Indonesia unggul di sektor perikanan. Keunggulan ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong ekspor. Namun, faktanya, ekspor belum optimal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu, komoditas perikanan berpeluang memanfaatkan momentum ekspor. Namun, perlu strategi untuk memanfaatkan peluang pasar agar tidak disalip negara pesaing.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas hingga Selasa (10/3/2020), peluang mengisi pasar terbuka lebar. Sebab, Indonesia unggul sebagai salah satu negara produsen utama perikanan dunia, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Berdasarkan data Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2018, Indonesia menempati posisi ke-3 produsen perikanan budidaya, setelah China dan India.
Di sektor tangkapan laut, Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia setelah China, sedangkan di sektor tangkapan darat di posisi ke-6. Sementara, sebagai produsen rumput laut, Indonesia di peringkat ke-2 dunia, setelah China.
Kendati merupakan produsen utama perikanan dunia, Indonesia masih kalah bersaing dalam hal ekspor. Pada 2018, Indonesia menempati urutan ke-12 eksportir ikan dunia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo, mengemukakan, ekspor perikanan dalam tiga tahun terakhir cenderung stagnan. Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang ekspor secara optimal, antara lain karena industri pengolahan masih kekurangan bahan baku.
“Pasar masih bisa dicari sepanjang suplai bahan baku mencukupi dan harga bahan baku bisa bersaing dengan negara lain. Jika utilitas (industri) membaik, otomatis daya saing akan meningkat,” katanya di Jakarta, Minggu (8/3).
Saat ini, rata-rata utilitas industri pengolahan ikan dan udang di Indonesia 52 persen karena pabrik kekurangan bahan baku. Kapasitas terpasang industri pengolahan udang sekitar 550.000 ton per tahun, namun bahan baku yang masuk hanya 350.000 ton. Untuk mendorong pasar, diperlukan tambahan bahan baku 250.000 ton per tahun.
Menurut Budhi, agar bisa mengembangkan pasar dalam jumlah besar, Indonesia perlu fokus pada spesies unggulan dan memanfaatkan potensi pasar dalam negeri. Dengan cara itu, Indonesia bisa meningkatkan daya saing saat berhadapan dengan kompetitor.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume ekspor perikanan Indonesia pada 2019 sebanyak 1,18 juta ton atau tumbuh 1,54 persen dibandingkan dengan 2018 yang sebanyak 1,13 juta ton. Sementara, nilai ekspor meningkat 5,16 persen, dari 4,86 miliar dollar AS pada 2018 menjadi 4,94 miliar dollar AS pada 2019. Negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat, China, Jepang, kawasan ASEAN, dan Uni Eropa.
Belum optimal
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing KKP Nilanto Perbowo mengakui, Indonesia belum optimal memanfaatkan peluang ekspor. Sebagian produk perikanan Indonesia dikonsumsi masyarakat di dalam negeri.
Berdasarkan data KKP, rata-rata konsumsi ikan per provinsi pada 2019 sebanyak 54,55 kilogram (kg) per kapita. Kebutuhan bahan baku konsumsi di dalam negeri 12 juta ton setara ikan segar. Angka itu meningkat dibandingkan dengan 2018 yang sebanyak 50,69 kg per kapita atau setara kebutuhan bahan baku 11 juta ton setara ikan segar.
“Persoalan lain terkait logistik perikanan. Sebab, sentra produksi ikan di wilayah Indonesia bagian timur, sedangkan industri pengolahan sebagian besar di wilayah Indonesia bagian barat,” kata Nilanto dalam pesan tertulis.
Meski demikian, Indonesia dinilai telah memanfaatkan peluang pasar di tengah ketidak- pastian perekonomian global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. “Komoditas ekspor utama (perikanan) Indonesia ke AS dan China meningkat,” ujar Nilanto.
Komoditas yang meningkat ke pasar AS antara lain udang, tuna, cakalang, dan nila (tilapia). Adapun peningkatan ekspor ke China meliputi cumi, sotong, gurita, rumput laut, udang, layur, hati dan telur ikan, sidat, lobster, dan teripang.
Di sisi lain, wabah virus korona tipe baru juga berdampak pada penurunan ekspor beberapa komoditas, seperti kepiting dan lobster hidup. Namun, sejumlah eksportir mengalihkan pasar ke Hong Kong dan Taiwan.
Ketua Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) Kuncoro Catur Nugroho mengemukakan, produk daging rajungan (crabmeat) saat ini sudah dapat mengisi peluang ekspor ke AS.
Menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto, upaya mendorong produksi terkendala perizinan yang berbelit di tingkat daerah. Saat ini, setidaknya 14 jenis perizinan harus diurus untuk membuka usaha budidaya udang. (LKT)