Berbagai cara dilakukan generasi muda untuk merawat kecakapan berbahasa Indonesia. Merawat kecakapan berbahasa tak cukup sekadar mengetahui tata bahasa. Bahasa harus dinikmati oleh penggunanya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Mawardah (21) bekerja di salah satu koperasi simpan pinjam di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di luar itu, dia punya aktivitas lain, yakni mengarang puisi. Puisi dalam format musikalisasi itu dia bagikan di akun Instagram @pendengarpuisi.
”Dengan menulis puisi, saya bisa terus mempelajari bahasa Indonesia,” katanya, ketika dihubungi Rabu (21/10/2020) siang.
Puisi Mawar terinspirasi dari lingkungan sekitar. Adalah penting baginya agar pembaca dan pendengar dapat memahami puisi tersebut. ”Yang menarik dari puisi adalah kita bisa mendalami isi dan pesan dari pembuatnya,” tambahnya.
Lain lagi dengan Alek Karci Kurniawan (26). Alek memilih rutin menulis opini di koran lokal dan nasional. Kebiasaan ini ia pupuk sejak bangku kuliah. Setelah bekerja di salah satu lembaga konservasi lingkungan, lulusan Universitas Andalas, Sumatera Barat, ini tetap rutin menulis.
Kini, dia bereksperimen dengan menulis dalam bahasa asing, yakni bahasa Inggris. Tujuannya sederhana. Selain menarget pembaca yang lebih luas, dia ingin menguji sejauh mana pendapatnya diterima oleh publik internasional. Artikelnya dalam bahasa Inggris terbit di www.neweurope.eu dan www.dailycal.org.
Selain itu, dia juga menulis di blog pribadi. Tulisan personal itu terhimpun di
http://lexo-graphy.blogspot.com. Tulisan-tulisan itu merekam masa dia menganggur dan putus cinta.
Menurut Alek, penggunaan bahasa saat ini cenderung chaotic. Bahasa dicampur aduk sehingga membuat rancu. Di samping itu, dia juga melihat penggunaan bahasa yang tak sesuai konteks. ”Saya setiap menulis selalu membuka kamus bahasa dan kamus sinonim/anonim agar tak salah dalam pemaknaan,” ujarnya.
Berbeda dengan Alek, Michael Jarda (26) menerjemahkan sejumlah teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Terbaru, dia menerjemahkan kisah perempuan pesepak bola, Miedema, yang berkarier cemerlang di FA Women’s Super League.
Dia menerjemahkan artikel itu karena kesal dengan pemberitaan sejumlah portal media daring yang hanya menulis soal kecantikan atlet bola itu saja. Artikel terjemahan itu dia muat di https://medium.com/@michaeljarda666 ini. Diharapkan, pembaca mendapat kisah yang lebih lengkap tentang perempuan itu. ”Tantangannya itu menyelaraskannya dengan konteks bahasa Indonesia biar lebih bisa dipahami,” ujarnya.
Jarda termasuk orang yang risi dengan polisi bahasa, julukan terhadap pembela Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) garis geras. Menurut dia, bahasa Indonesia tak akan berkembang jika hanya dikawal dari sisi tata bahasa. Keintiman bahasa dengan penggunanya justru lebih dibutuhkan.
”Saya, misalnya, sangat menikmati bila ada penulis yang menggunakan diksi-diksi bahasa daerah dalam tulisannya. Ini membuat tulisannya lebih berwarna,” kata penggemar pemerhati bahasa, Joss Wibisono, ini.
Kecakapan berbahasa
Kecakapan dalam berbahasa menjadi salah satu pertimbangan Dewan Juri Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 dalam mengurasi karya. Buku puisi Empedu Tanah dan novel Burung Kayu menjadi pemenang dalam pergelaran tahun ini.
Menurut Ketua Dewan Juri Kusala Sastra 2020, Martin Suryajaya, dua karya itu dinilai cakap berbahasa sekaligus ”mengusili” bahasa Indonesia. ”Intinya, kesadaran untuk menghadapi bahasa Indonesia sebagai problem dan bukan sebagai warisan nenek moyang yang mesti dipatuhi penuh seluruh,” ujar Martin.
Menurut pengamat bahasa Samsudin Berlian, kita memberi perhatian terlalu besar terhadap tata bahasa. Di saat bersamaan, mengabaikan substansi yang paling penting: membuat bahasa bisa dinikmati.
Mengawasi hukum bahasa memang penting. Akan tetapi, bila terlalu fokus terhadap hal ini, bahasa akan menjadi beban. Di sekolah, murid tidak diajar untuk menekuni bahasa. Bahasa mengerucut jadi sekadar hafalan untuk naik kelas.
Padahal, yang tak kalah penting adalah menikmati bahasa melalui apresiasi terhadap karya sastra. Melalui medium ini, murid mendapat bagaimana cara berkisah sekaligus menikmati bahasa yang digunakan.
Mengawasi hukum bahasa memang penting. Akan tetapi, bila terlalu fokus terhadap hal ini, bahasa akan menjadi beban. Di sekolah, murid tidak diajar untuk menekuni bahasa. Bahasa mengerucut jadi sekadar hafalan untuk naik kelas.
Dia mendorong penerbit-penerbit besar untuk membuat proyek sosial dengan menerbitkan terjemahan karya peraih nobel sastra dengan harga miring. Dengan demikian, publik mendapat banyak bacaan berkualitas. Ini juga akan mendorong pelajaran bahasa melampaui urusan tata bahasa.
Yang tak kalah penting, menurut Berlian, guru-guru di sekolah harus mengerti cara menulis. Menulis yang dia maksud adalah kemampuan untuk membayangkan situasi pembaca sehingga tulisan tersebut mudah berterima dan dimengerti pembaca.
”Kita bisa mendapati tulisan yang bagus secara tata bahasa, namun idenya susah kita tangkap. Nah, berarti itu hanya orang yang menulis untuk dirinya sendiri. Kita butuh guru-guru yang bisa menulis untuk pembaca dan mengajarkan hal itu kepada murid. Membaca dan menulis secara saksama. Itu yang kita butuhkan agar bahasa dapat dinikmati,” ujarnya.