Pandemi Covid-19 membuka sederet peluang baru. Namun, perubahan itu menuntut adaptasi, khususnya soal penggunaan teknologi digital. Ada tugas berat menanti untuk mengakselerasi pelaku UMKM masuk ke ekosistem digital.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Setelah beberapa bulan didera pandemi Covid-19, ada sejumlah tren yang menandai kenormalan baru di Indonesia dan banyak negara lain di dunia, antara lain percepatan adopsi digital, belanja daring, serta bekerja, belajar, olahraga, dan hiburan dari rumah. Teknologi digital melandasi segenap perubahan tersebut.
Data produk domestik bruto Indonesia triwulan II-2020 bisa jadi cermin. Ketika sektor lain tumbuh minus atau tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2019, informasi dan komunikasi menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh positif dan lebih tinggi, yakni 10,88 persen. Enam sektor lain tumbuh positif, tetapi melambat atau tumbuh lebih rendah daripada tahun lalu, antara lain pertanian, jasa keuangan, jasa pendidikan, dan real estat.
Tren hijrah ke digital itu ditandai dengan kenaikan transaksi e-dagang, konsultasi dokter, layanan pesan antar makanan, layanan hiburan di rumah, serta pengguna aplikasi pertemuan virtual sejak virus merebak. Segenap tren baru itu sejatinya menyuguhkan sederet peluang yang dapat menggerakkan ekonomi di tengah pandemi.
Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan menjadi pelaku utama yang memanfaatkan peluang itu. Sebab, posisi dan perannya teramat vital bagi Indonesia. Dengan jumlah mencapai 64,19 juta unit usaha atau 99,99 persen total unit usaha (2018), UMKM menyerap 116,98 juta (97 persen) tenaga kerja, menjadikannya sektor yang krusial sebagai penentu gerak perekonomian nasional.
Namun, meski posisinya strategis dan potensial sebagai motor penggerak, baru 13 persen atau 8,3 juta pelaku UMKM yang masuk ke ekosistem digital menurut data Kementerian Koperasi dan UKM. Kini, ketika situasi menuntut ekonomi bergerak dengan teknologi digital sebagai tulang punggung, bisa apa mereka?
Selain sebagian besar pelaku UMKM belum go online, infrastruktur telekomunikasi masih timpang antara kota dan desa, antara Jawa dan luar Jawa. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, dari 83.218 desa/kelurahan yang terdata secara administratif di Indonesia, 12.548 desa/kelurahan belum terjangkau sinyal 4G karena infrastruktur menengah dan akhir belum terbangun.
Soal literasi digital juga masih jadi problem. Tak sedikit pelaku UMKM yang belum ”melek digital” meski tinggal dan berusaha di wilayah yang sebenarnya sudah terlayani jaringan internet. Kendala yang dialami pelaku usaha, terutama mikro dan kecil, nyaris sama dengan situasi yang dihadapi sebagian siswa sekolah yang mesti belajar jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), ada 31,8 persen wilayah di Indonesia yang belum tersentuh jaringan internet dan 7,1 persen daerah belum teraliri listrik. Separuh lebih daerah tertinggal, terdepan, dan terluar sudah memiliki jaringan internet, tetapi belum bisa digunakan dengan baik, bisa jadi karena sinyal lemah atau soal kemampuan manusianya dalam mengakses teknologi.
Pemerintah memang mengalokasikan anggaran yang tak kecil, yakni Rp 123,47 triliun, untuk pemulihan ekonomi UMKM. Anggaran itu, antara lain, digunakan untuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, belanja imbal jasa penjaminan, penjaminan modal kerja, Pajak Penghasilan (PPh) final UMKM ditanggung pemerintah, dan pembiayaan investasi melalui koperasi. Pemerintah juga berencana menggelontorkan hibah modal kerja Rp 2,4 juta per pelaku usaha untuk 12 juta UMKM mulai pertengahan Agustus ini.
Meski demikian, kebutuhan UMKM tak hanya modal, diskon bunga pinjaman, atau restrukturisasi kredit. Ketika perilaku konsumen berubah drastis akibat pandemi, pelaku usaha harus beradaptasi, terutama soal pemanfaatan teknologi. Perubahan itu sejatinya menyajikan sederet peluang baru. Namun, ada pekerjaan rumah yang mendesak diselesaikan, yakni mengakselerasi ”si kecil”.