Impor bahan baku dan penolong pada Januari-Oktober 2019 turun 11,19 persen secara tahunan. Penurunan ini dikhawatirkan berdampak pada roda produksi di Tanah Air.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO / MARIA PASCHALIA JUDITH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Neraca perdagangan RI pada Oktober 2019 surplus 161 juta dollar AS, berbalik dari Oktober 2018 yang defisit 1,758 miliar dollar AS. Adapun neraca perdagangan Januari-Oktober 2019 defisit 1,787 miliar dollar AS, lebih baik dibandingkan dengan Januari-Oktober 2018 yang defisit 5,573 miliar dollar AS.
Kendati demikian, perbaikan neraca dagang pada bulan ke-10 tahun ini bukan akibat peningkatan ekspor. Perbaikan "semu" terjadi akibat impor anjlok lebih dalam daripada ekspor.
Ekspor pada Januari-Oktober 2019 turun 7,8 persen secara tahunan. Sementara, pada periode yang sama, impor turun 9,94 persen.
Pada Oktober 2019, ekspor sebesar 14,93 miliar dollar AS atau turun 6,13 persen secara tahunan. Adapun impor 14,77 miliar dollar AS atau anjlok 16,39 persen secara tahunan.
Hal yang perlu dikhawatirkan adalah impor bahan baku dan penolong, yang pada Januari-Oktober 2019 anjlok 11,19 persen secara tahunan. Bahan baku dan penolong, yang porsinya 74,06 persen terhadap total impor, digunakan dalam proses produksi dalam negeri.
"Bahan baku atau bahan penolong dibutuhkan industri. Ketika impor bahan baku atau penolong berkurang, berarti ada gejala-gejala kontraksi atau pelambatan produksi di industri," kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Menurut Ahmad Heri, ada kemungkinan impor barang turun karena barang tersebut -atau substitusinya- sudah bisa dipenuhi di dalam negeri. "Akan tetapi, saya rasa kalaupun (substitusi itu) ada, juga belum signifikan," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kiryanto menyebutkan, masih ada persoalan yang mendesak untuk diselesaikan.
"Perbaikan neraca dagang ini terjadi akibat impor yang turun tajam dibandingkan dengan ekspor. Hal ini mesti diwaspadai," katanya.
Data penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal, tambah Kiryanto, diharapkan bisa menjadi semacam alarm bagi pemerintah untuk berbuat sesuatu. Pelambatan produksi dan industri di dalam negeri bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Perbaikan neraca dagang ini terjadi akibat impor yang turun tajam dibandingkan dengan ekspor
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor barang modal pada Januari-Oktober 2019 sebesar 23,455 miliar dollar AS atau turun 4,94 persen secara tahunan. Adapun impor barang konsumsi 13,093 miliar dollar AS atau turun 8,31 persen.
Dari jenisnya, impor bahan kimia organik anjlok 15,52 persen secara tahunan, sedangkan impor serealia merosot 14,18 persen. Kedua bahan tersebut digunakan, antara lain, di industri makanan dan minuman.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman yang ditanya soal penurunan impor dua bahan industri makanan-minuman ini menyebutkan, serealia juga digunakan industri ternak.
Meski demikian, tambah Adhi, sebagian bahan kimia organik juga dibutuhkan di industri makanan minuman. "Memang ada indikasi daya beli masyarakat bawah turun. Namun, penurunan impor perlu dicermati lebih dalam, misalnya dibandingkan dengan produksi dalam negeri dan lain-lain," ujarnya.
Hati-hati
Kepala BPS Suhariyanto memaparkan, penurunan impor menurut penggunaan barang perlu disikapi hati-hati. "Kalau penurunan terjadi di barang konsumsi, oke, sehingga mudah-mudahan kita menggunakan produk dalam negeri," katanya.
Menurut Suhariyanto, penurunan impor bahan baku/penolong juga perlu ditelusuri lebih jauh. Penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal dinilai tidak menjadi masalah jika bahan atau barang tersebut dapat disubstitusi produksi dalam negeri.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, kinerja neraca perdagangan bulanan memiliki tren mirip kondisi perindustrian nasional yang digambarkan dalam Purchasing Manager\'s Index (PMI) yang dirilis tiap bulan oleh IHS Markit. PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2019 senilai 47,7 atau lebih rendah dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 49,1. Penurunan ini menunjukkan dunia usaha sedang tidak ekspansi.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menyatakan, pemerintah masih optimistis terhadap kinerja neraca perdagangan nasional. (CAS/JUD)