Surplus dari Tekstil Menipis
Tekstil dan produk tekstil produksi Indonesia berhadapan dengan produk impor. Sebagai salah satu komoditas ekspor utama, surplus neraca perdagangan tekstil menipis.
JAKARTA, KOMPAS — Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu sektor penghasil devisa bagi Indonesia. Namun, kontribusinya berkurang seiring surplus neraca perdagangan industri tekstil dan produk tekstil yang menipis.
Di sisi lain, industri tekstil dan pasar tekstil (TPT) di dalam negeri berhadapan dengan penetrasi produk TPT impor.
Mengacu pada laman Kementerian Perdagangan, sepuluh komoditas ekspor utama Indonesia adalah TPT, elektronik, karet dan produk karet, sawit, serta produk hasil hutan. Selain itu, ada alas kaki, otomotif, udang, kakao, dan kopi yang juga merupakan komoditas ekspor utama.
Terkait TPT, pendapat sejumlah kalangan yang dihimpun sepanjang pekan lalu sampai dengan Minggu (15/9/2019) menyebutkan, persoalan industri TPT mesti ditangani secara menyeluruh dan berkelanjutan. Apalagi, struktur industri TPT di Indonesia—yang dari hulu ke hilir—memiliki persoalan dan tantangan berbeda.
”TPT adalah sektor yang selalu menyetor devisa. Dari dulu sampai sekarang, TPT selalu menyumbang surplus (perdagangan),” kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno di Jakarta.
Meski demikian, surplus perdagangan industri TPT menipis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diolah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), surplus perdagangan industri TPT pada 2011 mencapai 4,825 miliar dollar AS.
Pada 2015, surplus perdagangan industri TPT sekitar 4,3 miliar dollar AS, yang turun menjadi 3,67 miliar dollar AS pada 2016. Surplus sempat naik menjadi 3,73 miliar dollar AS pada 2017, kemudian turun lagi menjadi 3,2 miliar dollar AS pada 2018.
Pada semester I-2019, surplus perdagangan industri TPT senilai 2,38 miliar dollar AS.
Benny menuturkan, selama ini perdagangan industri hilir TPT selalu surplus. Ia menggambarkan, berdasarkan catatan BPS dan Kemenperin, ekspor garmen Indonesia pada semester I-2019 senilai 4,06 miliar dollar AS. Adapun impor garmen pada periode yang sama senilai 426 juta dollar AS.
Sementara pada semester I-2018, ekspor garmen senilai 4,12 miliar dollar AS, sedangkan impornya 433 juta dollar AS.
Menurut Benny, surplus TPT akan terus meningkat jika produk dalam negeri dapat menggantikan produk impor.
Masalah di kain
Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy menambahkan, ada masalah yang selama ini dihadapi industri tengah atau industri antara TPT, yakni industri kain. Industri kain meliputi industri penenunan, perajutan, pencelupan, pencetakan, dan penyempurnaan.
Industri kain di Indonesia selalu mengalami defisit. Penyebabnya, ekspor kain kalah jauh dibandingkan dengan impor kain yang membanjir di Indonesia.
”Industri kain sejak 2010 sudah defisit, minus 1,84 miliar dollar AS. Pada 2018, defisitnya mencapai sekitar 4,2 miliar dollar AS,” kata Ernovian.
Operasi pasar yang melibatkan tim gabungan dinilai perlu segera dilakukan terkait impor yang membanjir tersebut.
”(Hal lain) yang diminta adalah penerapan safeguard dari hulu hingga hilir,” ujarnya.
Penerapan safeguard atau tindakan pengamanan pengenaan bea masuk sementara produk industri TPT dari hulu hingga hilir dipandang perlu. Langkah ini diyakini bisa melindungi industri TPT dan pasar domestik atas impor produk sejenis. Produk TPT tersebut mulai dari benang, kain, garmen, hingga produk tekstil jadi lainnya.
Hilir
Ernovian menambahkan, pemberian fasilitas kemudahan lokal untuk tujuan ekspor (KLTE) juga diharapkan dapat merangsang industri hilir TPT mengambil bahan baku dari dalam negeri.
”Selama ini, yang ada adalah KITE (kemudahan impor untuk tujuan ekspor),” kata Ernovian.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta, industri hulu cukup tergantung pada pasar di sisi hilir. Pasar yang bagus di sisi hilir diyakini akan berdampak baik terhadap industri hulu.
Produk impor yang banyak masuk ke pasar Indonesia bahkan telah menggerus pangsa pasar lokal sehingga industri di dalam negeri tidak dapat menikmati pertumbuhan konsumsi domestik. Akibatnya, selain harus mengurangi produksi, investasi di industri hulu pun tak ada.
Redma berpendapat, impor yang membanjir tersebut terjadi akibat sejumlah hal. Penyebabnya, antara lain, ada regulasi yang dinilai lebih mendukung bahan baku impor dibandingkan dengan bahan baku lokal. Ada pula regulasi yang membuka peluang bagi bahan baku impor untuk masuk pasar lokal serta regulasi yang tidak mendukung industri dalam negeri.
Menurut Redma, banyak agenda peningkatan daya saing industri yang sampai sekarang tidak dikerjakan. Ia mencontohkan, salah satunya adalah penurunan harga gas industri. Penurunan harga gas industri yang termasuk dalam salah satu Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan pemerintah belum terealisasi sepenuhnya.
”Jadi, di satu sisi, daya saing (industri dalam negeri) tidak dinaikkan. Akan tetapi, di sisi lain, produk impor dikasih jalan,” kata Redma. (CAS)