Peraturan turunan UU Cipta Kerja ditargetkan kelar sebulan setelah regulasi ”omnibus law” itu diundangkan. Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen melibatkan buruh dan pengusaha.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja masih menyisakan sejumlah ketentuan krusial untuk diatur dalam 39 rancangan peraturan turunan. Di tengah resistensi publik yang menguat, sebagaimana proses pembahasan RUU sebelumnya, rancangan peraturan pelaksana itu juga akan dikebut dalam waktu sebulan.
Ketentuan penutup yang diatur dalam Pasal 185 RUU Cipta Kerja mengatur, peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) wajib ditetapkan paling lama tiga bulan. Rabu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, meski UU mengamanatkan tiga bulan, penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) dipercepat menjadi maksimal satu bulan karena merupakan arahan dan target dari Presiden.
Untuk kluster ketenagakerjaan yang saat ini paling banyak menuai kritik dari publik, maksimal ada 3-5 PP yang harus disiapkan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Kamis (8/10/2020), menyatakan, Kementerian Ketenagakerjaan akan membahas RPP dalam forum tripartit nasional yang melibatkan serikat pekerja, buruh, dan pengusaha.
”Ruang satu bulan masih cukup panjang, tapi juga bisa menjadi sangat pendek, karena kami harus menyiapkan seluruh peraturan turunan UU ini,” kata Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi menambahkan.
Kementerian Ketenagakerjaan akan membahas RPP dalam forum tripartit nasional yang melibatkan serikat pekerja, buruh, dan pengusaha.
Beberapa pasal yang mengambang di RUU Cipta Kerja dan dilempar ke PP antara lain ketentuan syarat, batas waktu dan kompensasi untuk pekerja kontrak (perjanjian kerja dengan waktu tertentu/PKWT) dan pekerja alih daya, serta skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan patungan pesangon antara pengusaha-negara. PP juga akan mengatur tata cara penghitungan upah minimum serta ketentuan waktu kerja dan lembur buruh.
Ketentuan mengenai pekerja kontrak dan alih daya menjadi salah satu yang paling disoroti buruh. Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama tiga tahun (masa kontrak dua tahun dengan perpanjangan satu tahun). UU itu juga mengatur, pengusaha yang mau memperpanjang perjanjian kontrak harus memberitahu buruh secara tertulis, paling lama tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir.
Kini, batasan waktu kontrak serta mekanisme perpanjangan kontrak itu tidak diatur. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang diadopsi dalam RUU Cipta Kerja diubah. Batas waktu kontrak pekerja hanya diatur ”dalam waktu yang tidak terlalu lama”, tanpa penjelasan berapa tahun. RUU juga menghapus ketentuan mengenai tata cara perpanjangan kontrak.
Batasan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan juga dihapus di RUU Cipta Kerja. Sebelum ada RUU Cipta Kerja, pekerjaan alih daya dibatasi pada kegiatan penunjang perusahaan dan tidak berkaitan dengan kerja inti. Pasal 65 juga sebelumnya mengatur, perlindungan kerja bagi buruh alih daya harus sama dengan perlindungan kerja yang berlaku di perusahaan pemberi kerja.
Perwakilan Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) dan Ketua Umum Federasi Pekerja Seluruh Indonesia Indra Munaswar mengatakan, implikasi dari ketentuan yang mengambang itu, pekerja kontrak dan alih daya akan semakin menjamur. Ini bisa terjadi karena tidak ada batasan jenis pekerjaan dan batas waktu kontrak.
”Aturan itu juga bisa menggusur pekerja tetap dan menggantikannya dengan pekerja alih daya yang minim perlindungan,” katanya.
Aturan itu juga bisa menggusur pekerja tetap dan menggantikannya dengan pekerja alih daya yang minim perlindungan.
Modus beralih ke pekerja alih daya itu tampak di sejumlah perusahaan yang melakukan PHK belakangan ini. ”Kalau ketentuan-ketentuan itu dibuat lebih bebas tanpa jaminan perlindungan untuk pekerjanya, sama saja ini menjadi praktik perbudakan modern,” katanya.
