Pola relasi perempuan dengan alam membuat perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang khas. Namun, saat terjadi konflik, mereka sering berada dalam situasi rentan, bahkan sering menjadi korban kekerasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Kehidupan perempuan tidak bisa dilepaskan dari alam karena berbagai peran jender yang dijalankan selama ini. Namun, dalam kenyataannya, kelekatan dengan alam membuat perempuan berada dalam situasi dan kondisi yang rentan, terutama saat terjadi konflik di wilayahnya. Sejumlah perempuan, bahkan, menjadi korban dan hidup dalam pusaran konflik.
Perempuan-perempuan di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya. Konflik perebutan lahan di kawasan hutan adat ”Kio” Pubabu di Kecamatan Amanuban Selatan, yang terjadi bertahun-tahun belakangan ini memanas, menempatkan perempuan pada situasi sulit.
Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah warga adat Pubabu-Besipae mendapat tekanan berat setelah rumah mereka dibongkar oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sejumlah 27 keluarga, terdiri atas sekitar 130 orang dan puluhan di antaranya anak-anak, terusir dari rumahnya. Saat pembongkaran, petugas menyebutkan bahwa pembangunan rumah warga berada di hutan lindung (Kompas, 29 Agustus 2020).
Tolong lindungi keamanan kampung kami. Rumah kami yang dihancurkan tolong dikembalikan. Kami tidak bisa berbuat banyak di kampung karena pertikaian sudah meluas antarmasyarakat antarkampung. Kami mohon keamanan keluarga kami dapat terlindung.
”Tolong lindungi keamanan kampung kami. Rumah kami yang dihancurkan tolong dikembalikan. Kami tidak bisa berbuat banyak di kampung karena pertikaian sudah meluas antarmasyarakat antarkampung. Kami mohon keamanan keluarga kami dapat terlindungi,” ujar Martheda Esterlina Selan (39), warga Desa Linamnutu, kepada Kompas, Minggu (18/10/2020).
Minggu petang, Marthelda yang akrab disapa Mama Ester menyampaikan pesan dari perempuan-perempuan adat di Pubabu-Besipae untuk diteruskan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ia hanya bisa berharap aparat kepolisian memberikan perlindungan kepada keluarganya yang saat ini tidak memiliki tempat tinggal.
”Kami mohon supaya secepatnya ada damai,” ujar Mama Ester, yang sepekan sebelumnya, Sabtu (10/10/2020), melalui pertemuan daring juga menyampaikan berbagai intimidasi yang dialami para perempuan kepada Menteri PPPA Gusti Ayu Bintang Darmawati, dan berharap ada perlindungan terhadap para perempuan dan anak.
Selama beberapa bulan terakhir, berbagai intimidasi, bahkan kekerasan, dialami para perempuan dan anak perempuan. Beberapa perempuan (ibu) dan anak-anak perempuan dalam keterangan pers, pada 13 Agustus 2020, mengungkapkan apa yang mereka alami setelah aksi mereka mempertahankan tanah adat. Mereka dianggap melakukan aksi pornoaksi karena menghadang tim yang akan menggusur rumah mereka.
”Kami sedih kalau orangtua kami diperlakukan seperti binatang,” ujar Vera Selan (21), perempuan dari Pubabu, terkait sikap represif yang dialami perempuan adat Pubabu.
Seperti diberitakan, sengketa lahan di antara masyarakat adat Pubabu-Besipae berawal dari kontrak penggunaan lahan selama lima tahunan, yang berlangsung sejak 1982. Hutan yang awalnya disebut hutan ”Kio Pubabu” berubah menjadi hutan Besipae saat ada kontrak pada 1982. Pemprov NTT mengubah nama Pubabu menjadi Besipae. Nama Besipae diambil dari keluarga ”Temukung” atau Kepala Dusun, yakni Meo Besi dan Pae Besi. Keluarga tersebut terkait dalam penyerahan hutan adat untuk kemudian dikelola Pemprov NTT dan Australia.
Akhir Agustus lalu, Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah NTT, Zeth Sony Libing, menyatakan, kepemilikan lahan itu sebagai penyerahan mutlak dari Raja Amanuban Selatan Frans Nabuasa kepada pemprov. Lahan tersebut diperuntukan bagi perkebunan kelor, peternakan, dan pengembangan pakan ternak demi kesejahteraan masyarakat setempat.
