Warga Lebih Memilih Pemerintah Bangun Transportasi Publik daripada Jalan Tol Layang JORR
Pembangunan Tol JORR Elevated mengundang keraguan. Alih-alih menjadi solusi, pembangunan itu dikhawatirkan menambah kemacetan karena tak termasuk dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018-2029.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan konsorsium Jakarta Metro Expressway untuk membangun Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta Layang atau JORR Elevated mendapatkan lampu hijau dari pemerintah. Izin prakarsa telah diberikan sejak akhir Januari 2020. Namun, warga lebih memilih pemerintah membangun transportasi publik untuk mengatasi kemacetan daripada pembangunan jalan tol layang.
Masyarakat sangsi pembangunan jalan tol layang JORR mampu membantu mengurangi kemacetan Ibu Kota. Terlebih, pembangunan tidak termasuk dalam skenario besar pengelolaan transportasi Jabodetabek 10 tahun mendatang.
General Manager Corporate Affairs PT Nusantara Infrastructure Tbk Deden Rochmawaty dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2/2020), mengatakan, perusahaannya bersama dengan PT Triputra Utama Selaras, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, dan PT Acset Indonusa Tbk membentuk konsorsium Jakarta Metro Expressway (JMEX) untuk mengusulkan pembangunan Jalan Tol JORR Elevated. Jalan tol prakarsa swasta itu membentang sepanjang 22 kilometer di ruas Jatiasih, Kota Bekasi, hingga Ulujami, Jakarta Selatan, dan diusulkan masuk dalam jaringan Jalan Tol JORR.
”Kami sudah mendapatkan izin prinsip yang diterbitkan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) pada 11 Desember 2018 dan izin prakarsa pada 21 Januari 2020. Saat ini, kami tengah menyiapkan dokumen untuk tahap prakualifikasi tender,” ujar Deden.
Ia menambahkan, pembangunan bernilai investasi Rp 21,5 triliun itu bertujuan untuk mengurai kemacetan dan beban lalu lintas tol dalam kota. Selain itu, jika diintegrasikan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated di sebelah selatan, tol layang yang baru nantinya juga bisa mengurangi beban sekaligus memaksimalkan kapasitas lalu lintas di sepanjang koridor JORR.
Sebelumnya, Direktur Utama Nusantara Infrastructure M Ramdani Basri mengatakan, penambahan kapasitas jaringan jalan tol di wilayah Jakarta memang dibutuhkan, bahkan sebenarnya sudah terlambat. Pertumbuhan kendaraan selama ini tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Jalan tol yang ada pun tidak bisa mengimbangi jumlah kendaraan yang lewat (Kompas, 3/6/2019).
”Jadi, sekarang yang dibutuhkan bukan lagi jalan tol dua tingkat, tetapi tiga tingkat. Misalnya, sekarang banyak kendaraan yang masuk dan keluar tol untuk jarak pendek, maka diperlukan jalur untuk pengendara jarak panjang atau jarak jauh, misalnya dari Cengkareng langsung ke Cawang,” ujar Ramdani.
Sangsi
Pengamatan Kompas, ruas tol JORR hampir setiap hari dilanda kemacetan. Begitu pula pada Selasa pagi, kendaraan mulai dari Golongan I hingga Golongan IV menyesaki ruas tol di wilayah Bambu Apus, TMII, Jakarta Timur.
Berdasarkan kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada awal 2018, perbandingan jumlah kendaraan dengan lebar jalan (v/c ratio) pada ruas Bekasi-Jakarta pernah mencapai 0,8 hingga 1. Saat itu, lalu lintas terimbas pengerjaan tiga proyek strategis nasional, yaitu Tol Jakarta-Cikampek II Elevated, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan kereta ringan (LRT). Namun, saat ini volume pekerjaan sudah berkurang dan diprediksi kondisi lalu lintas pun lebih lancar.
Berkaca pada kondisi tersebut, Muhammad Iqbal (25), warga Kota Depok, Jawa Barat, yang sehari-hari melintasi Jalan Tol JORR, sangsi atas keberhasilan pembangunan tol layang dalam mengatasi macet. Menurut dia, sumber utama kemacetan selama ini adalah kerusakan jalan dan dominasi truk di jalan tol.
