Fiskal Negara Dipertaruhkan
Pencabutan PSBB dan penerapan protokol normal baru bakal menjadi simalakama bagi perekonomian dan pertaruhan fiskal negara. Oleh karena itu, kepercayaan pasar perlu dijaga.
JAKARTA, KOMPAS — Daya tahan fiskal untuk membiayai penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga kepercayaan pasar. Hal itu karena kebutuhan penerbitan surat berharga negara sampai akhir tahun masih cukup tinggi sekitar Rp 990 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, proyeksi terbaru kebutuhan pembiayaan utang tahun 2020 mencapai Rp 1.633,6 triliun, yang terdiri dari pembiayaan defisit APBN Rp 1.028,5 triliun, pembiayaan investasi termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional Rp 178,4 triliun, dan utang jatuh tempo Rp 426,6 triliun.
Dari jumlah itu, sumber pembiayaan dari penerbitan surat berharga negara (SBN) bruto mencapai Rp 1.521,1 triliun atau sekitar 93 persen dari total kebutuhan. Realisasi penerbitan SBN hingga Mei 2020 sebesar Rp 420,8 triliun. Dengan demikian, kebutuhan penerbitan SBN sepanjang Juni-Desember 2020 sekitar Rp 990,1 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri, yang dihubungi di Jakarta, Senin (1/6/2020), mengatakan, daya tahan fiskal sampai akhir tahun bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga kepercayaan pasar. Pembiayaan cukup menantang karena pemerintah membutuhkan anggaran besar dalam enam bulan ke depan.
”Kebutuhan pembiayaan dari penerbitan SBN hampir mendekati Rp 1.000 triliun, sangat tinggi sekali. Untuk memenuhi itu, pemerintah harus memberikan kejelasan prospek ekonomi ke depan,” katanya.
Kebutuhan pembiayaan dari penerbitan SBN hampir mendekati Rp 1.000 triliun, sangat tinggi sekali. Untuk memenuhi itu, pemerintah harus memberikan kejelasan prospek ekonomi ke depan.
Selama ini, isu yang digulirkan pemerintah adalah kapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan atau protokol normal baru diberlakukan. Padahal, yang dibutuhkan investor saat ini adalah program yang jelas agar pelonggaran PSBB dan penerapan protokol normal baru bisa mempercepat pemulihan ekonomi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah berencana mencabut PSBB dan akan menerapkan protokol normal baru. Protokol normal baru dirancang bersamaan dengan program Exit-Strategy Covid-19 berupa peta jalan fase pembukaan ekonomi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.
Perumusan tiga kebijakan itu mempertimbangkan dimensi kesehatan yang terdiri dari perkembangan penyakit, pengawasan Covid-19, dan kapasitas layanan kesehatan. Selain itu, dimensi kesiapan sosial ekonomi yang mencakup protokol-protokol untuk setiap sektor, wilayah, dan transportasi yang saling terintegrasi (Kompas, 28 Mei 2020).
Baca juga : Pemerintah Akan Cabut Regulasi PSBB
Angka reproduksi virus pada waktu tertentu (Rt) akan dijadikan salah satu indikator pemerintah dalam memutuskan kebijakan PSBB sekaligus relaksasinya di tiap-tiap daerah. Namun, sejauh ini, pemerintah belum mengumumkan secara komprehensif data perkembangan kasus Covid-19, khususnya Rt tersebut.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, untuk menentukan apakah suatu daerah sudah siap untuk memasuki adaptasi normal baru, ada 10 indikator kesehatan masyarakat berbasis data yang harus diperhatikan pemerintah daerah. Angka Rt hanya satu di antaranya.
Kesepuluh indikator itu mencakup penurunan tren jumlah kasus positif sebanyak 50 persen selama dua minggu terakhir, penurunan tren orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 50 persen selama dua minggu, penurunan jumlah meninggal kasus ODP dan PDP, dan penurunan jumlah kasus positif, ODP, dan PDP yang dirawat di rumah sakit.
Ada pula kenaikan jumlah selesai pemantauan atau pengawasan dari ODP dan PDP, tingkat reproduksi efektif (Rt) berada di angka kurang dari 1, jumlah pemeriksaan spesimen meningkat dalam dua minggu terakhir, serta kapasitas RS yang merawat pasien positif Covid-10 di bawah 60 persen.
Masih tinggi
Menurut Wiku, berdasarkan 10 indikator itu, sudah ada beberapa daerah yang siap memasuki kondisi adaptasi kebiasaan baru. Per 30 Mei 2020, Gugus Tugas Covid-19 mengumumkan ada 102 kabupaten/kota di 23 provinsi yang masuk kategori zona hijau penularan Covid-19. Data itu bisa berubah karena perubahan kondisi perkembangan kasus di tiap daerah per hari.
Sebagai perbandingan, data terakhir dari perusahaan analisis big data Bonza Teknologi Indonesia menunjukkan, masih ada 19 provinsi yang angka reproduksi efektifnya di atas 1, termasuk DKI Jakarta dan sejumlah provinsi yang sebelumnya tercatat siap memasuki normal baru versi Gugus Tugas Covid-19.
Data Bonza menunjukkan, per 1 Juni 2020 pagi, angka reproduksi efektif Covid-19 di DKI Jakarta adalah 1,07, Jawa Timur 1,22, dan Jawa Tengah 1,05. Jika Rt di suatu wilayah masih di atas 1, itu menunjukkan virus masih berpotensi menyebar ke beberapa orang dan menyebabkan lebih banyak paparan penyakit.
