Peran yang Ditukar
Berbagai kebijakan diluncurkan demi mengakomodasi situasi dan kondisi yang berubah di masa krisis, termasuk di masa pandemi Covid-19.
”Setiap krisis menuntut perubahan dan reformasi”— George Soros, investor dan filantropis global
Dalam menangani krisis, setiap pemerintah niscaya menerbitkan kebijakan baru. Sebab, krisis selalu memperlihatkan kelemahan dan kekosongan tata kelola, yang di masa normal tidak terlihat. Kebijakan baru dibuat untuk menutup kelemahan dan mengisi kekosongan tersebut.
Selain itu, karakter mitigasi krisis yang menuntut kecepatan dan kemudahan dalam implementasi kebijakan juga kerap berlawanan dengan kebijakan pada masa normal yang cenderung hati-hati atau pruden. Kondisi ini membuat banyak aturan pada masa normal tak bisa dipakai pada saat krisis.
Krisis yang memerlukan respons cepat dari pemerintah juga membuat kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat. Kebijakan yang ternyata tidak efektif harus segera direvisi dengan kebijakan baru yang lebih implementatif sesuai perubahan yang terjadi.
Dinamika perubahan dan reformasi kebijakan juga dilakukan Indonesia dalam menangani krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Di sektor keuangan, contohnya, cukup banyak kebijakan baru terbit, yang kemudian mengubah peran otoritas di sektor keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Mereka adalah Kementerian Keuangan selaku otoritas fiskal, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, Otoritas Jasa Keuangan selaku otoritas jasa keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan selaku otoritas resolusi perbankan.
”KSSK terus memformulasikan dan mendesain kebijakan untuk bisa meminimalkan dampak negatif pandemi Covid-19 terhadap kegiatan ekonomi ataupun sektor keuangan dan terus memfomulasikan kebijakan apabila diperlukan perubahan-perubahan seiring perkembangan yang terjadi. KSSK juga mendorong implementasi kebijakan extraordinary untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” kata Ketua KSSK Sri Mulyani, pekan lalu.
Baca juga: Pemerintah Benahi Strategi Hadapi Pandemi
Peran baru
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diundangkan pada 8 Juli 2020, LPS mendapat peran baru sebagai lender of the last resort bagi perbankan karena memiliki wewenang menempatkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas.
Sebelum ada PP ini, LPS bertugas membereskan pembayaran simpanan nasabah bank yang ditutup OJK dan menyelamatkan bank gagal berdampak sistemik sesuai keputusan KSSK. Peran lender of the last resort perbankan sebelumnya dipegang BI melalui instrumen pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dan fasilitas pembiayaan darurat (FPD) bagi bank berdampak sistemik. Peran ini tak bisa lagi dijalankan BI karena terbentur aturan dan kedudukan BI yang bukan lagi pengawas perbankan.
LPS mendapat peran baru sebagai lender of the last resort bagi perbankan.
Di sisi lain, BI juga mendapatkan peran baru sebagai lender of the last resort untuk membiayai kebutuhan fiskal pemerintah. Undang-Undang No 2/2020 tentang penetapan Perppu No 1/2020 terkait kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 memberikan kewenangan kepada BI untuk membeli surat utang negara (SUN) di pasar perdana alias memberi pinjaman langsung kepada pemerintah.
Pada kondisi normal, sesuai pengalaman pengelolaan moneter di banyak negara, bank sentral hanya boleh membeli SUN jangka panjang di pasar sekunder. Penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi membutuhkan banyak dana sehingga memaksa pemerintah berutang besar-besaran. Dalam Perpres No 72/2020 tentang perubahan Perpres No 54/2020, proyeksi utang neto pada 2020 mencapai Rp 1.220,46 triliun, yang sebagian besar akan dipenuhi melalui penerbitan SUN.
Peran baru BI sebagai lender of the last resort bagi otoritas fiskal diperlukan karena tidak semua SUN yang diterbitkan pemerintah akan terserap pasar seiring likuiditas di pasar yang terbatas. BI akan membeli SUN yang tidak terserap pasar tersebut. Selain itu, BI juga akan berperan sebagai lender of the last resort bagi LPS dengan menyediakan fasilitas repo SUN bagi LPS. Jadi, saat membutuhkan likuiditas terkait penanganan bank, LPS dapat menggadaikan SUN yang dimilikinya ke BI.
Kementerian Keuangan turut memainkan peran baru untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Bahkan, untuk menangani krisis kali ini, Kemenkeu terpaksa mengintervensi wilayah moneter dan perbankan terkait penyediaan likuiditas. Berlandaskan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Pecerpatan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kementerian Keuangan memiliki kewenangan menempatkan dana di perbankan. Hingga kini, Kemenkeu telah menempatkan dana Rp 30 triliun pada 4 bank BUMN dan Rp 11,5 triliun pada 7 Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Untuk menangani krisis kali ini, Kemenkeu terpaksa mengintervensi wilayah moneter dan perbankan terkait penyediaan likuiditas.
Peran ini dilakukan Kemenkeu karenai perbankan cenderung menggunakan likuiditas untuk membeli SUN sehingga tak ada alokasi untuk disalurkan sebagai kredit. Perbankan juga masih ragu-ragu menyalurkan kredit karena risiko yang masih tinggi. Padahal, penyaluran kredit sangat diperlukan agar sektor riil bisa segera bangkit guna memulihkan perekonomian.
Selain penerbitan aturan baru dan dinamika terkait peran otoritas di sektor keuangan, perubahan kebijakan terjadi begitu cepat, sebagai keniscayaan dalam situasi krisis.
Perubahan dan saling tukar peran otoritas yang terjadi saat ini diharapkan tidak hanya sekadar tambal sulam untuk kepentingan sesaat, tetapi juga menjadi desain baru dalam arsitektur tata kelola dan pengawasan sistem keuangan ke depan. (M Fajar Marta)