Pendidikan merupakan hal strategis yang fundamental dan utama dalam menyiapkan generasi emas pada 2045. Apabila tidak disiapkan dari sekarang, bonus demografi tidak akan membawa manfaat yang signifikan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Tinggal 25 tahun lagi, Indonesia genap berusia satu abad. Mencapai Indonesia Emas 2045 melalui generasi emas tentunya akan tercapai apabila pembangunan sumber daya manusia sebagai pemimpin masa depan disiapkan dengan baik.
Generasi muda calon pemimpin bangsa ke depan pun mulai merajut mimpi mereka, mencita-citakan Indonesia makmur, berpendidikan, dan berdaya saing secara global. Cita-cita itu kini sedang mereka siapkan agar bisa terwujud di masa mendatang.
Kompas mencatat, sebelum tahun 2045, kita akan melewati terjadinya bonus demografi pada 2035 dengan struktur kependudukan akan didominasi mayoritas penduduk berusia produktif. Indonesia pun akan berada pada lima terbesar kekuatan ekonomi dunia dengan produk domestik bruto sebesar 7 triliun dollar AS (Kompas, 11 November 2019).
Amara Beatrice (17), mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual New Media Universitas Bina Nusantara, berharap pendidikan Indonesia dapat semakin merata bagi masyarakat Indonesia di setiap daerah. Baginya, pendidikan sangatlah penting untuk memajukan kecerdasan bangsa dan menyatukan Indonesia.
”Aku sadar, sih, pemerataan pendidikan enggak semudah itu bisa dijangkau semua orang, terutama yang enggak punya internet. Masih banyak sekali teman yang enggak bisa bersekolah karena harus membantu orangtuanya,” kata Amara saat dihubungi Kompas, Senin (17/8/2020).
Kondisi ini memang menantang, tetapi bukan tidak mungkin untuk bisa diwujudkan. Demi meraih cita-citanya dalam meratakan pendidikan Indonesia, Amara kini memulai dengan mengunjungi panti asuhan untuk mengajar anak-anak yang kurang mampu.
Mahasiswa semester I asli Malang, Jawa Timur, ini pun sudah berencana untuk tergabung dalam kegiatan kampus sebagai sukarelawan yang mengajar anak-anak. Kelak, ia berkeinginan untuk membuat organisasi sukarelawan yang berfokus pada pendidikan.
Dimas Syafrilyandi Cahya (19), mahasiswa Jurusan Teknik Industri Universitas Bina Nusantara, juga memiliki mimpi memajukan Indonesia melalui karyanya. Saat Indonesia berusia 100 tahun, ia berharap Indonesia akan menjadi negara maju yang dapat membuat dan mengembangkan berbagai bidang industri sampai menembus pasar internasional dengan kekayaan alam yang dimiliki.
”Saya yakin saat itu (pada 2045), Indonesia akan mampu bersaing, bahkan dapat melampaui negara maju lainnya. Dengan begitu, pada saat umur Indonesia 100 tahun, rakyat Indonesia akan lebih makmur karena perekonomian sudah berkembang pesat,” kata Dimas.
Sebagai bentuk kontribusi dari generasi penerus bangsa, Dimas bercita-cita untuk membuat dan mengembangkan produk karya anak Indonesia sesuai dengan jurusan yang ia ambil saat ini. Tak hanya membuat, tetapi ia berharap mampu memperkenalkan produknya kepada dunia luar dengan mendirikan beberapa cabang perusahaan di dalam dan luar negeri.
Tak kehilangan makna
Bagi Amara dan Dimas, perayaan HUT Ke-75 RI di tengah pandemi Covid-19 tidak mengurangi sedikit pun makna kemerdekaan. Sebab, perayaan kemerdekaan sesungguhnya ada dalam hati dan pikiran setiap pribadi.
Menurut Amara, suasana tahun ini tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dimeriahkan dengan berbagai perlombaan. Namun, semua kegiatan tersebut pada dasarnya hanyalah media untuk meningkatkan semangat persatuan.
”Artinya, (perlombaan) bukan satu-satunya cara (mempererat persatuan). Justru kalau lomba ramai, malah akan memperparah keadaan dan makna kemerdekaan tidak tersampaikan dengan baik. Tidak ada salahnya apabila saat ini kita ganti, misalnya dengan berdonasi bagi saudara yang terdampak Covid-19,” ujar Amara.
Begitu pun menurut Dimas. Meski tidak mengadakan upacara bersama-sama dan tidak mengikuti kegiatan perlombaan, makna kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya tidak pudar.
”Kita tetap bisa merayakan dan menghormati acara kemerdekaan Indonesia dengan menyanyikan lagu ’Indonesia Raya’ di rumah bersama-sama dan memasang bendera Indonesia. Cara ini tentunya juga menunjukkan penghormatan kita terhadap Indonesia,” kata Dimas.
Arena strategis
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, menyampaikan, pendidikan merupakan arena strategis untuk membentuk wajah bangsa. Untuk itu, kebijakan pendidikan harus berpihak kepada semua anak bangsa.
Keberagaman budaya, luasnya wilayah geografis, dan keterbatasan infrastruktur memang masih menjadi tantangan memajukan pendidikan. Apalagi, situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan pembelajaran dilaksanakan secara jarak jauh membuat semakin banyak yang termarjinalkan.
”Dapat kita lihat, dari proses belajar jarak jauh, dampak yang paling nyata khususnya dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki akses internet. Anak-anak menjadi ’merdeka’ belajar, yang bersinonim dengan tidak belajar sama sekali,” ucap Anggi.
Guna mempersiapkan generasi emas, katanya, harus ada visi pendidikan yang berbasis nasional dan global dengan tetap memperhatikan aspek lokal. Poin ini penting agar anak-anak tetap mengenal dan memahami potensi daerahnya.
Pemerintah, khususnya pemerintah daerah, juga terus didorong untuk lebih berpihak kepada anak bangsa yang berada di wilayah tertinggal. Kedua hal ini penting untuk disiapkan agar tercipta generasi emas pada 2045, bukan menciptakan bencana.
”Melihat situasi sekarang, pemikiran Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan, yaitu harus ada ruang kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan komunitas. Kolaborasi untuk menciptakan anak bangsa yang tangguh, kreatif, dan mampu beradaptasi terhadap situasi ke depan yang semakin tidak menentu,” ujarnya.