Meski Mayoritas, Upah Pekerja Perempuan di Sektor Wisata Lebih Rendah dari Laki-laki
Mayoritas tenaga kerja di sektor parisiwata adalah perempuan dengan persentase 54 persen. Namun, perempuan menerima upah 14,7 persen lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki di sektor ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata masih menghadapi sejumlah tantangan, misalnya stigma bahwa peran perempuan terbatas pada bidang domestik dan kesenjangan upah dengan laki-laki. Upaya pemberdayaan bisa dimulai dengan edukasi dan pelibatan masyarakat lokal.
Data Global Report on Women in Tourism oleh Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) yang rilis pada November 2019 menyatakan, mayoritas tenaga kerja di sektor pariwisata adalah perempuan dengan persentase 54 persen. Namun, perempuan menerima upah 14,7 persen lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki di sektor ini.
Ketua Yayasan Sumba Hospitality Radempta Bato mengatakan, banyak perempuan di Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang bekerja di bidang perhotelan. Namun, peran perempuan masih belum direkognisi karena kuatnya stigma domestik pada perempuan.
”Masih ada yang berkata kepada saya bahwa bekerja di hotel itu bukan pekerjaan perempuan. Bisa dilihat bahwa perempuan sulit keluar dari ruang domestiknya. Ini karena masyarakat tumbuh dalam situasi yang membentuk mereka seperti itu. Belum ada role model yang bisa mematahkan stigma tersebut,” kata Radempta dalam pertemuan virtual berjudul ”Peran Perempuan dalam Pengembangan Pariwisata Indonesia”, Sabtu (1/8/2020).
Menurut dia, pendidikan adalah salah satu cara keluar dari stigma. Anak muda di Sumba kemudian diajari beragam hal. Selain diberi pendidikan soal industri perhotelan, mereka juga diajari tentang kesetaraan jender, toleransi, kepercayaan diri, dan kesehatan reproduksi.
Yayasan Sumba Hospitality kini mendidik 60 anak muda berusia 17-23 tahun. Mayoritas adalah perempuan. Para murid dididik selama 11 bulan, lalu mengikuti program magang di sejumlah hotel yang bekerja sama dengan yayasan.
Radempta berharap agar pendidikan dan kesempatan bekerja di sektor pariwisata bisa memutus jerat kemiskinan di daerahnya. Pasalnya, NTT masih menempati urutan ketiga nasional kemiskinan. Di sisi lain, kemiskinan mengarah ke maraknya perdagangan manusia di NTT.
”Perempuan punya kedudukan yang sama (dengan laki-laki). Kita harus saling berbagi dan belajar untuk bertumbuh bersama dan bergerak menuju kesetaraan,” kata Radempta.
Upaya pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata juga dilakukan di Labuhan Jambu, Kabupaten Sumbawa, NTB. Sebanyak 700 warga lokal dilibatkan dalam pengembangan program wisata hiu paus, termasuk perempuan.
”Ibu-ibu di sana bekerja sama dengan kami untuk menyediakan akomodasi wisata, seperti menyediakan home stay dan ada yang membuka usaha makanan,” ujar Manajer Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro (BUMDes LKM) Labuhan Jambu Sanawiyah.
Pemberdayaan perempuan perlu dibarengi dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Menurut Radempta, masyarakat harus menjadi subyek utama dalam rancangan konsep pariwisata di suatu daerah. Pariwisata harus memberi manfaat bagi warga lokal. Di sisi lain, pembangunan pariwisata tidak boleh merusak lingkungan.
”Pariwisata berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika warga lokal dilibatkan secara aktif sejak awal. Tidak hanya sebagai pelengkap. Pariwisata berkelanjutan perlu persiapan,” katanya.
Pariwisata berkelanjutan dimaknai sebagai turisme yang mengedepankan hubungan antarmanusia dan lingkungan yang harmonis. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam artikel (Kompas, 11/10/2019) menyatakan, ada kombinasi dua hal dalam mengelola pariwisata berkelanjutan. Keduanya ialah penerapan standar global dan penjagaan kearifan lokal.
Salah satu pendiri Kurabesi Explorer, Rani Bustar, sepakat dengan hal itu. Menurut dia, kegiatan pariwisata harus memberi dampak positif kepada masyarakat dan lingkungan. Ia pun berkolaborasi dengan warga lokal untuk menyediakan pengalaman wisata bagi para pelancong.
”Kami mengoperasikan sebuah kapal pinisi yang berlayar di Indonesia timur. Kami mengajak tamu singgah dan berinteraksi dengan warga lokal di tempat yang kami kunjungi. Itu agar para turis punya pengalaman dan mengenal daya tarik daerah itu,” kata Rani.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Pramusiwata Indonesia (DPC HPI) di Raja Ampat Ranny Tumondo berujar, HPI mengajak warga untuk terlibat dalam pengembangan pariwisata. Mereka didorong untuk percaya diri akan potensi serta budaya mereka di hadapan wisatawan.
Masyarakat juga diberi literasi dan diajak melestarikan lingkungan, misalnya melalui pengangkatan bintang laut berduri yang dapat merusak terumbu karang.