Kebijakan Ekonomi Habibie Jadi Salah Satu Warisan Terpenting
Rezim kepemimpinan Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai era transisi. Memimpin Indonesia di masa krisis ekonomi, dalam periode waktu yang sempit, Habibie mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rezim kepemimpinan Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai era transisi. Memimpin Indonesia di massa krisis ekonomi, dalam periode waktu yang sempit, Habibie mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi dari posisi minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999.
Kurs rupiah juga menguat secara signifikan dari Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Fondasi ekonomi menjadi satu dari sekian banyak warisan yang ditinggalkan Habibie untuk Indonesia sebelum menghadap Sang Pencipta di usia 83 tahun. Habibie meninggal dalam kondisi kritis karena sakit, Rabu (11/9/2019) pukul 18.05 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengenang, sejak menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Presiden ke-2 RI Soeharto, Habibie memprioritaskan restrukturisasi perbankan sebagai jalan keluar ekonomi Indonesia dari keterpurukan.
”Saat industri riil kekurangan likuiditas untuk berekspansi, Habibie memilih untuk menyehatkan perbankan terlebih dahulu untuk keluar dari pelemahan ekonomi,” ujar Ari.
Pemerintah mengeluarkan paket restrukturasi perbankan untuk membangun kembali perbankan yang sehat. Saat itu rekayasa finansial dilakukan dengan cara membeli seluruh aset perbankan yang pailit menggunakan surat utang.
Lewat kebijakan tersebut, APBN disalurkan untuk membayar bunga utang. Sejumlah bank bank digabungkan untuk menjadi institusi perbankan yang lebih kuat dari sisi pendanaan. Pemerintah juga membuka kesempatan bagi bank asing untuk mengakuisisi bank lokal.
”Kebijakan ini tentu mendapatkan penolakan dari berbagai masyarakat. Namun, pada akhirnya semua sadar bahwa keputusan ini tepat. Untuk memulihkan sektor riil, fungsi intermediasi lembaga keuangan harus dipulihkan terlebih dahulu,” tutur Ari.
Dia menjuluki BJ Habibie sebagai peletak fondasi ekonomi pascakrisis. Fondasi kuat yang Habibie bangun memudahkan presiden-presiden selanjutnya dalam merancang pertumbuhan ekonomi nasional.
”Pemerintahan Habibie sukses membuka jalur stabilisasi ekonomi. Sayang, penolakan MPR terhadap pertanggungjawaban Habibie membuatnya mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden 1999,” kata Ari.
Peran BI
Pada masa Habibie, Bank Indonesia (BI) mendapat status independen sehingga posisi Gubernur BI keluar dari jajaran eksekutif. Posisi baru BI sebagai lembaga independen membuat otoritas moneter tak bisa diintervensi, termasuk presiden.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap nilai tukar, Habibie merasa BI harus independen dan tidak dapat dipengaruhi oleh entitas mana pun. Habibie menilai perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar keberadaan lembaga ini tidak disalahgunakan.
Babak baru BI dalam melaksanakan tugas dan wewenang secara independen dimulai sejak kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berlaku sejak 17 Mei 1999.
UU ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, kebijakan Habibie ini membuat BI mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan fungsi sebagai otoritas moneter.
”Payung hukum ini membuat pihak luar tidak bisa mencampuri pelaksanaan tugas BI dan BI juga wajib menolak dan mengabaikan intervensi dalam bentuk apa pun dari pihak mana pun juga,” ujarnya.