Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai positif untuk menekan polusi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, kebijakan itu semestinya secara simultan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
Upaya menekan polusi melalui pengembangan kendaraan listrik idealnya simultan dengan upaya mengurangi kemacetan. Angkutan umum butuh insentif lebih besar.
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dinilai positif untuk menekan polusi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, kebijakan itu semestinya secara simultan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas.
Oleh karena itu, insentif pengembangan angkutan umum listrik harus lebih besar ketimbang insentif pengembangan kendaraan pribadi listrik. ”Kalau benar-benar serius, angkutan umum harus diutamakan. Kalau tidak begitu, polusi berkurang, tetapi kemacetan tak berkurang,” kata pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ketika dihubungi, Minggu (25/8/2019).
Selain itu, apabila pemerintah juga ingin mendorong pengembangan sepeda listrik, perlu ada pembatasan kecepatan. Tujuannya untuk menekan angka kecelakaan, sekaligus mengondisikan pengendara agar menggunakan angkutan umum untuk perjalanan jarak jauh, bukan sepeda motor.
Kebijakan pemerintah juga harus mencakup aspek penghematan bahan bakar minyak (BBM). Daerah-daerah yang selama ini sulit mendapatkan BBM seharusnya didorong sekalian untuk langsung memanfaatkan listrik sebagai energi penggerak kendaraan. ”Penggunaan kendaraan elektrik seperti ini sudah dilakukan di Asmat, Papua,” kata Djoko.
Beralih
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, pekan lalu, mengatakan, pihaknya akan membuat peraturan direktur jenderal terkait peta jalan kendaraan listrik di kota besar. ”Kami mendorong angkutan umum dengan kendaraan listrik,” kata Budi, Jumat, pekan lalu.
Sesuai dengan semangat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019, kata Budi, ada insentif yang harus diberikan untuk kendaraan bermotor listrik. Insentif di sektor perhubungan, antara lain, menyangkut tarif parkir di lokasi yang ditentukan pemerintah daerah.
”Kami akan mendorong pemerintah daerah untuk memberikan tarif parkir yang sedemikian murah (untuk pengguna kendaraan listrik). Bahkan, kalau perlu, tidak menggunakan tarif sama sekali,” kata Budi.
Insentif lain yang akan diberikan adalah pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu. Sebagai contoh, pengecualian kendaraan bermotor listrik dari aturan ganjil genap. Dengan insentif itu, pemerintah berharap masyarakat mau beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik.
Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Nasruddin Djoko Surjono mengatakan, ada banyak insentif fiskal ataupun nonfiskal bagi pengembangan kendaraan listrik, sebagaimana tercantum dalam Perpres No 55/2019. Insentif fiskal, antara lain, berupa keringanan bea masuk untuk kendaraan bermotor listrik dalam bentuk terurai lengkap (completely knock down) dan terurai tidak lengkap (incompletely knock down). Ada juga insentif berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sebelumnya, pelaku industri otomotif mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan otomotif. Perpres itu dinilai akan mendorong pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air. (CAS)