Relasi Dagang Indonesia-China Dapat Jadi Tameng Kedaulatan Natuna
Indonesia justru memiliki posisi tawar politis yang lebih besar dari relasi perdagangan tersebut. Indonesia menjadi salah satu pasar ekspor terbesar bagi China.
Oleh
M paschalia judith j
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam mempertahankan kedaulatan di wilayah Laut Natuna Utara, relasi dagang antara Indonesia dan China dinilai dapat menjadi tameng pemerintah. Relasi dagang ini memiliki posisi tawar politis bagi Indonesia untuk mengokohkan kedaulatan tersebut.
Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti berpendapat, hubungan dagang Indonesia-China menjadi salah satu kekuatan nasional mempertahankan posisi RI di tengah konflik kedaulatan Laut Natuna Utara.
”Jangan jadikan (relasi) perdagangan sebagai alasan memperlunak posisi pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Natuna,” kata dia kepada Kompas, Selasa (7/1/2020).
Jangan jadikan (relasi) perdagangan sebagai alasan memperlunak posisi pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Natuna.
Menurut Rachmi, sengketa kedaulatan antara China dan Indonesia terhadap Laut Natuna Utara tidak berdampak signifikan pada hubungan perdagangan kedua negara. Sebaliknya, Indonesia justru memiliki posisi tawar politis yang lebih besar dari relasi perdagangan tersebut.
Indonesia menjadi salah satu pasar ekspor terbesar bagi China. Sebaliknya, China membutuhkan impor bahan baku dari Indonesia.
”Hal inilah yang membuat posisi tawar politis Indonesia lebih besar dibandingkan dengan China,” ujarnya.
Konflik kedaulatan tersebut muncul ketika China mengklaim sepihak perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna. Beberapa hari lalu, sejumlah kapal nelayan China yang didampingi kapal Penjaga Pantai China memasuki kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna (Kompas, 4/1/2020).
Padahal, kesepakatan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengakui Laut Natuna Utara merupakan ZEE Indonesia. China menggunakan klaim ”Sembilan Garis Putus” yang tak berdasar hukum dan pernah ditolak Mahkamah Internasional pada 2016 atas sebagian wilayah itu (Kompas, 3/1/2020).
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga berpendapat, relasi perdagangan Indonesia dengan China tetap berjalan sesuai dengan prosedur, norma, dan kesepakatan yang ada. ”Saya pikir, kalau ada pelanggaran jelas ditindak sedangkan perdagangan (tetap) berjalan,” ujarnya.
Relasi perdagangan Indonesia dengan China tetap berjalan sesuai dengan prosedur, norma, dan kesepakatan yang ada.
Ketegangan Indonesia-China berpotensi memengaruhi perdagangan dan investasi kedua negara. Selama ini Indonesia selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan China.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan China sepanjang Januari-November 2019 defisit sebesar 16,969 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Defisit ini lebih rendah dibandingkan dengan periode Januari-November 2018 yang senilai 18,08 miliar dollar AS.
Nilai ekspor Indonesia ke China sepanjang Januari-November 2019 sebesar 23,54 miliar dollar AS. Pangsa pasar ekspor Indonesia ke China pada periode tersebut sebesar 16,62 persen dan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendata, realisasi investasi dari China ke Indonesia sepanjang Januari-September 2019 sebesar 3,313 miliar dollar AS melalui 1.619 proyek. Dari nilai investasinya, China menempati posisi kedua sebagai negara asal aliran modal yang masuk ke Indonesia.
Saat ini, China menjadi rekan investasi pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) mencatat, pembangunan kereta cepat itu hingga akhir 2019 telah menghabiskan dana sekitar Rp 40 triliun dari total biaya sebesar Rp 80 triliun.
Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek kolaborasi BUMN Indonesia dengan BUMN China yang tergabung dalam PT KCIC. Jalur kereta cepat sepanjang 142,3 km itu akan dilengkapi empat stasiun, yaitu Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar.
Kereta dengan kecepatan 350 kilometer per jam ini akan mempercepat waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi 45 menit. Sekitar 25 persen pembiayaan proyek dari ekuitas, sedangkan 75 persen dari pinjaman Bank Pembangunan China (CDB).
Di samping itu, Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN yang lain dan China tengah menuntaskan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Ketegangan geopolitik dengan China berpotensi mewarnai upaya-upaya penyelesaian perjanjian yang digadang-gadang menjadi salah satu solusi defisit transaksi berjalan Indonesia itu.