Memburuk, Situasi KDRT yang Dialami Perempuan di Dunia
Perempuan di sejumlah negara yang terkena pandemi Covid-19 mengalami persoalan yang sama, yakni harus menghadapi beban ganda dan berbagai kekerasan dalam rumah tangga. Pandemi membuat kondisi perempuan makin memburuk.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memperparah situasi dan kondisi kekerasan yang dialami perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.
Data yang dikumpulkan UN Women tentang dampak Covid-19 pada perempuan dan anak perempuan menunjukkan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan selama pandemi.
”Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan seksual atau fisik yang dilakukan oleh pasangan intimnya dalam satu tahun terakhir. Sejak pandemi, kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, semakin meningkat,” ujar Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union, Selasa (10/11/2020).
Menurut Laurence, situasi kekerasan yang dialami oleh perempuan diperburuk oleh sejumlah faktor, seperti kondisi keamanan, kesehatan, dan kekhawatiran uang. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi kehidupan yang terbatas karena pembatasan ruang gerak, ruang publik yang sepi, dan isolasi dengan pelaku kekerasan.
Sebelum pandemi, kurang dari 40 persen wanita yang mengalami kekerasan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan. Namun, sejak adanya lockdown, laporan kekerasan dalam rumah tangga atau panggilan telepon meningkat. (Laurence Gillois)
”Sebelum pandemi, kurang dari 40 persen wanita yang mengalami kekerasan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan. Namun, sejak adanya lockdown, laporan kekerasan dalam rumah tangga atau panggilan telepon meningkat,” ujar Laurence.
Ia menyebutkan, peningkatan laporan kekerasan rumah tangga, misalnya di Singapura (33 persen), Siprus (30 persen), Perancis (30 persen), dan Argentina (25 persen). Bahkan, di Perancis, pada masa pandemi semenjak adanya kebijakan lockdown, laporan KDRT meningkat. Hal tersebut terjadi seiring adanya kampanye dari pemerintah di awal-awal pandemi melalui iklan layanan masyarakat di televisi yang menayangkan nomor telepon yang bisa dihubungi oleh perempuan korban kekerasan.
Ia juga mengingatkan soal kesehatan reproduksi perempuan yang terganggu. Bahkan, data UN Women menunjukkan, di empat dari 10 negara di Eropa dan Asia Tengah, setidaknya terdapat setengah dari perempuan yang membutuhkan layanan keluarga berencana mengalami kesulitan besar dalam mengaksesnya sejak krisis. Jika perawatan kesehatan rutin terganggu dan akses ke makanan menurun, peningkatan kematian anak dan ibu akan terjadi.
Adapun Endah Lismartini, Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal, AJI Indonesia, mengungkapkan, laporan UN Women tersebut sama dengan situasi perempuan di Indonesia. Masa pandemi berpotensi meningkatkan berbagai kekerasan berbasis jender serta menimbulkan beban ganda dan berlipat pada perempuan, sebagaimana dilaporkan organisasi perempuan.
”Ketika terjadi pembatasan sosial berskala besar, penghuni tidak bisa ke mana-mana, artinya di dalam rumah tingkat stres meningkat. Ketika suami kehilangan pekerjaan dan istrinya tidak bekerja, itu istri berpotensi menjadi tempat pelampiasan kemarahan suaminya sehingga KDRT meningkat,” kata Endah.