Menteri Susi Tak Ingin ”Tenggelam”
Beberapa bulan sebelum masa baktinya usai dalam Kabinet Kerja 2014-2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ingin berkeliling Jawa Barat. Ia rindu kampungnya setelah sibuk menenggelamkan kapal asing demi menjaga kedaulatan perairan republik ini.
Beberapa bulan sebelum masa baktinya usai dalam Kabinet Kerja 2014-2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ingin berkeliling Jawa Barat. Ia rindu kampungnya setelah sibuk menenggelamkan kapal asing demi menjaga kedaulatan perairan republik ini.
Kompas berkesempatan mengikutinya blusukan ke Kabupaten Kuningan, Jabar, Kamis (11/4/2019). Mengenakan jilbab biru, Susi tiba di Bandara Cakrabhuwana, Cirebon, sebelum pukul 08.00. Kami lalu menuju Kuningan menggunakan bus yang dilengkapi sofa melingkar di bagian belakang.
Susi duduk sambil menikmati teh di sana. Ia ditemani Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Rina. Tidak lama kemudian, Bupati Kuningan Acep Purnama ikut bergabung ke bus.
Saya ini, kan, enggak punya warna (partai).
Hari itu, agenda Susi bersilaturahmi dengan organisasi Persatuan Umat Islam Kuningan di Desa Cilimus dan mengunjungi Pondok Pesantren Mambaul Huda di Ciawigebang. Tujuannya, mengampanyekan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) serta Gerakan Masyarakat untuk Sadar Mutu dan Karantina Ikan (Gemasatukata).
Kuningan menjadi lokasi ke-10 kunjungan Susi dengan kegiatan serupa dalam sepekan terakhir di Jabar. Sebelumnya, ia juga pergi ke sejumlah pesantren di Ciamis, Banjar, dan Tasikmalaya. Apakah kedatangannya punya maksud lain, mengingat saat ini jelang Pemilu 2019, termasuk pemilihan presiden?
”Saya ini, kan, enggak punya warna (partai),” ucapnya. Sejak ditunjuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Presiden Joko Widodo, Oktober 2014, Susi memang tidak mewakili partai mana pun. Pendiri PT ASI Pudjiastuti Aviation ini tidak hanya dikenal sebagai pemilik maskapai Susi Air, tetapi juga pengekspor komoditas perikanan.
Konsumsi ikan
Slamet menambahkan, pesantren jadi tujuan kunjungan Susi karena tingkat konsumsi ikan di pesantren hanya 9 kilogram (kg) per kapita per tahun. Ini jauh dibandingkan rata-rata konsumsi ikan nasional yang mencapai 50 kg per kapita tahun lalu. Pada 2014, konsumsi ikan nasional tercatat 38,14 kg per kapita.
Susi ingin konsumsi ikan nasional seperti Jepang yang mencapai 80-100 kg per kapita per tahun. Ikan dapat mencegah stunting (gagal tumbuh) karena mengandung protein dan omega. Di Indonesia, lanjutnya, satu dari tiga anak mengalami stunting.
”Enam bulan lagi masa kerja saya selesai jika tidak ada perubahan kabinet. Kalau saya tidak keliling Jabar, nanti saya disumpahin orang Jabar. Saya mau ke daerah pelosok sampai September nanti,” ujar perempuan kelahiran Ciamis, 54 tahun lalu, itu. Beberapa hari sebelumnya, ia bahkan sakit dan mendapatkan infus di rumah.
Kita terlalu lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk….
Susi menuturkan, selama 4,5 tahun menjadi menteri, ia berupaya mewujudkan kedaulatan perairan Indonesia seperti pesan Presiden Jokowi. Ketika itu, Jokowi memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Penggalan pidatonya masih terngiang di pikiran Susi. ”Kita terlalu lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk….”
”Ini sangat baru dibandingkan presiden sebelumnya. Dulu, kita hanya selalu dikenalkan sebagai negara agraris. Pembangunan bertumpu di darat,” ujarnya. Padahal, 71 persen wilayah Indonesia berupa laut. Jika ditambah dengan sungai dan perairan lain, jumlahnya bisa mencapai lebih dari 80 persen.
Sebanyak 99,7 persen batas negara, lanjutnya, juga merupakan lautan. ”Oleh karena itu, keinginan menjadi poros maritim dunia sangat rasional. Laut adalah masa depan bangsa,” katanya.
Namun, awal menjabat sebagai menteri, perempuan bersuara berat itu dihadapkan pada berbagai problem. Selama tiga dasawarsa, sekitar 13.000 kapal asing beroperasi di perairan Indonesia, mengambil potensi perikanan. Selama itu pula, garis pantai sepanjang 97.000 kilometer—terpanjang kedua di dunia—belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
”Sensus 2003 sampai 2013 menunjukkan, rumah tangga nelayan kita turun lebih dari 50 persen. Mengapa? karena ikan hilang. Kenapa? Kapal berbendera asing diizinkan beroperasi. Ini sama saja melegalkan maling. Dia beli izin satu, kapalnya sepuluh. Warnanya sama,” tutur Susi.
Begitu hebatnya eksploitasi perikanan, stok ikan pada 2014 tersisa 7 juta ton. Padahal, jauh sebelum itu, lanjutnya, stok perikanan Indonesia lebih dari 30 juta ton.
Baca juga: Cirebon, Kota Udang Tanpa Udang
Susi mengingat, ketika melintasi jalur pantura Cirebon, berjejer penjual rajungan dan udang. Namun, kini nyaris tidak ada lagi. Julukan ”Kota Udang” untuk Cirebon seakan hanya tampak pada patung udang di halaman Balai Kota Cirebon. Katanya, udangnya sudah hilang.