Indra khawatir, dengan proses kejar tayang rancangan PP, substansi bermasalah tidak akan diperbaiki. Indra, yang pernah terlibat dalam penyusunan rancangan UU Ketenagakerjaan pada 2003 silam mengatakan, norma yang sudah diatur di UU tidak lazim berubah di peraturan turunan. ”Saya tidak yakin, keterlibatan buruh (dalam penyusunan PP) nanti akan mengubah apa-apa,” ujarnya.
Menanggapi resistensi buruh, Ida Fauziyah berjanji, pemerintah tetap akan memberikan kepastian perlindungan kepada para pekerja kontrak dan alih daya. Meski tidak tergambar dalam draf RUU Cipta Kerja, ketentuan mengenai pekerja kontrak PKWT tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan.
”Nanti hal detail itu diatur di PP, tapi semua tetap mengacu ke UU Ketenagakerjaan. Artinya, PKWT hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat tertentu, dan pasti ada jangka waktunya,” ujarnya tanpa menyebut lama jangka waktu kontrak yang berlaku.
Nanti hal detail itu diatur di PP, tapi semua tetap mengacu ke UU Ketenagakerjaan. Artinya, PKWT hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat tertentu, dan pasti ada jangka waktunya.
Ida menambahkan, bentuk perlindungan untuk pekerja kontrak adalah pemberian kompensasi ketika masa kontrak berakhir. Sementara, perlindungan untuk pekerja alihdaya, dituangkan dalam bentuk pengaturan hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerjanya.
”Misalnya, perlindungan hak pekerja tetap harus dipersyaratkan dalam perjanjian kerja. Ini bentuk perlindungan terkait pengaturan alihdaya,” katanya.
Ida menambahkan, pemerintah, juga akan memperketat perizinan berusaha untuk perusahaan alihdaya. Mereka wajib berbentuk badan hukum dan mendapat izin berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat.
”Jadi ke depan perusahaan alih daya tidak bisa dengan gampang beroperasi merekrut buruh alihdaya, ini memberi perlindungan,” katanya.
Tak hanya pekerja, kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah juga meminta dilibatkan dalam penyusunan PP dari UU Cipta Kerja yang terkait dengan UMKM. Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia Syahnan Phalipi, Kamis, mengatakan, dalam penyusunan PP, pemerintah perlu melihat kondisi dan melibatkan pelaku UMKM.
Yang saat ini menjadi perhatian pelaku UMKM, salah satunya adalah ketentuan pengupahan. ”Kami memiliki keterbatasan kemampuan (memberi upah) terlebih di tengah imbas pandemi Covid-19,” katanya.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki berjanji akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam menyusun aturan turunan UU Cipta Kerja di klaster UMKM dan koperasi. Kemenkop UKM menargetkan RPP itu selesai pada November 2020.
”Kami berharap seluruh pemangku kepentingan berkontribusi terhadap RPP sebagai pelaksana UU Cipta Kerja. Kami rencananya hanya akan membuat satu PP yang mengatur keseluruhan,” kata Teten.
Pemerintah seharusnya terbuka dan tidak lagi defensif. Kalau ternyata dikebut lagi dalam satu bulan, ini berarti antara tidak belajar dari kesalahan dan memang sengaja.
Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan pemerintah agar tidak tergesa-gesa menyusun rancangan PP. Dinamika yang berkembang pasca-pengesahan RUU menunjukkan, resistensi dan ketidakpercayaan publik semakin meluas. Proses pembahasan peraturan turunan yang tertutup dan dikejar tayang hanya akan memperparah resistensi.
”Kalau sudah begitu, pemerintah seharusnya terbuka dan tidak lagi defensif. Kalau ternyata dikebut lagi dalam satu bulan, ini berarti antara tidak belajar dari kesalahan dan memang sengaja,” ujarnya.
Secara jangka panjang, lanjut Faisal, penyusunan rancangan PP yang serampangan seperti pembahasan RUU hanya akan memperparah ketidakpastian regulasi yang selama ini menjadi momok bagi investor untuk datang ke Indonesia. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO )