Keputusan Jakob Oetama saat situasi krisis sangat menentukan perjalanan harian ”Kompas” berikutnya. Dia menerima tawaran pemerintah agar media ini tetap hidup.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sentuhan khas Jakob Oetama memang tidak bisa dipisahkan pada salah satu momen paling krusial dalam sejarah Kompas, yakni ketika surat kabar ini dibredel oleh pemerintahan Orde Baru pada akhir Januari 1978.
Pada saat itu, para pendiri Kompas, Petrus Kanisius Ojong-Jakob Oetama, sedang terbelah sikapnya. Penguasa meminta Kompas untuk meminta maaf dan menyampaikan sejumlah janji jika ingin terbit kembali. Kompas, antara lain, diminta untuk tidak mengkritik asal kekayaan keluarga Soeharto dan dwifungsi ABRI.
Ojong yang berpembawaan keras, disiplin, prinsipil, dan penuh rasa kemanusiaan cenderung menolak syarat tersebut. Sebaliknya, Jakob merasa bahwa jika Kompas terbit kembali, akan banyak hal lain yang masih bisa diperjuangkan.
”Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang, butuh sarana, antara lain, media massa,” tulis wartawan senior Kompas, St Sularto, menceritakan kembali posisi yang diambil Jakob pada saat itu dalam tulisannya yang membuka buku karya Jakob, Bersyukur dan Menggugat Diri” (2009).
Keputusan berat untuk meminta maaf kepada pemerintah hingga tidak mengkritik keluarga Soeharto diambil Jakob untuk kelangsungan hidup Kompas dan perjuangan menuju Indonesia yang lebih demokratis dan berperikemanusiaan.
Melihat semangat Jakob bersama Ojong berkarya dalam Kompas hingga akhir hayatnya kini, mungkin tidak menyangka bahwa mereka berdua pernah enggan menyambut permintaan untuk membuat surat kabar baru pada pertengahan 1965. Saat itu, mereka diminta Jenderal Ahmad Yani untuk membuat surat kabar yang mengimbangi publikasi milik PKI.
Namun, keengganan itu bermuara pada kelahiran surat kabar yang tidak hanya sekadar menjadi corong politik partai tertentu, tetapi juga memayungi seluruh manusia.
Jakob pernah bercerita bahwa keengganannya bersama Ojong untuk membuat surat kabar terkait dengan kondisi politik ekonomi Indonesia saat itu. Saat itu kantor berita Antara pada prinsipnya telah memonopoli pemberitaan masa itu.
Setelah melihat adanya pembredelan terhadap sejumlah surat kabar antikomunis, membuat Jakob memahami akan adanya urgensi penerbitan sebuah koran baru. Saat itu Jakob dan Ojong sudah dua tahun sibuk bersama-sama mengelola dan menerbitkan Intisari.
”Kami berdua sebetulnya enggak menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan ekonomi, politik, dan infrastruktur ketika itu tidak menunjangnya,” tulis Jakob dalam tajuk Kompas saat mengenang Ojong, beberapa hari setelah kepergiannya pada 31 Mei 1980.
Dalam hari-hari sebelum koran baru itu terbit, hasil diskusinya dengan Ojong sampai pada kesimpulan bahwa koran baru tersebut tidak bisa menjadi corong salah satu partai saja. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan. Oleh karena itu, bersifat umum: didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia. Koran itu harus menjadi cermin realitas Indonesia.
Ojong dan Jakob kemudian memberikan hal itu sebagai syarat kepada para petinggi Partai Katolik jika diminta untuk membuat koran sendiri. ”(Koran ini) harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob. Mulai dari situlah identitas jurnalisme Kompas yang menjunjung keindonesiaan dan kemanusiaan terpatri. Identitas ini sudah muncul sedari awalnya.
Kepemimpinan yang bijak dan penuh pertimbangan dari Jakob dan Ojong pun sebetulnya sudah terasa sejak awal Kompas berdiri. Pada 1967, hanya dua tahun setelah berdirinya Kompas, Roger K Paget, peneliti dari universitas kenamaan AS, Cornell University di New York, menulis bahwa Kompas adalah surat kabar paling dihormati di antara media Indonesia lainnya.
Paget menulis bahwa tidak ada pemberitaan dari koran lain yang seperti Kompas: berkepala dingin dan bijaksana (temperate and judicious). ”Kompas clearly stands as the most sophisticated and respected of present Indonesian newspapers,” tulis Paget dalam tulisan yang merangkum sejumlah surat kabar ternama Indonesia pada saat itu.
Dan seperti yang kita ketahui sekarang, karakteristik berkepala dingin dan bijaksana itu akhirnya termanifestasi nyata ketika insiden pembredelan 1978. Meninggalnya Ojong sekitar dua tahun selepas pembredelan itu juga membuat Jakob menjadi pemimpin redaksi dan bisnis Kompas. Frans Meak Parera dalam buku Kompas dari Belakang ke Depan (2007) mencatat bahwa kepemimpinan Jakob ditandai dengan diversifikasi usaha.
Namun, diversifikasi usaha diyakini tidak serta-merta bertujuan untuk sekadar ”mencari uang”, menurut Sularto. ”Diversifikasi usaha dilakukan karena tidak semua penghasilan harus dihabiskan, tetapi untuk menciptakan lapangan kerja,” tulis Ojong dalam buku Falsafah Perusahaan Kita yang menjadi pegangan Jakob.
Parera berpendapat bahwa pertumbuhan KG yang kini memiliki unit usaha di berbagai sektor industri, antara lain, didasari oleh kultur perusahaan yang dijiwai sepenuhnya oleh para pemimpinnya.
Perusahaan pun, menurut Parera, berubah menjadi sebuah komunitas dengan tata tertib kehidupannya sendiri.
”KG sampai sekarang eksis dan berkembang karena tidak menerapkan visi perusahaan keluarga yang menjadi tradisi perusahaan indonesia; tetapi visi perusahaan gotong royong, kooperasi dan individu yang lemah, bekerja sama dan saling membantu,” tulisnya.