Optimisme terhadap vaksin terus bertumbuh. Namun, di sisi lain, pesimisme terhadap lapangan kerja masih membayangi masyarakat.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Vaksin memang menjadi harapan masyarakat. Upaya-upaya produksi vaksin yang terus berkembang kendati lambat dan kebijakan pengadaan vaksin oleh setiap negara membangun optimisme dan asa segera terlepas dari era pandemi Covid-19.
Pemerintah Indonesia telah memastikan ketersediaan vaksin ini. Persetujuan penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) vaksin Sinovac dan Sinopharm ditargetkan terbit akhir November atau awal Desember 2020. Vaksinasi ditargetkan dimulai pada minggu ketiga atau keempat Desember 2020.
Pemerintah bahkan menyatakan, sembari menunggu vaksin, penetrasi penanganan Covid-19, mulai dari tes cepat, pelacakan, karantina, hingga menambah kapasitas rumah sakit, terus ditingkatkan. Kebijakan-kebijakan ini diyakini mampu memicu geliat ekonomi nasional yang sudah masuk jurang resesi.
Secara dua triwulan berturut-turut, triwulan II-2020 dan III-2020, ekonomi nasional tumbuh negatif, masing-masing minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen secara tahunan. Secara triwulanan, ekonomi pada triwulan III-2020 tumbuh 5,05 persen dari triwulan II-2020.
Belanja pemerintah di berbagai sektor, termasuk dalam memberikan bantalan ekonomi bagi berbagai elemen masyarakat, menjadi kunci karena tumbuh cukup tinggi, yakni 9,76 persen. Adapun konsumsi rumah tangga masih tumbuh minus 4,04 persen.
Namun, di balik optimisme vaksin, masyarakat sebenarnya juga masih pesimistis dengan kondisi ekonomi dan lapangan kerja. Survei konsumen yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) terhadap kondisi ekonomi mulai April 2020 hingga September 2020 masih berada di zona pesimis atau berada di bawah ambang batas 100. Pada April 2020, IKK tercatat 84,8 dan per September 2020 sebesar 83,4.
Di balik optimisme vaksin, masyarakat sebenarnya juga masih pesimistis dengan kondisi ekonomi dan lapangan kerja.
Keyakinan konsumen terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja juga masih berada di zona pesimis kendati meningkat lambat. Indeks keyakinan konsumen terhadap lapangan kerja pada September 2020 sebesar 35,3, meningkat tipis dari Agustus 2020 yang sebesar 35,2. Catatannya, keyakinan responden berpendidikan SLTA dan S-1 akan lapangan kerja turun.
BPS dalam Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 juga menunjukkan, Covid-19 berimbas pada sektor ketenagakerjaan. Sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi. Jumlah pengangguran meningkat 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Upah pekerja juga rata-rata turun 5,18 persen menjadi Rp 2,76 juta per bulan dari Agustus 2019.
Selain itu, terjadi pergeseran tenaga kerja. Jumlah pekerja formal turun dari 44,12 persen pada Agustus 2019 menjadi 39,53 persen pada Agustus 2020 atau 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, pada kurun waktu yang sama, jumlah pekerja informal melonjak dari 55,88 persen menjadi 60,47 persen atau 77,68 juta orang.
Melihat kondisi ini optimisme terhadap sektor ketenagakerjaan perlu dibangun. Memang ketika industri penyedia lapangan kerja mulai bergerak, sektor ketenagakerjaan akan mengikutinya. Di sisi lain, optimisme pemerintah terhadap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang dinilai banyak kalangan mereduksi hak dan perlindungan pekerja, sangat tinggi.
Pemerintah yakin, UU sapu jagat atau omnibus law itu akan mengundang banyak investor dari dalam dan luar negeri. Jika investasi meningkat, serapan tenaga kerja juga akan meningkat.
Tak cukup sampai di situ. Peta jalan ketenagakerjaan guna memastikan serapan tenaga kerja, serta peningkatan kompetensi dan perlindungan pekerja sangat diperlukan untuk membangun optimisme masyarakat terhadap lapangan kerja.
Artinya, janji pemerintah untuk menyerap tenaga kerja lokal perlu direalisasikan dengan strategi-strategi konkret. Tentu saja hal ini demi tersedianya lapangan kerja jangka panjang, bukan sekadar program-program padat karya yang temporer dan bantalan pendapatan.
Janji pemerintah untuk menyerap tenaga kerja lokal perlu direalisasikan dengan strategi-strategi konkret. Tentu saja hal itu untuk ketersediaan lapangan kerja jangka panjang, bukan sekadar program-program padat karya yang temporer.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, krisis akibat pandemi saat ini masih belum usai. Sektor ketenagakerjaan, termasuk memberikan perlindungan terhadap pekerja dan mendorong pembangunan sumber daya manusia, sangat diperlukan.
Dalam laporan survei ”Future of Jobs Report 2020” pada 21 Oktober 2020, WEF memperkirakan, pada 2025, sebanyak 85 juta pekerja akan tergantikan oleh mesin. Namun, sebanyak 97 juta lapangan kerja akan muncul dan lebih disesuaikan dengan pembagian kerja baru, antara manusia, mesin, dan algoritma.
Adapun IMF, pada medio Oktober dan awal November 2020, menyebutkan, kondisi lapangan kerja masih jauh di bawah tingkat sebelum pandemi Covid-19. Pasar tenaga kerja telah menjadi lebih terpolarisasi dengan pekerja berpenghasilan rendah. Sebagian kaum menengah turun kelas. Kaum miskin menjadi semakin miskin. Tahun ini, pandemi diperkirakan akan menyebabkan 90 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.
Siapkah Indonesia membangun optimisme dunia kerja dengan peta jalan ketenagakerjaan yang konkret? Meningkatkan penanganan kesehatan dan menumbuhkan ekonomi memang penting. Namun, manusia-manusia Indonesia yang membutuhkan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan ataupun kompetensi jangan dipandang sebelah mata.