”Bagi kami, pembaca adalah sentral. Di dunia yang dibanjiri informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan,” ujar Pemimpin Redaksi Harian ”Kompas” Sutta Dharmasaputra.
Oleh
Dwi Bayu Radius
·5 menit baca
Perayaan milad kala pandemi serta-merta melabuhkan kepiluan. Walakin, sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Korporasi selarasnya adalah bahtera yang senantiasa mengarungi gelombang perubahan. ”Kawan Dalam Perubahan” pun dirasa padan sebagai tema HUT Ke-55 Harian Kompas.
Perayaan HUT Ke-55 Kompas disiarkan secara langsung dari Studio KompasTV di Jakarta, Minggu (28/6/2020), tanpa menghadirkan audiens secara fisik. Rekam jejak Kompas silih berganti terpampang dengan transformasi yang tak terelakkan mengikuti perubahan zaman. Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, tokoh publik, dan warga masyarakat juga menyampaikan pandangan dan harapan terhadap Kompas.
Acara yang dipandu pembawa acara Daniel Mananta dan Glory Oyong ini mencakup beragam tradisi pada peringatan HUT Kompas. Salah satunya adalah penganugerahan karya cerpen terbaik. ”Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2019. Dalam setahun, Kompas menerima 2.600 hingga 3.000 kiriman cerpen. Sepanjang 2019, Kompas menyeleksi dan menerbitkan 51 cerpen setiap hari Minggu.
Sejumlah 20 karya dipilih untuk dihimpun dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2019 dan satu ditetapkan sebagai cerpen terbaik. Cerpen karya Ahmad Tohari yang terpilih tahun ini kuat menambah kesemarakan hati, sekaligus menggugat kepekaan pada kesenjangan sosial di sekitar kita.
Menanggapi penghargaan yang ia terima, Ahmad Tohari mengungkapkan harapan agar penulis-penulis muda dapat lebih banyak mengisi ruang bagi karya cerpen yang disediakan Kompas. ”Penghargaan ini panggung yang bisa menginspirasi cerpenis muda untuk lebih giat berkarya. Mari, isi panggung Kompas ini dengan karya terbaik untuk memperkaya kesusastraan Indonesia,” kata Tohari.
Buku Cerpen Pilihan Kompas 2019 juga memuat karya 19 cerpenis lain yang mewakili beragam generasi. Para cerpenis ini adalah Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Agus Noor, Budi Darma, Ahda Imran, Gunawan Maryanto, Yanusa Nugroho, Novka Kuaranita, Sandi Firly, Miranda Seftiana, Rizqi Turama, Putu Oka Sukanta, Triyanto Triwikromo, Indra Tranggono, Zainul Muttaqin, Lina PW, Made Adnyana Ole, Raudal Tanjung Banua, serta Meutia Swarna Maharani.
Kompas juga tetap berkomitmen untuk mengapresiasi cerdik pandai yang setia mendampingi masyarakat. Mereka memberi arah di tengah melimpahnya informasi, bahkan jika harus menyusuri jalan keilmuan yang sunyi.
Kompas juga tetap berkomitmen untuk mengapresiasi cerdik pandai yang setia mendampingi masyarakat.
Anugerah Cendekiawan Berdedikasi 2020 diberikan kepada sejarawan Asvi Warman Adam dan peneliti Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies, Tri Satya Putri Naipospos. Sejak diberikan perdana tahun 2008, penghargaan ini telah diterima oleh 57 orang.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo dalam Satu Meja The Forum Spesial yang menjadi bagian acara peringatan HUT Ke-55 Kompas ini sempat menanyakan kepada Asvi dan Tri mengenai pandemi. ”Terulangnya pandemi menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat. Harus ada ingatan supaya orang bersiap,” kata Asvi.
Menurut Tri, kepanikan karena pandemi kali ini jauh lebih besar dibandingkan saat wabah flu burung yang diawali kematian unggas. ”Kalau sekarang, manusia langsung kena. Negara-negara maju pun tak siap. Tergantung disiplin massal. Mulai dari diri sendiri dan cara mencegah supaya tidak kena,” ucapnya.
”Kawan dalam Perubahan” dipilih sebagai tema dilandasi tekad Kompas menemani pembaca untuk mengarungi era perubahan yang sangat cepat dan menemukan arah. Kolaborasi dengan berbagai pihak kompeten pun akan terus dirajut untuk pengembangan peliputan guna menjawab kebutuhan pembaca.
