakhir pemerintah mendorong pengelolaan museum menjadi lebih profesional. Salah satunya adalah ide mendorong Museum Nasional bertransformasi menjadi badan layanan umum (BLU). Ketika menjadi BLU, maka museum bisa merekrut tenaga profesional dan leluasa mencari profit yang dikembalikan lagi untuk kebutuhan museum.
”Pembahasan soal BLU sudah masuk tahap final. Museum Nasional sudah menyiapkan kajian lengkap beserta rencana ke depan. Kami segera akan membahas secara detail dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Keuangan,” ucap Hilmar.