Sejak menyerang pada pertengahan Maret 2020, wabah Covid-19 di Jawa Timur belum mereda, apalagi terkendali. Daerah dengan risiko tinggi terus meluas ke luar Surabaya Raya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Sejak menyerang pada pertengahan Maret 2020, wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) di Jawa Timur belum mereda, apalagi terkendali. Aparatur dan masyarakat ”Brang Wetan”, julukan lawas provinsi ini, perlu lebih waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan jika ingin mengalahkan pagebluk yang telah menjadi pandemi global.
Di Indonesia, kasus pertama warga terjangkit Covid-19 diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Ketika itu, Covid-19 menyerang dua warga Depok, Jawa Barat. Selang 15 hari kemudian, Jatim mengumumkan enam warga Surabaya dan dua warga Malang positif Covid-19. Enam warga Surabaya itu ternyata merupakan tenaga kesehatan di RSUD Dr Soetomo sehingga bisa diyakini bahwa mereka tertular dari pasien atau pengunjung.
Sampai dengan Kamis (3/9/2020) atau 170 hari sejak kasus pertama diumumkan di Jatim, penyakit mematikan ini telah menjangkiti 34.655 warga. Situasi di Jatim setara dengan 18,8 persen dari 184.268 kasus nasional. Jatim berada di urutan kedua atau di bawah Ibu Kota sebagai kawasan paling terpapar wabah Covid-19.
Menerapkan protokol kesehatan bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan orang-orang terdekat.
Sebanyak 34.655 warga yang terjangkit Covid-19 di Jatim itu terdiri dari 2.459 orang meninggal, 5.079 orang dalam perawatan, dan 27.117 sembuh. Dalam kurun 170 hari ini, rerata harian penambahan kasus ialah 203 orang terjangkit, 14 orang meninggal, dan 159 orang sembuh.
Statistik ini memperlihatkan bahwa penambahan kasus harian melebihi kesembuhan. Selain itu, tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) 7,1 persen, yang berarti di atas rerata nasional 4,2 persen.
Sebagian besar kasus di Jatim terjadi karena transmisi lokal. Dari 34.655 kasus, sebanyak 54 persen terjadi tanpa riwayat perjalanan dan 28 persen dari penelusuran kontak. Sisanya sebanyak 18 persen merupakan pelaku perjalanan. Setidaknya ada 141 kluster penularan terlacak, di antaranya kluster pasar, rumah sakit, dan tempat kerja.
Surabaya Raya atau Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo menjadi daerah tingkat dua dengan kasus Covid-19 tertinggi di antara 38 kabupaten/kota di Jatim. Wilayah megapolitan menyumbang 59 persen dari total kasus di Jatim. Di Surabaya tercatat 12.436 kasus, Sidoarjo 5.276 kasus, dan Gresik 2.718 kasus.
Menghambat
Untuk menghambat perluasan wabah, Surabaya Raya menerapkan pembatasan sosial bersakala besar (PSBB) selama tiga tahap pada kurun 28 April-8 Juni 2020. Namun, PSBB selama 42 hari itu ternyata belum sepenuhnya mampu meredam pagebluk.
Penularan dan kemunculan kluster baru masih terjadi. Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik harus menerima kenyataan pahit menjadi kawasan dengan risiko tinggi penularan yang diaplikasikan dalam warna merah.
Di sisi lain, kabupaten/kota lain yang di awal wabah berkasus rendah atau aman seiring waktu berubah. Kenaikan kasus di luar Surabaya Raya ternyata cukup signifikan. Bahkan, situasi terkini, meski sementara, Surabaya dan Gresik tidak lagi menjadi kawasan berisiko tinggi, tetapi sedang, dengan pewarnaan jingga atau oranye.
Pewarnaan suatu kabupaten/kota merupakan penetapan status oleh tim terpadu dalam Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tingkat pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan berbagai kriteria epidemiologi.
Menurut laman resmi https://covid19.go.id/peta-risiko, Kamis ini, di Jatim ada sembilan daerah dengan zona merah. Kawasan dengan risiko tinggi penularan ialah Sidoarjo, Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Batu, Kota Malang, Kabupaten Malang, Banyuwangi, Kota Blitar, dan Tuban.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada meskipun status risiko penularan di ”Kota Pahlawan” turun dari zona merah ke zona oranye. Masyarakat tidak boleh lengah dalam menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di dalam dan luar rumah.
