Perempuan Kepala Keluarga Kesulitan Mengakses Layanan Publik
Keberadaan sejumlah perempuan kepala keluarga tidak diakui dan tidak terdata oleh pemerintah. Situasi itu menyebabkan para perempuan itu bersama keluarga mereka kesulitan mengakses layanan publik dan bantuan pemerintah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian perempuan kepala keluarga bersama keluarganya dari lapisan masyarakat bawah kesulitan mengakses layanan publik dan bantuan dari pemerintah. Hal itu disebabkan mereka terlewatkan dalam pendataan program lantaran tinggal bersama orangtua atau kerabat lainnya.
Kondisi itu dialami sejumlah perempuan kepala keluarga yang kembali ke rumah orangtua karena berbagai alasan, antara lain suaminya meninggal, cerai hidup, ditinggalkan suami, ataupun perkawinannya tak tercatat resmi. Bahkan, beberapa perempuan kepala keluarga pulang ke rumah orangtua tanpa mengantongi surai cerai serta dokumen kependudukan lain, seperti kartu keluarga dan kartu tanda penduduk. Anak-anak mereka tak punya akta lahir.
”Sebagian besar perempuan ketika bercerai pulang ke rumah orangtuanya, atau menumpang di rumah saudaranya atau orang lain. Ketika ada pendataan, mereka tidak didata karena dianggap berada dalam rumah tangga orang lain. Selama ini yang didata kepala keluarga adalah orangtuanya saja, sedangkan keluarga-keluarga lain dianggap jadi satu,” ujar Direktur Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Nani Zulminarni di Jakarta, Selasa (3/8/2020).
Selama ini, Nani menerima keluhan dari sejumlah perempuan kepala keluarga yang tidak masuk dalam pendataan untuk menerima berbagai program pemerintah. Sebagai contoh, dalam satu rumah ada dua keluarga, yakni keluarga orangtua (keluarga inti) dan keluarga anak perempuannya yang sudah menikah tetapi bercerai. Namun, yang didata hanya salah satu keluarga.
Netti (38), warga Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, misalnya. Perempuan kepala keluarga yang telah bercerai dengan suaminya delapan tahun lalu itu pulang ke rumah orangtua bersama seorang anaknya. Saat ada bantuan di masa pandemi Covid-19, dia terlewatkan dari pendataan. Alasan petugas di desanya, Neti dianggap bekerja sehingga tidak mendapat bantuan.
Ketika ada pendataan, mereka tidak didata karena dianggap berada dalam rumah tangga orang lain.
Di Trenggalek, Jawa Timur, Lilis (30), perempuan kepala keluarga anak satu yang bercerai dengan suaminya, juga tidak bisa membuat kartu keluarga baru meski sudah tinggal dengan orangtuanya lebih dari setahun. ”Dia pindah dari Batam. Karena tidak bisa menunjukkan surat cerainya, dia tidak bisa mengurus kartu keluarga. Dia bingung harus menghubungi siapa,” kata Siti Asrofi, Ketua Pekka di sebuah desa di Trenggalek.
”Seharusnya ketika ada pendataan, didata dua keluarga, tetapi yang perempuan kepala keluarga tidak didata. Ini sering terjadi. Apalagi kalau perempuan kepala keluarga tersebut perkawinannya tidak tercatat, dicerai begitu saja tanpa surat cerai, tidak membawa kartu keluarga sendiri, mereka pasti tidak masuk dalam data,” ujar Nani.
Tidak tercatat
Tidak terdatanya perempuan kepala keluarga disebabkan perempuan kepala keluarga selama ini tidak banyak dikenal petugas pendataan. Akibatnya, keluarganya terlewatkan atau tidak mendapatkan hak-hak dari sumber daya yang dimiliki pemerintah, misalnya program bantuan sosial yang dibagikan pemerintah, termasuk bantuan pada saat bencana.
Sebagai contoh, saat pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru, seorang perempuan kepala keluarga yang lanjut usia di Madura, Jawa Timur, tidak mendapat bantuan karena tidak memiliki kartu keluarga sendiri. Padahal, kondisinya miskin, lumpuh, dan tinggal sendiri. ”Dampak lain, karena tidak terdata, mereka akan kehilangan hak sosial dan politik. Ketika pemilu, pasti tidak ada datanya,” kata Nani.
Kondisi itu kemungkinan karena definisi yang digunakan mengacu pada Badan Pusat Statisik (BPS). Definisi yang digunakan BPS menyebutkan kepala rumah tangga adalah seseorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang yang dianggap sebagai kepala rumah tangga.
Sementara Yayasan Pekka mendeskripsikan perempuan kepala keluarga sebagai perempuan yang berperan sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, penjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarganya. ”Seharusnya definisinya menggunakan kepala keluarga, bukan kepala rumah tangga,” kata Nani.
Dampaknya, jumlah tentang perempuan kepala keluarga/kepala rumah tangga pun berbeda-beda. Di BPS, jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan sebesar 15,17 persen. Sementara dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), perempuan kepala keluarga dengan rumah tangga miskin sekitar 19 persen.
”Sementara menurut perkiraan kami, angka perempuan kepala keluarga mencapai sekitar 24 persen. Akan tetapi, Kementerian Desa menyebutkan perempuan kepala keluarga penerima bantuan langsung tunai sebanyak 31 persen, jumlahnya lebih besar lagi,” kata Nani.
Politik identitas
Sri Wiyanti Eddyono, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengungkapkan, selama ini perempuan kepala keluarga sering terlewatkan dalam pendataan karena tata kelola pendataan yang terkait politik identitas. Misalnya, ketika ada bantuan, pendataannya berdasarkan sejumlah pertanyaan apakah penduduk setempat atau bukan, status menikah atau bukan, jika tidak menikah maka melekat dengan keluarga lain.
Seharusnya, menurut Sri Wiyanti, ada pengakuan terhadap perempuan kepala keluarga karena perempuan pekerja terus meningkat di wilayah publik ataupun domestik. ”Tidak bisa lagi dikotak-kotakkan area laki-laki dan perempuan. Kini realitasnya berbeda jauh, semakin kentara bahwa perempuan punya ruang di domestik dan publik,” katanya.
Karena itu, Pasal 31 dan 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat penting direvisi, terutama yang menyebutkan suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Pasal tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Sementara dalam praktik sehari-hari, laki-laki masih dipandang sebagai kepala keluarga. Contohnya, saat ada undangan rapat RT, yang diundang hanyalah kepala keluarga yang notabene laki-laki.