Dilema Membuka Sekolah di Tahun Ajaran Baru
Belum ada kepastian sekolah tatap muka secara fisik akan dibuka lagi. Baik pembukaan sekolah maupun pembelajaran jarak jauh memiliki konsekuensi masing-masing. Di tengah pandemi, siswa butuh pendidikan yang adaptif.
Rencana pembukaan sekolah untuk menyambut tahun ajaran baru 2020-2021 menimbulkan polemik di masyarakat. Sebagian pihak mendukung sekolah dibuka kembali, tetapi banyak pula yang menentangnya.
Apa pun alasannya pro-kontra yang terjadi, pendidikan bagi anak tetap harus berlangsung. Namun, upaya adaptif dibutuhkan demi melindungi kesehatan dan keselamatan semua pihak.
Pengumpulan pendapat masyarakat melalui survei singkat yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan 63,7 persen siswa dan 54 persen guru setuju kegiatan belajar-mengajar di sekolah mulai diberlakukan pada 13 Juli 2020. Adapun 66 persen orangtua menolak rencana itu.
Pengumpulan pendapat itu dilakukan anggota KPAI, Retno Listyarti, melalui akun Facebook-nya selama 32 jam, antara 26-28 Mei 2020. Responden yang ikut serta dalam survei itu terdiri atas 9.643 siswa, 196.546 orangtua murid, dan 18.111 guru.
Menurut Retno, orangtua menolak pembukaan sekolah pada 13 Juli 2020 karena kasus Covid-19 masih tinggi dan khawatir anaknya tertular korona, hingga terbatasnya fasilitas cuci tangan di sekolah. Anak-anak setuju sekolah karena mereka sudah jenuh di rumah dan rindu kebersamaan dengan teman-teman.
Terlepas dari validitas hasil terkait metode yang digunakan, Retno, seperti dikutip kompas.id, Rabu (3/6/2020), mengatakan, data hasil pengumpulan pendapat itu unik karena menggambarkan kondisi psikologis tiap-tiap pihak. Karena itu, butuh kajian lebih dalam untuk memahami hasil survei singkat tersebut sebelum membuat kebijakan berbasis data ilmiah yang benar.
Psikolog keluarga dan anak di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jakarta Anna Surti Ariani, Minggu (7/6/2020), mengatakan, tingginya keinginan anak untuk kembali bersekolah bisa dipahami akibat kebosanan yang mereka alami selama belajar di rumah saja hampir tiga bulan terakhir.
Tinggal di rumah saja, melihat ruangan yang itu-itu saja, dengan variasi yang sangat terbatas, tentu sangat membosankan. Terlebih jika rumah mereka kecil atau berupa rumah petak, hanya memiliki satu kamar, dan tidak memiliki halaman, pasti akan lebih menyiksa bagi anak.
Belum lagi bagi anak yang aktif bergerak dan membutuhkan keleluasaan tinggi. Demikian pula bagi anak remaja yang sesuai tahapan perkembangan psikologinya sangat membutuhkan interaksi dengan teman. Meski mereka bisa berinteraksi dengan teman melalui media sosial, kebutuhan paket data yang besar plus batasan orangtua dalam menggunakan gawai bisa menjadi kendala.
Di sisi lain, pembelajaran jarak jauh secara daring juga tidak mudah, khususnya untuk pelajaran tertentu yang menuntut prosesnya dilakukan dengan menulis, seperti pelajaran matematika atau eksakta. Sejumlah siswa juga mengeluhkan sebagian guru justru memberikan banyak tugas selama pembelajaran jarak jauh. Tak jarang guru menuntut pengumpulan tugas dalam bentuk kertas yang harus dikirimkan menggunakan ojek daring.
Anna menambahkan, relasi dalam keluarga juga sangat menentukan nyaman tidaknya anak belajar di rumah. Banyak anak lebih memilih masuk sekolah karena di rumah mengalami kekerasan dan menghadapi banyak ketegangan, seperti pertengkaran antaranggota keluarga yang lain.
”Bagaimanapun setiap orang butuh pelepasan stres yang dihadapi, salah satunya dengan keluar rumah untuk menghindari sumber stres,” katanya.
Sementara anak yang setuju dengan perpanjangan pembelajaran jarak jauh atau belajar di rumah, lanjut Anna, umumnya anak yang tidak mengalami persoalan dengan belajar melalui gawai. Orangtua mereka pun mampu memberikan fasilitas pembelajaran yang dibutuhkan, baik komputer pribadi tanpa perlu bergantian digunakan dengan anggota keluarga yang lain maupun kebutuhan untuk membeli pulsanya.
Meski demikian, tetap ada anak yang memiliki fasilitas lengkap tetap menginginkan pergi kembali ke sekolah. Bagaimanapun setiap anak unik. Persoalan dan tantangan yang mereka hadapi juga beragam.
”Sebagian anak juga nyaman belajar di rumah karena jika belajar di sekolah mereka menjadi korban perundungan,” katanya. Situasi ini juga dihadapi anak yang mengalami kesulitan bergaul dengan teman. Bagi anak dengan tipe seperti ini, belajar di depan gawai membuat hidup mereka lebih damai.
