Pemerintah Wacanakan Verifikasi Pengguna Prabayar Pakai Pengenalan Wajah
Dengan perubahan mekanisme itu, beban tanggung jawab keabsahan pengguna kartu telepon prabayar akan sepenuhnya ditanggung oleh operator telekomunikasi. Namun, rencana itu dinilai berlebihan.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengubah mekanisme verifikasi dan validasi pengguna nomor prabayar jasa telekomunikasi dari berbasis data tunggal kependudukan menuju pengenalan wajah. Melalui rencana ini, beban tanggung jawab keabsahan pengguna akan sepenuhnya ditanggung oleh operator telekomunikasi.
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi, Jumat (6/12/2019), di Jakarta, mengatakan, rencana itu akan dituangkan dalam proses penyempurnaan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Diskusi mengenai rencana tersebut dimulai pekan depan.
”Pertimbangan kami adalah penyelenggara jaringan bergerak seluler wajib mengetahui secara pasti siapa pelanggannya. Jadi, konsep mengenal konsumen atau know your customer seperti yang ada di sektor perbankan dapat diterapkan juga kepada pelanggan jasa telekomunikasi, khususnya seluler prabayar,” ujarnya.
Pertimbangannya adalah penyelenggara jaringan bergerak seluler wajib tahu secara pasti siapa pelanggannya.
Ketut menyebutkan, mekanisme yang akan dibahas BRTI adalah mekanisme verifikasi sampai proses validasi pengguna nomor prabayar jasa telekomunikasi diserahkan sepenuhnya kepada operator seluler. Catatannya, operator wajib mengetahui siapa pelanggannya sehingga operator bertanggung jawab penuh terhadap keabsahan pelanggannya.
Dengan rencana baru itu, operator dapat menerapkan mekanisme verifikasi sampai validasi pengguna nomor prabayar, antara lain melalui gerai operator (tatap muka langsung) dan teknologi pengenalan wajah.
”Kami berharap, rencana mekanisme baru itu, tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” katanya.
Prinsip verifikasi dan validasi pengguna nomor prabayar jasa telekomunikasi itu, lanjut Ketut, tidak akan mengubah ketentuan wajib pemakaian satu identitas kependudukan, seperti nomor induk kependudukan, untuk tiga nomor prabayar per operator seluler.
Pratama Persadha, Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), lembaga riset keamanan siber, berpendapat, rencana pemerintah itu cukup berlebihan apabila diterapkan di Indonesia. Menurut dia, pemerintah dan operator telekomunikasi seluler seharusnya memaksimalkan terlebih dahulu pendaftaran nomor seluler dengan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK).
Rencana pemerintah itu cukup berlebihan apabila diterapkan di Indonesia.
”Penipuan dengan nomor prabayar masih banyak terjadi karena regulasinya terlampau longgar. NIK dan nomor KK bisa didaftarkan tanpa batas jumlah. Akibatnya, setiap orang yang punya NIK dan KK orang lain bisa mendaftarkan nomor baru,” tuturnya.
Menurut Pratama, verifikasi dan validasi pengguna nomor prabayar memakai teknologi pengenalan wajah berpotensi mengundang kontroversi meski sekarang banyak data wajah masyarakat yang ”disetor” ke Apple, Samsung, dan banyak pabrikan ponsel pintar yang tujuannya untuk fitur membuka kunci.
”Ini, kan, terkait data pribadi masyarakat. Sambil menunggu selesainya pembahasan rancangan undang-undang perlindungan data pribadi selesai, kami memandang sebaiknya tidak muncul dulu regulasi yang nanti sulit direalisasikan, apalagi jika melahirkan kontroversi,” ujar Pratama.