Panen Kuota Tanpa Gawai dan Sinyal
Keterbatasan akses dan fasilitas saat pembelajaran dalam jaringan tak hanya dihadapi mereka yang tinggal di perdesaan, tetapi juga di perkotaan. Menyamaratakan solusi rentan memicu persoalan anyar di tengah masyarakat.
Keterbatasan akses dan fasilitas saat pembelajaran dalam jaringan tak hanya dihadapi mereka yang tinggal di perdesaan, tetapi juga di perkotaan. Menyamaratakan solusi rentan memicu persoalan anyar di tengah masyarakat.
Kedua ibu jari tangan Vani Adi Kurnia (11), siswa kelas VI SDN Cijati, Kecamatan Maniis, Purwakarta, Jawa Barat, lincah mengetik ”proklamasi kemerdekaan Indonesia” pada situs pencarian di ponsel pintarnya. Dalam sekejap, layar ponselnya menampilkan deretan hasil pencarian.
”Sekarang cepat internetnya. Biasanya mencari materi atau video di rumah suka ntet-ntetan (lambat),” kata Vani, Senin (31/8/2020).
Saat itu, ponselnya terhubung jaringan nirkabel mobil layanan internet milik Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Purwakarta. Namun, semuanya tidak terjadi setiap hari. Baru dua kali sekolahnya dapat pelayanan gratis internet berdurasi sekitar dua jam.
Layanan tersebut sengaja disiapkan guna menunjang proses pembelajaran di daerah yang belum terjangkau internet dengan baik. Mobil internet dilengkapi genset, televisi, laptop, tenda, handy talkie portabel, dan modem yang dioperasikan empat tenaga ahli. Konektivitas berbasis internet, kecepatan mencapai 1 megabita per detik (mbps), dan jangkauan mencapai 50 meter diklaim cukup mumpuni untuk membantu pelayanan akses internet.
Baca juga : Sudah Jatuh Tertimpa Beban Paket Data
Sejak pandemi, pembelajaran kelas di SDN Cijati dialihkan ke sistem daring dan kelompok belajar. Sebagian materi disampaikan guru lewat grup obrolan media sosial. Dalam prosesnya, cara ini belum berjalan mulus. Kendala sinyal dan kepemilikan gawai masih membayangi mereka. Dari total 312 siswa, hanya 70 persen anak yang memiliki gawai.
Untuk mengatasi kendala itu, sekelas dibagi dalam kelompok kecil beranggotakan tujuh hingga delapan orang. Setiap seminggu sekali, guru mendatangi kelompok belajar berbeda untuk menyampaikan materi dan memeriksa tugas. Protokol kesehatan tetap diterapkan.
”Belajar daring harus ekstra sabar. Kuota internet ada, tetapi sinyal susah. Sebenarnya lebih enak bertemu langsung,” ujar Vani.
Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta mencatat, 36 persen siswa SD masih mengikuti pembelajaran luring. Mayoritas yang terkendala adalah siswa dari SD negeri. Di Purwakarta ada 33 SD swasta dan 378 SD negeri dengan total 99.782 siswa. Sementara yang bersekolah di SD swasta, hanya 5 persen atau 451 siswa yang belum terhubung dengan sistem daring.
Belajar daring harus ekstra sabar. Kuota internet ada, tetapi sinyal susah. Sebenarnya lebih enak bertemu langsung.
Kehadiran mobil internet di daerah yang belum terjangkau sinyal bagaikan hujan di tengah musim kemarau. Namun, tugasnya tidak mudah. Selain di Maniis, mobil itu akan berkeliling ke Kecamatan Tegalwaru dan Kecamatan Sukasari.
Ketiganya berjarak lebih dari 35 kilometer dari pusat kota Purwakarta dan berbatasan langsung dengan kabupaten lain di Jawa Barat. Dalam satu hari, tim layanan internet mendatangi setidaknya dua desa pada satu kecamatan. Dengan kondisi itu, keberadaan satu mobil layanan internet dinilai belum mencukupi kebutuhan masyarakat.
”Sangat kurang karena kebutuhan masyarakat meningkat dan sarana penunjang terbatas,” kata Siti Ida Hamidah, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Purwakarta.
Baca juga : Siswa dan Guru SMA di Jabar Dapat Kuota Internet Gratis untuk Belajar Daring
Program pemasangan internet lewat jaringan fiber optik di setiap desa juga belum seluruhnya terlaksana. Kini baru 42 desa yang sudah terpasang jaringan dari target 183 desa. Pandemi Covid-19 menjadi kendala pemasangan jaringan fiber optik di desa-desa. Pemasangan akan dilanjutkan menggunakan anggaran perubahan akhir tahun 2020. Ke depan, pemasangan tersebut diharapkan semakin menunjang aktivitas warga.