Sementara itu, orangtua yang menolak dibukanya sekolah dalam tahun ajaran baru mendatang umumnya karena khawatir dan takut anak akan tertular korona. Terlebih data Ikatan Dokter Anak Indonesia per 18 Mei 2020 menunjukkan ada 3.324 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), 129 anak PDP meninggal, 584 anak positif Covid-19, dan 14 anak meninggal akibat positif Covid-19.
”Banyak orangtua rela melakukan berbagai kerepotan selama anak belajar di rumah. Namun, anak-anak tetap aman dari korona,” katanya.
Sementara orangtua yang setuju pembukaan sekolah umumnya sadar mereka memiliki keterbatasan dalam mendidik anak, tidak mampu menyediakan fasilitas penunjang pembelajaran jarak jauh, merasa anak juga membutuhkan pergaulan, atau ada juga yang sudah menyerah membantu sekolah anak di rumah hingga lebih baik menyerahkannya kepada guru.
Simalakama
Membuka sekolah di masa pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir memang bagai memakan buah simalakama. Anak tetap berhak mendapat pendidikan yang layak, lingkungan kehidupan yang aman dan juga sehat. Namun, anak juga berhak untuk bertumbuh kembang dengan baik.
Menurut Anna, dari lima aspek tumbuh kembang anak, yaitu fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan sosial, aspek yang relatif tidak terganggu akibat pembelajaran di rumah adalah aspek kognitif dan bahasa. Namun itu akan berlaku sepanjang orangtua bisa mengajari anak mereka dan membuat anak tidak stres menghadapi situasi yang serba terbatas di rumah.
Aspek fisik pasti terganggu karena gerak anak menjadi terbatas. Padahal, ”Kurang gerak pada anak, juga pada orang dewasa, rentan memicu depresi yang pasti akan memengaruhi emosinya,” katanya.
Belajar di rumah juga membuat aspek sosial dalam tumbuh kembang anak tidak akan bisa berkembang optimal. Aspek ini mensyaratkan anak bertemu dengan beragam orang dan lingkungan. Namun, terbatasnya lingkungan selama tinggal di rumah saja pasti membuat pertemuan anak dengan orang lain jadi terbatas. Belum lagi jika orang yang ditemui menggunakan masker. Mereka akan makin sulit melihat ekspresi orang karena beberapa ekspresi hanya bisa dilihat melalui gerak mulut atau hidung saja.
Meski demikian, lanjut Anna, orangtua tetap bisa berperan agar tumbuh kembang anak tetap berlangsung selama pandemi meski terbatas. Namun, ini membutuhkan usaha dari orangtua, termasuk membekali diri dengan keterampilan pengasuhan anak yang lebih baik.
Kalaupun pemerintah tetap ingin membuka sekolah pada tahun ajaran baru, sistem masuk sekolah bergilir seperti karyawan bisa diterapkan. Tidak semua kelas perlu masuk bersama dan masuk sekolah bisa dijadwalkan hanya beberapa hari dalam sebulan, tidak perlu masuk setiap hari. Jam pelajaran pun juga tidak perlu penuh seperti dalam situasi normal.
Alternatif lain adalah memadukan belajar di sekolah untuk pelajaran yang membutuhkan pertemuan langsung, seperti pelajaran eksakta, dan belajar di rumah untuk pelajaran lain. Namun, itu bisa dilakukan sepanjang protokol kesehatan dipatuhi. Meski demikian, tampaknya banyak sekolah untuk menyiapkan fasilitas cuci tangan, sabun, dan air bersih saja masih kesulitan.
Alternatif
Psikolog pendidikan yang juga anggota Presidium Jaringan Pendidikan Alternatif, Karina Adistiana, mengatakan, semua pihak perlu beradaptasi dengan situasi pandemi yang bisa berlangsung lama. Siswa, orangtua, pendidik, hingga pemerintah pusat dan daerah perlu memikirkan pola pendidikan yang tepat tanpa mengorbankan hak anak atas pendidikan dan kesejahteraannya.
”Pandemi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem pendidikan hingga menjadi lebih kontekstual dan fleksibel,” katanya.
Kontekstual membuat proses pembelajaran jarak jauh seharusnya tidak dilakukan dengan memindahkan pembelajaran di sekolah secara luring menjadi daring seperti yang banyak dilakukan sekolah-sekolah selama ini. Model pembelajaran jarak jauh ini hanya bisa menjangkau mereka yang tidak memiliki kendala akses terhadap gawai dan sinyal. Padahal, banyak daerah belum memiliki sinyal yang baik, termasuk di Jawa, dan banyak keluarga memiliki persoalan dalam membeli gawai yang sesuai dan pulsa.