Kondisi tersebut mendorong nelayan mencari ikan secara intensif dengan alat yang merusak lingkungan, seperti cantrang. Bagaimana tidak, mereka harus bersaing dengan kapal asing. ”Tidak hanya itu, sekitar 30 persen BBM (bahan bakar minyak) kita atau Rp 70 triliun dibawa ke laut untuk kapal asing,” ungkapnya.
Kalau pelakunya ditangkap satu per satu, Bapak jadi presiden lima kali pun masalahnya tidak selesai.
Fenomena yang berjalan begitu lama itu, menurut Susi, karena ada peran oknum aparat hukum, pemerintah, politisi, pengusaha, hingga tokoh masyarakat. ”Jadi, saya bilang sama Pak Jokowi, kalau pelakunya ditangkap satu per satu, Bapak jadi presiden lima kali pun masalahnya tidak selesai,” ujarnya.
Sepekan setelah menjabat, Susi memanggil duta besar sejumlah negara tetangga hingga China yang kerap menjaring ikan di Indonesia. ”Saya bilang, saya menteri dengan pendidikan terendah, tetapi wilayahnya paling gede. Persoalan Indonesia, banyak pencuri ikan. Jadi, kapal asing nanti tidak boleh jalan. Mungkin karena sudah diajak makan, para duta besar tidak protes,” katanya diiringi tawa.
Susi pun menerbitkan kebijakan moratorium kapal asing sebulan setelah menjabat. Ia juga membuat kebijakan penenggelaman kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan nasional. Menurut dia, aturan itu sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 45/2009 serta instruksi presiden.
Sejumlah pihak sempat mempertanyakan kebijakan tersebut, seperti mengapa kapal asing tidak disita lalu dilelang dan menghasilkan uang untuk negara ketimbang ditenggelamkan yang justru menghabiskan biaya. Kapal sitaan itu juga dapat dimanfaatkan bagi kelompok atau koperasi nelayan.
Susi bergeming. Ia menuturkan, dua bulan lalu, pihaknya menangkap enam kapal asing. Ternyata dua kapal tersebut pernah ditangkap beberapa tahun lalu. Namun, ketika dilelang, kapal dibeli oleh agen, lalu kembali ke tangan pemiliknya di Vietnam.
Susi menyebut fenomena itu sebagai penangkapan kapal residivis. Itu sebabnya, ia tetap ingin menenggelamkan kapal asing pelaku penangkapan ikan ilegal ketimbang lelang yang memberi pemasukan sekitar Rp 500 juta. Hingga kini, 488 kapal asing telah ditenggelamkan.
Kalau kamu nyolong ikan, ya, kapalnya kembali ke dasar laut menjadi rumah ikan. Ini, kan, adil.
Menurut dia, harga itu jauh lebih kecil dibandingkan manfaat yang didapatkan dari kebijakan penenggelaman kapal. Dua tahun setelah diterapkan (2016), stok ikan diklaim mencapai 12,5 juta ton. Jumlah itu meningkat sekitar 5,5 juta ton.
Jika 1 kilogram ikan seharga 1 dollar AS, nilai stok ikan nasional mencapai 5,5 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 77 triliun! ”Jadi, penenggelaman kapal tidak mubazir. Kalau kamu nyolong ikan, ya, kapalnya kembali ke dasar laut menjadi rumah ikan. Ini, kan, adil,” ujarnya.
Moratorium
Guntur, Sekretaris Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra, Indramayu, mengatakan, sejak kebijakan moratorium kapal asing dan pelarangan cantrang, tangkapan nelayan bertambah. ”Selama ini, nelayan melaut ke Papua berbulan-bulan karena laut pantura Jawa sudah habis. Sekarang, ikan di pantura kembali muncul,” katanya.
Berdasarkan catatan KPL Mina Sumitra, produksi perikanan di Karangsong tahun lalu mencapai 21.532 ton. Jumlah itu sekitar 60 persen dari produksi perikanan di Indramayu, yakni 36.576 ton. Dengan garis pantai 147 kilometer, Indramayu menyumbang sekitar 40 persen produksi perikanan di Jabar.
Nilai produksi perikanan di Karangsong juga mencapai Rp 476,9 miliar pada 2018 atau sekitar 80 persen dari total nilai produksi Indramayu, yakni Rp 595 miliar. Karangsong bahkan berkontribusi Rp 10,6 miliar untuk pendapatan asli daerah Indramayu.
Langkah Susi bahkan menjadi perhatian dunia. Ia kerap diundang berbicara di forum internasional tentang pembangunan lautan berkelanjutan. Terakhir, ia berbicara di World Ocean Summit 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, awal Maret lalu.
Baginya, perjuangan menjaga lautan Indonesia belum berakhir. Di Kuningan yang tidak memiliki laut, misalnya, Susi meminta masyarakat untuk mengurangi sampah plastik. Sebab, sampah yang sulit terurai itu bisa datang dari mana saja, mengalir ke sungai, dan terpapar di lautan.
”Jika ini dibiarkan, pada 2030, sampah plastik diramalkan lebih banyak dibandingkan ikan. Mau buang plastik ke laut? Nanti ditenggelamkan Bu Susi,” ucapnya tersenyum. Sepertinya Susi masih ingin berkarya dan tidak ”tenggelam” dengan berbagai pencapaiannya.