Kendala gawai
Segudang masalah tidak melulu dialami warga di daerah terpencil. Sebagian siswa di Kota Bandung juga dihadapkan pada sejumlah persoalan. Sinyal relatif lancar, tetapi lagi-lagi tidak semuanya bergawai.
Bagi Yuni (13), kondisi ini tidak sederhana. Siswa kelas VII salah satu sekolah swasta di Ujungberung, Kota Bandung, itu sudah tiga minggu absen mengikuti pembelajaran daring. Alasannya, dia tak mempunyai ponsel untuk mengikuti pembelajaran daring. Ponsel pintar milik ibunya hilang dua bulan lalu. Sementara ponsel yang dipinjamkan majikan ibunya rusak.
Beruntung, keterbatasan itu tidak melunturkan semangat belajarnya. Modul-modul pembelajaran bulan lalu dipelajari sendiri setiap hari. Yuni kembali membuka modul-modul lama. Duduk beralaskan tikar tipis berwarna merah, ia juga mencatat rangkuman poin-poin penting dari buku pelajaran.
”Belajar sendiri supaya enggak ketinggalan dengan teman-teman yang ikut belajar daring,” ujarnya.
Persoalan ini nyata. Dia tinggal bersama ibunya, Enok (49), di rumah kontrakan di Ujungberung. Luasnya sekitar 16 meter persegi. Perekonomian keluarga hanya ditopang dari upah Enok sebagai asisten rumah tangga Rp 1,5 juta per bulan.
Uang itu digunakan untuk membayar kontrakan Rp 400.000 per bulan dan kebutuhan sehari-hari sekitar Rp 800.000 per bulan. Selain itu, ia juga harus menyicil utang Rp 300.000 per bulan. Ia berutang untuk biaya pendaftaran sekolah anaknya pada Juni lalu.
Dengan segala keterbatasan itu, Enok susah menyisihkan uang untuk membeli gawai. Padahal, gawai sangat dibutuhkan Yuni untuk mengikuti pembelajaran daring. Selain digunakan untuk mengakses materi pelajaran berbentuk teks dan video, gawai juga digunakan untuk berdiskusi dengan guru dan teman sekelas. Namun, ia memahami kondisi keuangan keluarganya.
”Ibu sudah bekerja keras. Kalau ada rezeki, pasti dibelikan (gawai). Untuk sementara, saya bisa belajar mandiri,” ujarnya.
Susah payah Vani hingga keprihatinan Yuni jadi secuil kisah pendidikan kini. Apabila tak diselesaikan, taruhannya adalah masa depan penerus bangsa. Sejauh ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan Rp 7,2 triliun untuk subsidi kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh bagi guru, dosen, siswa, dan mahasiswa (Kompas, 28/8/2020).
Bantuan kuota internet juga diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jabar bekerja sama dengan Telkomsel. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, bantuan akan disalurkan kepada 1,9 juta siswa SMA, SMK, dan sekolah luar biasa beserta gurunya, yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Sejumlah 1,35 juta kartu lainnya akan diberikan kepada santri dan mahasiswa. Siswa SMA dari keluarga kurang mampu juga akan dipinjamkan gawai.
Baca juga : Perlu Strategi Baru untuk Pembelajaran Jarak Jauh
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Hikmat Ginanjar mengatakan, pihaknya tengah mengembangkan konsep Pembelajaran Dalam Jaringan (Padaringan). Konsep ini berupa sistem dalam bentuk Metropolitan Area Network, jejaring internet berkecepatan tinggi yang bisa menjangkau satu kota. Melalui Padaringan, sekolah, siswa, dan guru bisa berada dalam satu jejaring tanpa biaya kuota internet.
Beragam rencana kemudahan itu jelas kabar gembira bagi sebagian masyarakat, termasuk Enok. Namun, pikirannya sederhana. Jika ia tak bisa menabung untuk membeli gawai bagi anaknya, beragam fasilitas itu seperti sia-sia karena tidak akan bisa dinikmati warga miskin seperti dirinya.
”Saya enggak punya ponsel pintar untuk memakai kuota dan kemudahan itu,” ujarnya.
Pembelajaran daring pada masa pandemi Covid-19 melahirkan masalah berbeda di setiap daerah. Dibutuhkan rencana presisi agar gelontoran dana dan inovasinya tepat guna, tepat sasaran, serta tak terbuang percuma.