Sementara itu, angka penularan di Sumatera Utara dan Papua, yang menurut data Gugus Tugas per 30 Mei memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak yang siap memasuki normal baru, juga tercatat masih tinggi. Angka reproduksi efektif Covid-19 di Sumatera Utara dan Papua masing-masing adalah 1,22.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, per 1 Juni 2020, beberapa daerah memang masih mengalami kenaikan kasus Covid-19 yang cukup tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Namun, pada saat yang sama, 15 provinsi mencatat tidak ada laporan kasus positif Covid-19 yang baru.
”Kami masih terus berupaya semaksimal mungkin agar provinsi yang sekarang masih tinggi angkanya bisa ditekan, tentu berbasis pada bagaimana masyarakat mengubah perilakunya,” kata Yuri.
Simalakama
Yose menilai, pemberlakukan PSSB memang tidak mungkin lama. Namun, pelonggaran PSBB harus dibarengi kesiapan seluruh elemen dan kalkulasi kebijakan yang akurat.
Persiapan bukan hanya dari aspek ekonomi, melainkan juga kesehatan dan sosial masyarakat. Jangan sampai pelonggaran PSBB justru menjadi simalakama bagi perekonomian dan pertaruhan bagi fiskal negara.
”Indonesia saat ini seperti sedang maraton. Napas perekonomian harus dijaga jangan sampai hilang karena bisa ambruk. Kalau ekonominya ambruk, sosial masyarakatnya akan jatuh,” kata Yose.
Persiapan bukan hanya dari aspek ekonomi, melainkan juga kesehatan dan sosial masyarakat. Jangan sampai pelonggaran PSBB justru menjadi simalakama bagi perekonomian dan pertaruhan bagi fiskal negara.
Menurut Yose, kebutuhan anggaran dan kejelasan program ibarat dua sisi mata uang. Jika pemerintah tidak mampu menyajikan program yang jelas dibarengi kalkulasi kebijakan yang matang, investor tidak akan tartarik membeli SBN Indonesia. Kebutuhan anggaran sampai akhir tahun terancam dan prospek ekonomi bisa makin buruk.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) tidak bisa menyerap SBN terlalu tinggi kendati ada mekanisme pembagian beban (burden sharing). ”Penyerapan SBN pemerintah oleh BI dalam jumlah besar akan berbalik merusak kepercayaan pasar. Hal itu karena pembelian SBN di pasar pemerintah tidak melalui mekanisme pasar,” katanya.
Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam wawancara khusus dengan Kompas menyampaikan, daya tahan APBN sudah didesain bertahan sampai akhir tahun. Defisit anggaran ditingkatkan hingga 6,27 persen produk domestik bruto untuk mencukupi kebutuhan pemulihan ekonomi secara bertahap, termasuk pelonggaran PSBB.
”APBN tidak dimaksudkan untuk menyubsitusi seluruh kegiatan ekonomi bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19. APBN berfungsi sebagai katalis atau bantalan agar masyarakat dan dunia usaha memiliki daya tahan sampai akhir tahun,” katanya.
APBN tidak dimaksudkan untuk menyubsitusi seluruh kegiatan ekonomi bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19. APBN berfungsi sebagai katalis atau bantalan agar masyarakat dan dunia usaha memiliki daya tahan sampai akhir tahun.
Baca juga : Menkeu Sri Mulyani: Mencegat Efek Domino Pandemi
Menurut Sri Mulyani, pembiayaan pada 2020 cukup menantang. Likuiditas global memang berlimpah karena beberapa bank sentral mulai mencetak uang baru, seperti Bank Sentral AS The Federal Reserve dan Bank Sentral Jepang. Namun, investor enggan mengambil risiko sehingga likuiditas tidak digulirkan untuk memutar roda ekonomi.
Dunia saat ini dihadapkan pada dua risiko sekaligus di sisi dunia usaha dan sektor keuangan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil risiko itu agar pembiayaan melalui penerbitan SBN terpenuhi. Risiko diperkecil dengan menjaga akuntabilitas dan transparansi anggaran untuk mengembalikan kepercayaan investor.
”Pemerintah akan menerbitkan SBN sekitar Rp 990 triliun untuk sisa tahun ini. Pemerintah mendominasi penerbitan SBN karena saat ini hampir semua perusahaan swasta dalam kondisi melambat,” kata Sri Mulyani.
Baca juga : PSBB Dilonggarkan, Siapkan Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19
Pemerintah mengantisipasi kontraksi ekonomi pada triwulan II-2020 akibat perluasan PSBB ke sejumlah daerah dan peningkatan kasus Covid-19. Penerima bantuan sosial saat ini mencakup hingga 40-50 persen penduduk kelas menengah. Namun, sejauh ini belum ada rencana peningkatan anggaran kesehatan yang sebesar Rp 75 triliun.
Sementara Gubernur BI Perry Warjiyo mendorong agar bank yang ingin mendapatkan likuiditas tambahan segera datang ke bank sentral dan melelang SBN yang dimiliki. Menurut Perry, mekanisme repo SBN ini adalah tahap pertama yang harus dilakukan perbankan.
Baca juga : Likuiditas di Era Normal Baru
Sesuai Undang-Undang BI, setiap hari BI melakukan operasi moneter untuk pendanaan likuiditas kepada bank melalui repo dengan SBN yang dimiliki bank. Lelang SBN dilakukan dengan tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Saat ini, jumlah SBN milik bank yang sudah direpokan ke BI masih sekitar Rp 43,9 triliun. Adapun data per 14 Mei 2020, jumlah SBN perbankan sebesar Rp 886 triliun atau sekitar 16,4 persen dari total dana pihak ketiga perbankan.