Konflik tersebut bahkan mendapat sorotan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Bahkan, pada 15 Oktober lalu, Komnas HAM telah mengirim surat kepada Gubernur NTT.
”Kami mengirim surat protes keras kepada Gubernur NTT terkait kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP pemprov. Selain protes keras, Komnas HAM juga minta Gubernur untuk memberikan keterangan soal perkembangan tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM pada 3 September,” ujar Beka Ulung Hapsara, komisioner Komnas HAM.
Selain ke Gubernur, Komnas HAM juga mengirim surat ke Kepala Kepolisian Daerah NTT NTT, meminta penghentian dan pencegahan kekerasan antarkelompok masyarakat supaya eskalasi potensi konflik horizontalnya tidak naik. Harapannya, pemprov setempat membuka dialog dengan dua kelompok masyarakat adat yang berkonflik saat ini.
Mama Ester dan perempuan-perempuan di Amanuban Selatan hanyalah salah satu contoh situasi perempuan yang saat ini di tengah pandemi Covid-19 harus berjuang menghadapi berbagai tekanan dan ancaman kekerasan.
Padahal, sebelum konflik kembali memanas pada tahun ini, para perempuan di Pubabu sudah berhadapan dengan berbagai persoalan, seperti minimnya akses terhadap air bersih dan persoalan kemiskinan yang menyebabkan anak mereka tidak dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
”Konflik yang terjadi membuat situasi mereka semakin buruk, di mana saat ini mereka tidak lagi memiliki rumah untuk mereka berlindung. Bahkan, tenda tempat mereka tinggal sementara pun dihancurkan,” papar Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, yang selama ini mendampingi Mama Ester dan perempuan-perempuan di Pubabu.
Dinamika yang terjadi di wilayah konflik tersebut tentu saja menjadi tantangan yang besar bagi para perempuan. Mereka berada dalam bayang-bayang ketakutan karena tidak ada rasa aman dan nyaman. Ketika mereka tidak memiliki tempat tinggal, ancaman kekerasan bisa terjadi kapan saja.
Berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi juga telah menimbulkan trauma, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Belum lagi, konstruksi jender yang dilekatkan pada perempuan juga menyebabkan perempuan harus berpikir lebih keras untuk memastikan pangan dan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Perempuanlah yang dibebani tanggung jawab untuk keberlanjutan, tidak hanya keluarganya, tetapi juga komunitasnya.
”Perempuan juga tidak luput mengalami kekerasan. Mereka ditarik, diinjak, dipukul, diancam, dan lain sebagainya. Sering kali perempuan yang mengalami kekerasan tidak dapat mengurus dirinya karena lebih memikirkan kepentingan keluarganya,” papar Dinda.
Ketidaksetaraan berlapis
Berada di pusaran konflik menjadikan perempuan rentan berhadapan dengan ketidaksetaraan yang berlapis karena suaranya sering kali tidak didengar dan dipinggirkan dalam forum-forum pengambilan keputusan. Bahkan, dalam upaya penanganan konflik yang dilakukan, jarang sekali mendengarkan apalagi mengakomodasi gagasan ataupun kepentingan perempuan.
Dinda mengungkapkan, kasus di kawasan adat Pubabu ini juga mencerminkan betapa persoalan konflik agraria tidak hanya terjadi antara masyarakat dan perusahaan swasta. Tidak hanya di Pubabu, perempuan di Takalar Sulawesi Selatan dan Ogan Ilir misalnya juga telah berpuluh-puluh tahun berhadapan dengan PTPN milik pemerintah.
Menteri PPPA Bintang Darmawati berharap pengelolaan lahan di kawasan adat seharusnya memberikan kesejahteraan buat warga setempat. Perlindungan terhadap perempuan yang tetap gigih berjuang mempertahankan wilayah adat memang perlu mendapat perhatian pemerintah. Apa yang dilakukan mereka, tambah Beka, sudah masuk dalam kategori human rights defender (Pembela HAM). Karena itu, mereka harus dilindungi hak-haknya, berbagai kekerasan dan intimidasi kepada para perempuan haruslah dihentikan.