Harga gas dinilai tidak kompetitif dan memukul industri penggunanya. Sejumlah perusahaan dilaporkan tutup. Kondisi itu dikhawatirkan berlanjut pada tahun depan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gas di dalam negeri dianggap tidak kompetitif. Janji pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi belum terealisasi.
Harga gas untuk industri keramik, misalnya, menurut peraturan itu, ditetapkan 6 dollar AS per juta british thermal uni (MMBTU). Namun, menurut Asosiasi Industri Keramik Indonesia (Asaki), harga gas yang berlaku normal di Jawa Timur 7,89 dollar AS per MMBTU, sementara di Jawa Barat 9,16 dollar AS per MMBTU.
Kondisi itu dikhawatirkan mengganggu kinerja industri dan bahkan perekonomian nasional secara umum. ”Kami menerima keluhan (terkait harga gas) dari anggota,” kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto, di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Menurut Edy, beberapa anggota Asaki mendapat informasi atau sosialisasi dari PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN). Sosialisasi itu terkait rencana penyesuaian harga gas dalam rangka peningkatan layanan dan keandalan pasokan gas.
Sosialisasi itu dinilai membuat anggota Asaki bingung dan khawatir soal masa depan industri keramik. ”Sebab, bagi anggota atau industri keramik yang menolak rencana kenaikan harga itu, layanan dan keandalan pasokan yang selama ini sudah diterima akan dikurangi,” ujar Edy.
Asaki menolak rencana kenaikan harga tersebut karena merasa tidak sanggup. Apalagi, harga gas yang saat ini dibayar oleh industri keramik di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan regional dan telah memangkas daya saing.
”Saat ini, utilisasi industri keramik sudah di bawah 70 persen. Artinya, ada pabrik yang berhenti produksi. Dua bulan terakhir ada dua pabrik yang tutup sehingga total saat ini ada sembilan pabrik keramik yang berhenti produksi sementara,” tutur Edy.
Vice Chairman Committee Upstream Industry and Petrochemical Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mempertanyakan realisasi janji pemerintah soal harga gas.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Yustinus Gunawan mengatakan, rencana menaikkan harga gas industri, saat industri dalam negeri sudah payah menanggung harga gas yang tak kompetitif, sama artinya dengan melakukan deindustrialisasi.
Hingga Jumat pukul 21.30 WIB, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama belum merespons konfirmasi yang disampaikan Kompas. Dia belum membalas pesan melalui whatsapp dan tidak mengangkat telepon.