Sulit rasanya, kalau tak ingin disebut mustahil, mencapai target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025. Target Kebijakan Energi Nasional itu masih jauh dari kenyataan saat ini. Porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional hanya sekitar 9 persen.
Target 23 persen itu setara kapasitas terpasang pembangkit listrik 45.000 megawatt. Dengan demikian, perlu tambahan sekitar 28.000 megawatt lagi dalam lima tahun mendatang atau 5.600 megawatt per tahun.
Pertanyaannya, mungkinkah?
Sebagai ilustrasi, rata-rata penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN per tahun hanya 4.000 megawatt (MW). Dari kapasitas terpasang itu, ebagian besar datang dari penambahan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara yang tak terbarukan. Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, target penambahan kapasitas terpasang listrik dari energi terbarukan tahun ini saja tak sampai 600 MW.
Energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, bayu, panas bumi, maupun bahan bakar nabati, memang belum terlalu populer di Indonesia. Untuk urusan pembangkit listrik di Indonesia, batubara ada di urusan teratas sebagai sumber energi primer. Apalagi, cadangan batubara Indonesia melimpah, sampai-sampai, lebih banyak batubara yang diekspor ketimbang yang dimanfaatkan di dalam negeri.
Dalam bauran energi primer pembangkit listrik PLN, porsi batubara merupakan yang tertinggi, yakni 61,85 persen. Berikutnya, gas sebesar 21,12 persen. Energi terbarukan ada di posisi ketiga dengan besaran 12,71 persen. Sisanya adalah pembangkit berbahan bakar minyak jenis solar.
Kenapa batubara masih jadi pilihan utama? Batubara punya keunggulan, yaitu letak pembangkit bisa di mana saja selama masih terjangkau pasokan batubara. Namun, tidak demikian dengan energi terbarukan. Posisi pembangkit harus ada di lokasi sumber energi terbarukan itu ada.
Selain itu, pembangkit listrik berbahan bakar batubara bisa menyala 24 jam dan relatif stabil. Bandingkan dengan sifat energi terbarukan, seperti tenaga bayu atau surya. Angin tak berembus terus-menerus, sama halnya dengan matahari yang tak memancarkan sinarnya pada malam hari. Energi terbarukan yang relatif stabil adalah tenaga air dan panas bumi. Kelebihan energi terbarukan adalah sumber dayanya yang ada terus-menerus, sedangkan suatu saat nanti batubara habis dan tak bisa diperbarui.
Akan tetapi, energi terbarukan bukan semata-mata tentang keandalan pasokan. Kesepakatan terhadap lingkungan yang lebih bersih untuk mencegah peningkatan pemanasan global secara cepat adalah hal utama lainnya. Kesepakatan itu tertuang dalam Perjanjian Paris 2015 yang turut ditandatangani Indonesia.
Seperti disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat berpidato di acara Indonesia EBTKE Conex 2019 di Jakarta, pekan lalu, pengembangan energi terbarukan perlu sosialisasi yang masif di masyarakat. Pemerintah butuh dukungan publik. Jelas mengesankan pemerintah tak bisa berjalan sendiri untuk mencapai target energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Sebaliknya, dari kalangan pelaku usaha energi terbarukan, pemerintah perlu memberi kemudahan pengembangan, seperti insentif. Sebab, harga jual listrik energi terbarukan di Indonesia sulit diadu dengan harga jual listrik dari pembakaran batubara yang disubsidi negara. Perlu keekonomian yang memadai agar minat mengembangkan energi terbarukan di Indonesia bisa dijaga dan terus tumbuh.
Kebijakan Energi Nasional yang mengatur target energi terbarukan dalam bauran energi nasional berupa Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Pemerintah sendiri yang menyusun targetnya, maka pemerintah pula yang bertanggung jawab merealisasikannya. (ARIS PRASETYO)