Membuka Sekolah di Tengah Korona
Membuka sekolah di masa pandemi jadi pertaruhan besar. Pembelajaran jarak jauh perlu dijadikan pilihan sampai pandemi benar-benar bisa dikendalikan. Namun, kelemahan pembelajaran jarak jauh harus bisa diselesaikan.
Tahun ajaran baru 2020/2021 tetap dimulai pada pertengahan Juli 2020. Namun kapan sekolah dibuka kembali, masih menjadi perdebatan. Pendidikan memang tidak boleh berhenti karena pandemi Covid-19, tetapi kesehatan anak-anak harus menjadi prioritas utama.
Pro dan kontra mewarnai rencana pembukaan sekolah yang ditutup sejak pertengahan Maret 2020. Ada yang setuju sekolah dibuka di zona hijau Covid-19 dengan tetap menjalankan protokol kesehatan, tetapi tak sedikit yang minta pembelajaran jarak jauh dilanjutkan hingga aman dari penyebaran Covid-19, paling tidak hingga satu semester ke depan.
Survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menunjukkan, 70 persen guru yang disurvei setuju pembelajaran tetap dilakukan jarak jauh secara daring. Sekitar 30 persen guru setuju sekolah dibuka kembali pada pertengahan Juli 2020. Anak-anak pun banyak yang ingin sekolah segera dibuka kembali.
Survei yang dilakukan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listiarty pun menunjukkan demikian. Sebanyak 56 persen dari 18.111 guru dan 63,7 persen dari 9.643 anak yang berpartisipasi dalam survei menyatakan setuju sekolah dibuka kembali pada Juli 2020. Namun, 66 persen dari 196.559 orangtua menolak sekolah dibuka pada Juli 2020.
Orangtua tidak setuju sekolah dibuka lagi (Juli) karena kasus Covid-19 masih tinggi, dan mereka meragukan infrastruktur negara untuk normal baru
“Anak-anak jenuh dengan pembelajaran jarak jauh, mereka rindu sekolah, dan tidak nyaman di rumah. Sedangkan orangtua tidak setuju sekolah dibuka lagi (Juli) karena kasus Covid-19 masih tinggi, dan mereka meragukan infrastruktur negara untuk normal baru,” kata Retno dalam Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, dengan tema ”Nasib Pendidikan di Era New Normal”, dan dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredja, Rabu (3/6/2020).
Narasumber lain yang tersambung dalam diskusi virtual itu Juru Bicara Kantor Staf Presiden Donny Gahral, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, pakar Kebijakan Pendidikan Cecep Darmawan, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan, dan Anies Hidayah, orangtua siswa. Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diundang, tidak hadir.
Anies mengatakan, anaknya juga rindu masuk sekolah lagi, tetapi di sisi lain juga takut. Sebagai orangtua, Anies setuju jika tahun ajaran baru 2020/2021 dilanjutkan dengan pembelajaran jarak jauh.
Dia mengusulkan ada masa transisi sebelum sekolah dibuka kembali, apakah dengan cara siswa bergantian masuk sekolah, terutama siswa baru. Masa transisi ini pun harus memperhatikan berbagai pertimbangan agar siswa dan guru tetap aman.
Pemerintah belum memutuskan kapan sekolah akan dibuka kembali. Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Donny, tengah mengkaji hal ini sekaligus menyiapkan protokol untuk pembukaan sekolah. Presiden Joko Widodo minta agar rencana pembukaan sekolah ini dikaji secara mendalam, termasuk dengan mengacu indikator-indikator epidemiologi.
“Kemungkinan (pembukaan sekolah) akan ditunda karena terlalu berisiko, kesehatan masih harus diprioritaskan. Sampai kapan itu, tergantung hasil kajian Kemenko PMK dan Kemendikbud. Kalaupun dibuka kembali, maka protokol normal baru akan diberlakukan secara ketat,” kata Donny.
Dengan pertimbangan kesehatan, Aman mengusulkan pembukaan sekolah diundur hingga Desember 2020. Anak termasuk kelompok rentan terinfeksi Covid-19, kasus anak dengan positif Covid-19 di Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 30 Mei lalu terdapat 1.851 kasus Covid-19 pada anak usia kurang dari 18 tahun.
Baca juga: 1.851 Anak Indonesia Tertular Covid-19, Upaya Pencegahan di Hulu Tidak Optimal
Selain itu, sebagaimana terjadi di masyarakat selama ini, tidak ada jaminan protokol kesehatan dapat diterapkan dengan ketat di sekolah. Pembukaan sekolah justru bisa menciptakan klaster baru Covid-19. Dia mencontohkan uji coba pembukaan 15 sekolah di New South Wales, Australia selama satu bulan yang dilakukan dengan pemantauan dan protokol yang ketat. Setelah satu bulan, 18 orang positif terinfeksi Covid-19, terdiri dari sembilan guru dan pegawai, serta sembilan siswa.