Siswa dan orangtua juga banyak mengeluhkan stres dan sakit fisik gara-gara stres selama model pembelajaran jarak jauh itu diterapkan, seperti mules, diare, dan pusing saat pembelajaran dilakukan. Pengiriman foto siswa berseragam sebagai bukti kehadiran, praktik olahraga renang di atas kasur, hingga berbagai tugas yang terasa janggal diberikan saat pola pembelajaran berubah.
Di sisi lain, literasi digital masyarakat secara umum masih rendah, termasuk yang dialami sebagian siswa, guru, ataupun orangtua. Tanpa ada persiapan sama sekali, semua orang kini dipaksa aktif di depan gawai mereka. Proses belajar di depan gawai itu bisa berlangsung berjam-jam sesuai jam pelajaran sekolah. Padahal, sebelum pandemi, kampanye untuk pembatasan penggunaan gawai banyak digencarkan.
”Jika pemerintah ingin meneruskan pembelajaran jarak jauh seperti saat ini, maka butuh waktu untuk menyiapkan siswa, orangtua, dan juga guru hingga semua benar-benar siap,” kata Karina. Banyak guru juga kebingungan mengajar anak dengan pola belajar baru ini. Belum lagi adanya tuntutan untuk menyelesaikan kurikulum tetap ada. Dengan demikian, perbaikan yang dilakukan bukan hanya soal pola pembelajarannya semata, melainkan juga kurikulum dan sistem penilaiannya.
Kontekstualisasi pendidikan itu salah satunya bisa dilakukan dengan mengubah materi pembelajaran berbasis kehidupan di rumah. ”Anak bisa menganalisis masalah dalam lingkungan kecil, seperti mengenal pekerjaan orangtuanya, melihat sistem organisasi dan struktur kerja di rumah, atau mencari solusi alternatif untuk mengatasi persoalan di rumah,” katanya. Di masa depan kemampuan itu bisa dikembangkan hingga anak mampu mengatasi persoalan yang ada di daerahnya.
Namun, kontekstuliasasi pendidikan ini membutuhkan inovasi pendidik dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak bisa bergantung pada pemerintah pusat karena kebutuhan anak di tiap daerah berbeda. Anak-anak di Jawa Tengah dengan lingkungan agraris tentu akan berbeda kebutuhannya dengan anak yang tinggal di wilayah kepulauan seperti di Maluku.
Pemerintah pusat juga tidak bisa lepas tangan dan menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah daerah. Mereka bisa mengerahkan ahli-ahli kurikulum yang dimiliki untuk membantu daerah membangun kurikulum pendidikan yang kontekstual dengan daerahnya berbasis data pendidikan, ekonomi, sosial, hingga budayanya.
”Dengan pola ini, proses standardisasi lulusan berdasarkan kompetensinya tentu akan sulit disamakan. Standardisasi bisa dilihat berdasarkan kemampuan anak mengembangkan keilmuannya termasuk pembangunan daerahnya,” tambah Karina.
Guru juga tidak perlu kaku dalam memberikan tugas kepada anak. Sepanjang anak memahami esensi pelajaran yang diberikan, maka evaluasi, ujian atau ulangan bisa diberikan dengan metode yang berbeda bagi tiap anak. Situasi itu membuat soal ujian yang diberikan kepada siswa bisa berbeda-beda, bergantung kondisi mereka di rumah. Fleksibilitas itu sangat diperlukan dalam pendidikan selama pandemi karena karakter tiap wilayah dan keluarga yang berbeda.
”Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP) bisa berperan aktif dalam menentukan fleksibilitas pembelajaran,” katanya.
Jika pemerintah tetap menginginkan sekolah dibuka, lanjut Karina, protokol kesehatan harus benar-benar dijalankan. Protokol itu bukan hanya dengan mewajibkan siswa menggunakan masker atau cuci tangan sebelum masuk kelas, tetapi yang lebih penting adalah membuat siswa mampu menganalisis situasi hingga mereka tahu kenapa harus memakai masker dan cuci tangan. Dengan kemampuan menganalisis situasi, anak juga bisa tahu kapan mereka harus menjaga jarak dari temannya.
Semua itu butuh persiapan. Karena itulah, sejumlah kalangan pendidikan sudah mengusulkan untuk menunda pembukaan sekolah atau menunda tahun ajaran baru hingga Januari 2021. Waktu yang ada tidak hanya digunakan untuk menunggu agar penyebaran Covid-19 benar-benar terkendali, tetapi juga untuk mempersiapkan pola pendidikan anak selama pandemi.
Baca juga : Benahi Sistem Pembelajaran di Masa Pandemi
Selain itu, waktu yang ada sebelum sekolah benar-benar dibuka juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melakukan pendidikan keluarga melalui jaringan media massa yang luas. Materi pendidikan ini berisi upaya membantu orangtua dan anak untuk tetap sehat jiwa raga dan beradaptasi dengan lingkungan selama pandemi korona berlangsung, seperti pilihan aktivitas yang bisa dilakukan orangtua dan anak di rumah. Hal-hal yang praktis itu lebih dibutuhkan masyarakat daripada perdebatan politik atau ilmiah yang tidak membumi dengan kebutuhan masyarakat.