Waspadai Kekerasan terhadap Anak yang Tersamarkan
Covid-19 berdampak serius terhadap anak. Selain terpaksa harus belajar dari rumah, pembatasan sosial yang berdampak pada perekonomian keluarga juga membuat anak rentan mengalami kekerasan.
Dari sisi kesehatan, jumlah anak yang terpapar virus korona baru tidak sebesar orang dewasa. Namun, dampak pandemi Covid-19 sangat besar terhadap anak.
Selain terpaksa harus belajar dari rumah, pembatasan sosial yang memaksa keluarga-keluarga harus diam di rumah dan berdampak pada roda perekonomian keluarga membuat anak-anak rentan mengalami kekerasan.
Meskipun laporan kasus kekerasan terhadap anak selama pandemi turun, tidak berarti kasus kekerasan terhadap anak tidak banyak terjadi. Kekerasan fisik, psikis, dan seksual saat ini tidak banyak terungkap karena ada hambatan-hambatan bagi korban untuk melapor, menyusul kebijakan pembatasan sosial yang membuat semua harus tinggal di rumah.
”Sebelum pandemi, kekerasan terhadap anak memang masih merupakan gunung es, tapi pucuk gunung es setidaknya masih bisa dilihat. Tapi sekarang, ibarat gunung es, fenomena kekerasan terhadap anak, situasi dan kondisinya seberapa parah, saat ini sangat tersamarkan. Sebab, dalam situasi seperti ini, siapa yang bisa masuk ke ranah domestik untuk kalau keluarga sendiri tidak melaporkan,” tutur Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Nahar, Selasa (19/5/2020).
Saat ini, berapa jumlah angka kekerasan terhadap anak sulit diprediksi. Hanya saja, dengan situasi krisis beserta berbagai tekanan psikis dan dampak ekonomi, potensi terjadinya kekerasan di keluarga-keluarga saat pandemi sangat besar.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sejak 1 Januari hingga 17 Mei 2020 menunjukkan, angka kekerasan terhadap anak yang dilaporkan berbagai layanan ke Kementerian PPPA mencapai 2.191 kasus, dengan jumlah korban 2.400 anak dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 554 anak.
Adapun bentuk kekerasan yang paling banyak diterima anak sebelum dan sesudah pandemi sama, yaitu kekerasan seksual, fisik, dan psikis. ”Jadi, semua harus tetap waspada. Praktik kekerasan dalam berbagai bentuk terhadap anak terus terjadi. Buktinya, beberapa kasus kekerasan tetap muncul meskipun di saat pandemi,” ucap Nahar.
Ibarat gunung es, fenomena kekerasan terhadap anak, situasi dan kondisinya seberapa parah, saat ini sangat tersamarkan.
Saat tampil berbicara pada diskusi webinar ”Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar ChildFund Internasional Indonesia, Kementerian PPPA, serta Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Nahdlatul Ulama, Selasa siang, Nahar juga menyatakan, jika dilihat angka pelaporan kasus yang masuk di Kementerian PPPA sebelum dan sesudah pandemi, memang ada penurunan jumlah laporan.
Akan tetapi, hal itu terjadi karena ada sejumlah hambatan yang dihadapi, terutama protokol dalam pelaporan kasus selama kebijakan pembatasan sosial.
Selain karena adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan oleh banyak daerah, pelaporan berkurang secara signifikan juga disebabkan beberapa hal, misalnya belum banyak provinsi dan kabupaten/kota yang menyiapkan sarana pengaduan berbasis online untuk memudahkan korban melaporkan kasus yang dialami serta kesulitan korban mengakses lembaga layanan.
”Akses pelaporan kasus kekerasan juga terbatas karena keberadaan pelaku yang kemungkinan di dekat korban atau dipengaruhi oleh ketergantungan korban terhadap pelaku sehingga tidak ada alternatif lain selain tidak melaporkan kasus yang dialaminya,” ungkap Nahar.
Selain itu, juga karena kurangnya peran lingkungan untuk memberikan pertolongan kepada korban kekerasan. Dengan demikian, penurunan pencatatan yang terlaporkan dalam aplikasi Simfoni PPA ini belum tentu berarti adanya penurunan kasus kekerasan dalam masa pandemi Covid-19.
Karena itulah, Nahar mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak di lingkungannya. Keluarga-keluarga yang menghadapi persoalan, terutama masalah psikis, diminta tidak ragu-ragu mengakses layanan psikologi yang disiapkan pemerintah.
Layanan tersebut adalah Layanan Psikologi untuk Sehat Jiwa (SEJIWA) yang bisa diakses melalui telepon 119 extension 8. Selain itu, layanan dapat diakses melalui web browser: http://bit.ly/kamitetapada, surat elektronik: pengaduan@kemenpppa.go.id, dan telepon: 0821-2575-1234, 08111922911.
”Suami-istri yang menghadapi masalah di rumah, cobalah berkonsultasi ke layanan-layanan yang sudah disiapkan. Jangan biarkan masalah dihadapi sendiri. Ketika berada dalam tekanan psikis yang tinggi, orangtua harus menahan diri dan jangan sampai melampiaskan kemarahan pada anak-anak,” ujar Nahar.
Dukungan lembaga keumatan
Imbauan kepada masyarakat untuk melindungi anak dari berbagai kekerasan pada masa pandemi juga disuarakan kalangan pemimpin lembaga keagamaan/keumatan, antara lain oleh Rakimin (pengurus LPBI NU), Romo Sugihartanto (Keuskupan Agung Semarang), dan Pdt Jimmy Sormin (Sekretaris Eksekutif Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia).
Rakimin menyatakan, LPBI NU memberikan dukungan psikososial islami untuk anak di tengah pandemi Covid-19, bentuknya dalam aktivitas rumahan yang menyenangkan dan aktivitas santri rumahan. Misalnya, aktivitas santri rumahan dengan menghidupkan shalat berjemaah, tilawah dan tadarus Al Quran, ngaji literasi Islam, zikir, dan tahlil harian.
”Kami memberikan dukungan psikososial islami untuk anak untuk memahami musibah Covid-19, memaknai dan menyikapi Covid-19, dan menemukan hikmah wabah Covid-19, kemudian berprasangka baik (husnudzhan), saling mendukung dan menolong, saling terbuka dan peduli, dan saling berbagi,” ujar Rakimin.
Baca juga : Anak Rentan Alami Berbagai Risiko Saat Pandemi Covid-19
Hal yang sama dilakukan pihak gereja, seperti yang dilakukan PGI dan pihak Keuskupan Agung Semarang. ”Bagi keluarga-keluarga yang memerlukan layanan konsultasi, silakan menghubungi kami,” ujar Romo Sugihartanto.
Adapun Pdt Jimmy mengungkapkan, sejauh ini bentuk-bentuk pelayanan PGI terkait kebutuhan anak di masa pandemi antara lain dengan memberikan pelayanan anak secara virtual, untuk modelling bagi gereja-gereja anggota PGI, membuat unjung bincang terkait isu orangtua dan anak, memberikan dukungan psikososial melalui platform konsul.online, serta dukungan penguatan ekonomi dan ketahanan pangan.