Dengan kondisi kasus Covid-19 yang masing tinggi di Indonesia, termasuk pada anak-anak, kata Aman, maka kesehatan anak harus menjadi prioritas utama. Hak pertama anak adalah hak hidup, baru kemudian hak untuk sehat, dan ketiga kesejahteraan dan pendidikan. “Anak Indonesia adalah pusaka kita yang harus kita jaga,” kata dia.
Pembukaan sekolah harus mengacu pada data kesehatan, angka reproduksi (Rt) dan angka reproduksi/tingkat penularan awal (R0) harus di bawah 1 dengan syarat kasus nol selama satu bulan. Idealnya ini berlaku nasional karena pergerakan manusia yang sangat dinamis tidak ada jaminan bahwa daerah zona hijau akan tetap aman.
Tes usap juga harus diperbanyak, paling tidak 30 kali lipat dari kondisi saat ini. Pelacakan (tracing) dan surveilans yang saat ini barus diilakukan di enam provinsi harus dilakukan secara maksimal di semua provinsi, karantina dan isolasi harus semaksimal mungkin, dan jarak sosial tidak boleh ditawar-tawar.
“Empat hal ini bukan menu restoran yang bisa didiskon atau ditawar-tawar. Tolong beri empat ini semaksimal mungkin jika kita ingin menyelamatkan anak bangsa. Bangsa yang besar adalah yang anaknya bisa selamat untuk masa pandemi ini,” kata dia.
Baca juga: Menghitung Risiko Pembukaan Sekolah
Sistem baru pendidikan
Lantas bagaimana dengan keberlanjutan di masa pandemi ini? Pendidikan harus tetap berlanjut meski mungkin tidak bisa ideal. Pembelajaran jarak jauh yang berlangsung sejak pertengahan Maret lalu harus dievaluasi untuk menentukan sistem baru pendidikan di masa pandemi.
Kejenuhan siswa dan guru yang mendorong mereka ingin sekolah dibuka kembali pada Juli harus menjadi masukan untuk memperbaiki sistem pembelajaran ke depan. Survei KPAI terhadap 1.700 siswa yang sebagian besar menyatakan hanya mendapatkan tugas-tugas dari guru menunjukkan bahwa proses pembelajaran jarak jauh membosankan.
“Penting untuk evaluasi, reformulasi, pembelajaran jarak jauh sudah tiga bulan, anak-anak jenuh, harus ada formulasi baru jika benar-benar nanti tatap muka (mulai) Januari. Lima bulan ini untuk menyusun grand design-nya mau seperti apa. Jangan sampai anak-anak stress, orangtua juga stress. Apalagi orangtua minggu depan sudah masuk kerja, tidak bisa mendampingi anak-anak seperti selama ini,” kata Anies.
Mengubah sistem pendidikan dengan menata kembali aspek kurikulum dan tata kelola pendidikan, kata Unifah, menjadi kebutuhan agar anak-anak tetap dapat belajar di rumah dengan lebih efektif. Kemendikbud mempunyai waktu paling tidak lima bulan untuk menyusun kurikulum yang sesuai di masa pandemi, sekaligus memperluas akses sumber daya digital bagi siswa yang terkendala dalam pembelajaran daring selama ini.
Kendala pembelajaran daring karena ketiadaan akses internet dan perangkat teknologi informasi pada sejumlah anak di sejumlah daerah, kata Cecep, harus menjadi masukan bagi pemerintah untuk menyusun perencanaan pendidikan, termasuk membuat kebijakan yang lebih pro pembelajaran jarak jauh.
Baca juga: Bias Kelas Pembelajaran Daring
Memperkecil bias kelas dalam pembelajaran daring dan juga pembenahan kurikulum menjadi pekerjaan rumah pemerintah sembari menyiapkan pembukaan sekolah. Menurut Retno, negara harus hadir untuk ini. KPAI meminta agar presiden mulai mengarahkan politik anggaran ke arah pendidikan, misalnya pemakaian dana desa untuk pendidikan.
“Kami juga sarankan agar infrastruktur disiapkan. Hasil pengawasan kami, kita-kita hanya 20 persen sekolah yang mempunyai infrastruktur untuk normal baru,” kata dia.
Donny memastikan, pemerintah akan berusaha mengatasi bias kelas dalam pembelajaran daring. Terkait usulan realokasi dana desa, selama ini dana desa juga digunakan untuk penanganan Covid-19. Namun jika dinilai perlu, pemerintah akan menganggarkan lagi untuk keperluan membantu akses internet bagi mereka yang tidak mampu agar bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Apapun keputusan pemerintah, kata Cecep, masukan para ahli harus menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan. Demikian juga dalam rencana pembukaan sekolah, keputusan yang diambil pun harus berdasar evaluasi, yang melibatkan berbagai pihak, termasuk sekolah dan pemerintah daerah.