”Bagi kami, pembaca adalah sentral. Di dunia yang dibanjiri informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan,” ujar Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra. Kompas pun akan terus berupaya mengembangkan jurnalisme solusi dengan memadukan jurnalisme berkedalaman, jurnalisme data, dan jurnalisme makna.
Bagi kami, pembaca adalah sentral. Di dunia yang dibanjiri informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan.
Dijemput pendiri
Sejak Kompas pertama kali terbit pada 28 Juni 1965, terminologi ”kawan” dan ”perubahan” sudah lekat dengan hubungan kekerabatan karyawannya. Dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia yang ditulis Helen Iswara dan dipublikasikan Penerbit Buku Kompas tahun 2001, dituturkan kebiasaan PK Ojong menjemput karyawan-karyawannya.
Sebelum pukul 06.30, pendiri Kompas itu sudah pergi dengan Opel Caravan-nya. Kadang-kadang, pendiri Kompas lainnya, Jakob Oetama, ia jemput pula dengan kendaraan ini. Di perjalanan, anak buah ditanya sudah sarapan atau belum. Kalau belum, Ojong memberi tahu betapa pentingnya sarapan.
Malam-malam, Jakob dan Ojong kadang-kadang masih berada di kantor atau percetakan. ”Kadang-kadang kami yang bertugas malam dibawakan nasi bungkus,” kata August Parengkuan, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Kalau melihat karyawan kurang sehat, Ojong akan menghampiri dan menanyakannya. Tahu-tahu saja, ia atau opas datang mengantar obat.
Perihal perubahan, Kompas tak lepas pula dari pasang surut. Berdasarkan buku Syukur Tiada Akhir yang disusun St Sularto dan dipublikasikan Penerbit Buku Kompas tahun 2015, berkali-kali Kompas mendapatkan teguran dari penguasa. Sering kali teguran itu disertai ancaman. Hingga pada akhirnya, bersama beberapa media lain yang mengulas aksi mahasiswa, Kompas dibredel dua minggu sejak 21 Januari 1978.
Kawan dalam perubahan. Kawan dalam senang. Kawan pula dalam kesusahan. Malam itu, sehari sebelum pembredelan berlaku, karyawan tetap tekun bekerja. Esoknya, wartawan melakukan pemantauan di lapangan. Tak ada maksud sama sekali memberhentikan karyawan. Setelah Kompas terbit kembali pada 6 Februari 1978, Ojong dan Jakob menghadapi tekanan politik akibat pemberitaan yang—meskipun ”netral” berada di ”tengah”—ada saja pihak yang tidak bisa terima.
Menjabarkan semangat
Pada acara peringatan HUT Ke-55 Kompas, musisi milenial Tulus, Yura Yunita, dan Sri Hanuraga turut memeriahkan. Tulus, antara lain, melantunkan lagu terbarunya, ”Adaptasi”, yang baru diluncurkan akhir Mei 2020. Ia juga mempersembahkan karya-karyanya yang mengembuskan persahabatan, seperti ”Teman Hidup” dan ”Gajah” serta nuansa semangat dalam ”Manusia Kuat”.
Sementara Yura mendendangkan ”Intuisi” dan ”Harus Bahagia”. Siaran itu juga menjabarkan semangat kawan dalam perubahan lewat segmentasi pendiri Kompas dan adaptasi menghadapi era digital.
Perjalanan Dana Kemanusiaan Kompas, peluncuran Kompaspedia, serta inovasi-inovasi baru harian Kompas dan Kompas.id menyelingi tayangan yang berlangsung sekitar 1,5 jam hingga pukul 21.30 itu. Hanuraga tampil bersama wartawan Kompas, M Hilmi Faiq, yang membawakan puisi.
Puisi berjudul ”Kawan dalam Perubahan” dalam musikalisasi ini menarasikan pusaran kabar yang nyata dan semu. Penggalan sajak itu mengikhtisarkan verifikasi sebagai ujung tombak, untuk menyapa yang papa dan mengingatkan yang kaya, pada zaman revolusi teknologi informasi ini.
Teringat aku pada seorang kawan
Yang tak pernah pergi meski kadang aku tiadakan
”Aku akan menemani sampai tetes tinta penghabisan”
Katanya dalam satu kesempatan
Kau yang tak bosan berkisah tentang kebenaran
Dengan gagah atau terseok memungut fakta-fakta
Memilin menjadi lilin, terang dalam kegelapan
Perkara yang berdiri pongah, kau dudukkan berwibawa