”Ketimbang membangun tol layang, lebih baik ada aturan pembatasan truk dan perbaikan kualitas jalan,” ucap Iqbal.
Maynar (30), pengguna JORR asal Kota Bogor, Jawa Barat, juga ragu akan efek jangka panjang keberadaan tol layang. Menurut dia, pada tahun pertama dan kedua pembangunan usai, lalu lintas tentu akan lancar.
Lebih baik membangun transportasi umum yang layak karena yang sudah ada saat ini belum sepenuhnya memudahkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain.
Namun, keberadaan jalan baru dinilai juga akan memicu kenaikan jumlah kendaraan yang akan kembali memenuhi jalan. ”Jadi, menambah kapasitas jalan itu seperti bom waktu saja. Untuk mengatasi kemacetan, justru yang dibutuhkan adalah regulasi soal pembatasan kendaraan pribadi,” ujar Maynar.
Andhika (28), warga Jakarta Selatan, menilai, pembangunan tol layang tidak dapat menyelesaikan kemacetan. Sebab, penyediaan jalan akan memicu semakin banyak orang untuk memiliki kendaraan pribadi.
”Lebih baik membangun transportasi umum yang layak karena yang sudah ada saat ini belum sepenuhnya memudahkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain,” katanya.
Tak masuk RITJ
Efektivitas Jalan Tol JORR Elevated dalam mengurangi kemacetan memang masih dipertanyakan. Sebab, proyek tersebut tidak termasuk dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2018-2029 yang tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang RITJ Tahun 2018-2029. Padahal, RITJ merupakan landasan kerja bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan transportasi di kawasan tersebut.
Dalam RITJ 2018-2029, ada sejumlah pembangunan jalan tol yang termasuk dalam strategi dan program pengembangan jaringan prasarana transportasi perkotaan. Sejumlah tol itu antara lain Jalan Tol JORR II Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran, Jalan Tol JORR II Cibitung-Cilincing, Jalan Tol JORR II Cimanggis-Cibitung, dan Jalan Tol JORR II Cimanggis-Cibitung. Selain itu, ada pula Jalan Tol JORR II Cinere-Cimanggis, Jalan Tol JORR II Kunciran-Serpong, dan Jalan Tol JORR II Serpong-Cinere.
Kepala Humas BPTJ Budi Rahardjo mengatakan, prinsipnya, pembangunan jalan tol di Jabodetabek harus berkontribusi mengurangi kemacetan di wilayah tersebut. Pembangunan juga harus mencapai indikator kerja utama dalam Perpres No 55/2018.
”Sejauh ini, usulan pembangunan tol elevated Ulujami-Jatiasih belum ada pada RITJ. Meski demikian, ada pasal di RITJ yang memungkinkan adanya perubahan,” katanya.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 13 Perpres No 55/2018. Dalam pasal itu disebutkan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi dapat mengevaluasi RITJ sekali dalam lima tahun. Dalam hal terdapat perubahan lingkungan strategis nasional, proyek strategis nasional, atau perkembangan teknologi transportasi, evaluasi dapat dilakukan lebih dari sekali dalam lima tahun.
Adapun evaluasi yang dimaksud berupa rekomendasi untuk mengubah RITJ. Menteri terkait juga perlu melaporkan perubahan itu kepada presiden.
Selain revisi regulasi, diperlukan kajian bersama tentang efektivitas proyek pembangunan dalam mengatasi kemacetan untuk mengakomodasinya ke dalam RITJ. Hingga saat ini, kata Budi, belum ada kajian tersebut antara BPTJ dan Kementerian PUPR ataupun pihak swasta.
Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Danang Parikesit mengatakan, penerimaan usulan swasta untuk membangun Tol JORR Elevated didasarkan pada pertimbangan jaringan dan pengusahaan. Menurut dia, usul yang sudah diterima sebagai prakarsa oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR berarti sudah sesuai dengan analisis jaringan.
Adapun Deden enggan berkomentar terkait ketiadaan pekerjaan yang diusulkan tersebut dalam RITJ. Ia berdalih, perlu persetujuan direksi untuk menjawabnya.