Untuk menarik investasi asing berorientasi ekspor, pemerintah bisa menyampaikan sinyal positif. Investasi semacam ini dapat memperbaiki kinerja perdagangan RI.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH/C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menarik investasi asing berorientasi ekspor, pemerintah bisa menyampaikan sinyal positif. Investasi semacam ini dapat memperbaiki kinerja perdagangan RI.
Selain itu, pada triwulan terakhir tahun ini, pemerintah bisa mengupayakan berbagai cara untuk mendongkrak ekspor.
Pada Januari-September 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,945 miliar dollar AS. Defisit ini terjadi akibat neraca migas yang defisit 6,441 miliar dollar AS tidak bisa ditutup surplus neraca nonmigas 4,496 miliar dollar AS.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Selasa (15/10/2019), defisit pada sembilan bulan pertama 2019 ini lebih kecil dibandingkan dengan defisit pada periode yang sama di 2018, yang mencapai 3,815 miliar dollar AS.
Pada Januari-September 2018, defisit neraca migas jauh lebih dalam, yakni 9,453 miliar dollar AS. Adapun surplus neraca nonmigas 5,638 miliar dollar AS.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, pelemahan aktivitas ekspor-impor yang terindikasi dari defisit neraca perdagangan tersebut menjadi sinyal pelambatan pertumbuhan ekonomi.
”Jika dibiarkan, ekonomi Indonesia pada 2019 bisa tumbuh hanya 4,8 persen,” katanya saat dihubungi, Selasa.
Oleh sebab itu, Fithra berpendapat, pemerintah perlu mengumpulkan sinyal positif yang mampu menjadi magnet investasi berorientasi ekspor. Salah satunya, dengan merealisasikan 16 paket kebijakan ekonomi.
Fithra menambahkan, pemilihan menteri di bidang perekonomian, baik makro maupun sektoral, yang berasal dari kalangan profesional dapat menjadi sinyal positif bagi investor. Meskipun menteri tersebut dari partai politik, profesionalitas di sektor terkait tetap harus menjadi prioritas.
Perjanjian
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno menyarankan agar perjanjian bilateral semakin dipertajam. Dengan cara itu, ekspor produk manufaktur bisa ditingkatkan.
”Ekspor sumber daya alam ada tekanan harga komoditas. Kalau produk manufaktur sebenarnya lebih tergantung pada perjanjian bilateral,” katanya.
Terkait upaya mendongkrak ekspor, Benny berpendapat, perdagangan secara barter bisa menjadi pilihan. Selain itu, ekspor jasa juga bisa mendongkrak kinerja ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani berpendapat, peluang pengembangan ekspor jasa di berbagai bidang masih terbuka.
Yang tak kalah penting, ujar Hariyadi, pemangku kepentingan di Indonesia mesti lebih efektif mengevaluasi berbagai perjanjian dagang yang sudah disepakati. Dunia usaha juga harus duduk bersama pemerintah untuk memahami sejumlah negosiasi yang akan dilakukan terkait perjanjian dagang.
Fithra menyebutkan, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) dapat menjadi sinyal positif bagi investor. Perjanjian dagang ini menghimpun 16 negara yang mencakup 32,2 persen ekonomi global berdasarkan kajian Kementerian Perdagangan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam siaran pers menyebutkan, RCEP akan diumumkan kepada negara atau pemerintah pada 3-4 November. Saat ini, RCEP dalam tahap penyelesaian sejumlah isu oleh komite negosiasi perdagangan.
Kendati neraca perdagangan defisit, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Dody Edward optimistis ekspor nonmigas dapat tumbuh 8 persen pada akhir tahun ini. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor nonmigas pada Januari-September 2019 turun 6,62 persen secara tahunan, menjadi 114,74 miliar dollar AS.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, langkah realistis yang dapat diambil pemerintah dalam jangka pendek adalah lebih selektif terhadap impor. Langkah ini dilakukan bersamaan dengan pengembangan hilirisasi industri.
”Perang dagang masih berlangsung. Kadang adem, lalu menghangat lagi,” katanya. (CAS/JUD)