Dua Warga Singapura Tersangka Impor 87 Kontainer Sampah Plastik
Dua warga negara Singapura ditetapkan sebagai tersangka impor 87 kontainer limbah plastik. Kasus ini bukti Permendag No 31/2016 berisiko disalahgunakan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan perusahaan ART di Kawasan Berikat Cikupa, Tangerang, Banten, sebagai tersangka korporasi atas dugaan impor 87 kontainer limbah plastik tanpa izin. Selain tidak ada rekomendasi KLHK, limbah plastik impor tersebut juga terkontaminasi limbah bahan berbahaya beracun atau B3.
Selain tersangka korporasi yang diwakili direktur berinisial KWL, penyidik juga menetapkan tersangka perseorangan, yaitu LSW (komisaris), yang memerintahkan impor tersebut. Ditjen Gakkum KLHK memintakan cekal kepada kedua tersangka berkewarganegaraan Singapura tersebut.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, Kamis (3/10/2019), di Jakarta, mengatakan, para tersangka mengaku, 87 kontainer tersebut diimpor dari Hong Kong, Spanyol, Kanada, Australia, dan Jepang dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 13 Juni 2019. Sebanyak 24 kontainer di antaranya telah dikirim dan dibuka di Kawasan Berikat PT ART di Cikupa serta 63 kontainer masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.
Para tersangka mengaku, 87 kontainer tersebut diimpor dari Hong Kong, Spanyol, Kanada, Australia, dan Jepang.
Kasus ini terungkap berawal dari kecurigaan aparat bea dan cukai. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Tangerang kemudian meminta Direktorat Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 agar bersama-sama memeriksa limbah yang telah berada di kawasan berikat Cikupa. Permintaan ini terkait Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 yang menetapkan persetujuan impor dapat diterbitkan setelah mendapat rekomendasi dari KLHK dan Kementerian Perindustrian.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Yazid Nurhuda mengatakan, Direktorat Verifikasi Limbah B3 tidak bersedia memenuhi permintaan Kantor Bea dan Cukai tersebut. Alasannya, Direktorat Verifikasi Limbah B3 belum pernah menerima pengajuan maupun mengeluarkan rekomendasi impor limbah non-B3 dari PT ART. Karena itu, Bea dan Cukai serta Direktorat Verifikasi Limbah B3 menyerahkannya ke Ditjen Gakkum untuk diambil tindakan hukum.
Saat pengumpulan barang bukti, penyidik menemukan skrap plastik terkontaminasi limbah B3 seperti printed circuit board (PCB), remote kontrol bekas, baterai bekas, dan kabel bekas. Rasio Ridho Sani menyatakan belum menemukan pencemaran di dalam pabrik maupun sekitar pabrik. Ini karena impor tersebut relatif baru atau perdana pada Mei-Juni 2019 untuk memenuhi bahan baku di awal operasi produksi.
Penyidik menemukan skrap plastik terkontaminasi limbah B3 seperti printed circuit board (PCB), remote kontrol bekas, baterai bekas, dan kabel bekas.
Kejahatan serius
Yazid mengatakan kejahatan memasukkan limbah ini sangat serius karena membahayakan kesehatan warga Indonesia, kesehatan lingkungan, dan kedaulatan negara. Pihaknya menggunakan Pasal 105 dan Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 105 terkait limbah dengan ancaman penjara 4 - 12 tahun dan denda Rp 4 miliar - Rp 12 miliar serta. Pasal 106 terkait limbah B3 dengan ancaman penjara 5 - 15 tahun dan denda Rp 5 miliar - Rp 15 miliar.
“Ini untuk pertama kalinya (10 tahun berlakunya UU 32/2009) kami menindak pidana kegiatan memasukkan limbah/limbah B3 ke wilayah NKRI. Kita tidak boleh menjadikan negara kita tempat pembuangan sampah, limbah, dan limbah B3 negara lain,” kata dia.
Ini untuk pertama kalinya (10 tahun berlakunya UU 32/2009) kami menindak pidana kegiatan memasukkan limbah/limbah B3 ke wilayah NKRI.
Dalam kasus ini Rasio menerapkan pidana korporasi kepada perusahaan ART (diwakili Direktur KWL) dan pidana perseorangan (LSW). Dalam pemeriksaan kemarin di ruang interogasi Ditjen Gakkum, LSW mengenakan rompi oranye. Pada saat ditunjukkan kepada wartawan, petugas menutupi kepala tersangka dengan penutup kepala.
Menurut Rasio, KWL tidak bisa hadir karena sakit. Pihaknya tak mengenakan penahanan kepada KWL dan LSW karena dinilai korporatif dan hadir dalam pemeriksaan. Ditjen Gakkum juga meminta cekal untuk menghindari keduanya melarikan diri.
Terkait kemungkinan keterlibatan oknum sehingga kontainer tanpa izin sebanyak itu bisa diimpor dan lolos hingga kawasan berikat, Rasio mengatakan tidak bisa berkomentar akan hal itu. Ia mengatakan justru Bea dan Cukai yang meminta KLHK melakukan pemeriksaan.
Ia pun mengatakan kasus ini bisa dikembangkan lebih lanjut oleh penyidik Bea dan Cukai dengan menggunakan UU Kepabeanan maupun penyidik perdagangan. Secara internal penyidik Ditjen Gakkum mengembangkan kasus ini dengan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan, penutupan seluruh atau sebagian kegiatan usaha, serta pasal sangkaan lain dalam Pasal 119 UU No 32/2009.
Kasus ini bisa dikembangkan lebih lanjut oleh penyidik Bea dan Cukai dengan menggunakan UU Kepabeanan maupun penyidik perdagangan.
“Kami akan menggunakan perundangan yang ada untuk membuat efek jera karena kegiatan ini sekali lagi sangat membahayakan sehingga harus dihukum seberat-beratnya,” kata dia.
Ditjen Gakkum juga mendalami dugaan pidana lain yang dilakukan LSW sebagai Direktur PT ART terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin yang ditemukan di lokasi PT ART di Kawasan Berikat di Cikupa. Jumlah limbah B3 tersebut mencapai 580 ton yang dikemas dalam kantong-kantong besar berisi zinc oxide, slag sn, zinc catalys, zinc concentrate, nickel compound, dan batu Cu. Apabila terbukti, pelaku dikenakan ancaman pidana penjara 1 - 3 tahun dan denda Rp 1 miliar - Rp 3 miliar sebagaimana diatur dalam UU No 32/2009.
Menanggapi kasus ini, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Dwi Sawung mengatakan kasus ini membuktikan impor “sampah” dengan kedok limbah seperti diatur dalam Permendag No 31/2016 sangat berisiko. “Pembenaran apapun atas impor ini sulit kami terima karena rentan sekali digunakan untuk mengimpor sampah-sampah B3 atau yang sama sekali tidak bisa diolah,” kata dia.
Kasus ini membuktikan impor “sampah” dengan kedok limbah seperti diatur dalam Permendag No 31/2016 sangat berisiko.
Ini karena bahan daur ulang yang diimpor tersebut sebenarnya merupakan sampah di negara asalnya. Karena dalam UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, melarang impor sampah, maka Permendag No 31 menggunakan kata “limbah” pada bahan-bahan daur ulang tersebut. Meskipun dalam UU 32/2009 juga ada klausul larangan memasukkan limbah ke Indonesia. Impor “sampah” melalui Permendag 31 tersebut untuk menutupi kekurangan bahan baku industri daur ulang dalam negeri.
Diminta konfirmasi dan penjelasan terkait kasus ini, hingga semalam pejabat Ditjen Bea dan Cukai belum memberikan respons.