”Menerapkan protokol kesehatan tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan orang-orang terdekat,” ujar Risma, perempuan pertama yang menjabat sebagai Wali Kota Surabaya.
Analisis komfrehensif
Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19 Jatim Joni Wahyuhadi mengatakan, perubahan status risiko yang ditandai warna kawasan merupakan penghitungan dan analisis komprehensif Satgas Covid-19 pusat yang diperbarui setiap pekan.
”Perubahan warna sekaligus status risiko penularannya perlu dilihat sebagai peringatan atau alarm bagi daerah, kabupaten/kota,” kata Joni yang juga Direktur RSUD Dr Soetomo, satu dari tiga rujukan utama penanganan pasien Covid-19 Jatim.
Menurut epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, zona merah di sembilan daerah mengindikasikan ada pengabaian penerapan protokol kesehatan di tingkat masyarakat. Boleh jadi, pengetatan dan pendisiplinan oleh aparatur mengendur.
Namun, jika zona berubah membaik, misalnya dari merah ke jingga, lanjut Windhu, jangan kemudian terlena. Justru diperlukan pengetatan yang lebih konsisten sehingga segala indikator penanganan wabah sampai bisa dikendalikan dapat terpenuhi.
Salah satu upaya yang harus terus dilakukan adalah tes massal untuk menemukan kasus-kasus yang ada di bawah permukaan. Tes massal sekaligus menjadi acuan untuk mengetahui tingkat penularan secara riil di masyarakat.
”Daerah dengan status zona kuning dan hijau perlu dipertanyakan, apakah memang kasusnya rendah atau karena tes yang sedikit,” katanya.
Secara umum, fluktuasi penambahan kasus baru di Jatim tidak ekstrem. Namun, Jatim belum bisa dianggap memasuki fase puncak. Salah satu indikatornya ialah penambahan kasus harian belum turun atau masih lumayan tinggi.
”Prediksi puncak kasus cukup sulit ditentukan salah satunya karena kebijakan pemerintah sering berubah-ubah, misalnya pembukaan sekolah tatap muka,” ucap Windhu.
Wabah bisa dianggap terkendali, antara lain, jika kenaikan harian kasus baru dan kematian pasien Covid-19 menurun, tetapi kesembuhan meningkat. Situasi itu harus konsisten selama satu bulan dan bisa dipertahankan atau lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.
Terlambat
Risma mengatakan, Surabaya sempat terlambat melaksanakan tes massal sehingga kasus cepat menyebar. Pada awal pandemi, aparatur Surabaya kesulitan mendapatkan alat tes. Bahkan sempat mengemuka gesekan dengan aparatur tingkat provinsi terkait dengan keberadaan mobil laboratorium dari BNPN untuk pengecekan sampel tes usap.
Sampai sekarang, Surabaya terus mengupayakan tes massal dengan menggandeng sejumlah institusi dan donator untuk menyuplai reagen. Sebab, sebagian besar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah telah digunakan untuk penanganan Covid-19 di sektor lain.
”Sebagian besar pasien Covid-19 tidak bergejala sehingga perlu dideteksi dengan melakukan tes agar tidak terjadi penularan yang lebih luas,” ujar Risma.
Data menunjukkan, dari 34.655 kasus di Jatim, 62 persen di antaranya pasien tanpa gejala. Satu-satunya cara untuk menemukan orang yang telah terpapar, tetapi tak bergejala, tersebut adalah melakukan tes massal sebanyak-banyaknya.
Daerah dengan status zona kuning dan hijau perlu dipertanyakan, apakah memang kasusnya rendah atau karena tes yang sedikit.
Di Surabaya, tes usap sudah dilaksanakan kepada 67.723 orang atau rata-rata 5 per 1.000 penduduk. Jumlah ini melebihi standar dari Organisasi Kesehatan Dunia yang idealnya tes dilakukan pada 1 per 1.000 populasi setiap minggu.
Hal mendasar dalam penanganan wabah, yakni tes dan pelacakan riwayat kontak, mutlak dilaksanakan oleh semua aparatur pemerintahan di Jatim jika ingin segera menghentikan pagebluk. Keterlambatan tes dan pelacakan kontak membuat rantai penularan sulit diputus dan wabah tak kunjung bisa dikendalikan.