Belakangan, perbincangan mengenai industri tekstil dan produk tekstil atau TPT menghangat. Hal yang wajar karena TPT adalah salah satu sektor penting di negeri ini, baik sebagai penghasil devisa ekspor maupun penyerap tenaga kerja.
Salah satu hal yang kini disorot adalah tren penurunan nilai surplus perdagangan industri TPT dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian yang diolah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), surplus perdagangan industri TPT pada 2011 pernah mencapai 4,825 miliar dollar AS. Namun, pada 2018, surplus perdagangan industri TPT tinggal 3,2 miliar dollar AS.
Sedikit sinyal positif terlihat ketika surplus perdagangan industri TPT semester I-2019 mencapai 2,38 miliar dollar AS. Surplus ini naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018, yakni 2,31 miliar dollar AS. Tentu ada harapan kinerja perdagangan membaik sehingga surplus TPT pada 2019 dan selanjutnya meningkat.
Banjir impor produk TPT patut diatasi agar jangan sampai terus menggerus pangsa pasar lokal dan mengganggu industri di dalam negeri. Apalagi, pemutusan hubungan kerja dilaporkan terjadi di beberapa pabrik yang mengalami dampak parah dari serbuan produk impor.
Di titik ini, hubungan sinergis antara pelaku industri hulu, antara, dan hilir TPT menjadi penting. Sisihkan dulu ego tiap perusahaan dan ego tiap segmen di industri hulu, antara, dan hilir TPT. Selanjutnya, semua pihak bersama-sama membahas industri TPT Indonesia.
Saat ini, pelaku industri TPT satu suara dalam memandang bahwa safeguard atau tindakan pengamanan berupa pengenaan bea masuk sementara diperlukan. Kesamaan pandangan ini merupakan titik temu.
Berbagai aspirasi tentu harus didengarkan. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, misalnya, meminta besaran safeguard mampu memulihkan pasar yang parah akibat gempuran impor.
Perihal masih ada perbedaan menyangkut besaran tarif yang diusulkan, juga mesti disikapi dengan pertimbangan terukur dan menyeluruh. Apalagi, di industri yang memiliki struktur relatif lengkap dari hulu ke hilir, seperti di industri TPT, ditengarai ada berbagai kepentingan.
Hal penting sekarang adalah duduk bersama. Kemudian, saling memikirkan kepentingan bersama. Dengan demikian, kebijakan yang diambil dapat memberikan ruang tumbuh bagi industri hulu, antara, hingga hilir.
Menjadi hal yang menarik ketika kalangan industrialis TPT tak lupa menyuarakan agenda peningkatan daya saing. Daya saing dalam mengisi kebutuhan pasar domestik dan ekspor akan menjamin keberlanjutan bisnis industri TPT.
Pembenahan di sisi regulasi juga jangan dilupakan. Kebijakan yang terlalu banyak, saling bertentangan, atau aturan yang berulang harus dirapikan agar tidak menimbulkan keruwetan dan beban bagi pelaku ekonomi.
”Cukup miris ketika mendengar pandangan insinuatif dari unsur pemangku kepentingan, mengapa aturan kita terkesan memegang asas praduga terlarang ya? Apa-apa dilarang, selain yang diizinkan.”
Ada ungkapan legendaris, yakni memotong simpul Gordian. Simpul yang sulit diurai tersebut membutuhkan solusi drastis, yakni dengan dipotong untuk membuka jalinannya.
Apakah persoalan yang membelit industri TPT sudah sampai taraf disebut sebagai simpul Gordian? Ataukah beragam persoalan industri TPT selama ini hanya karena belum ada kebersamaan total antarpemangku kepentingan? Kini saatnya bersinergi mengurai kekusutan industri TPT negeri ini.