Surabaya di Tangan Risma, Terlalu Indah untuk Dikenang
Sepuluh tahun sebagai Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini benar-benar mengubah citra kota dan menjadikannya tersohor. Ia selalu merangkul serta memosisikan warga sebagai tuan dan nyonya di kotanya.
Jika ada waktu lebih dari 24 jam sehari, saya akan bekerja selama seharian berakhir. Saya selalu gelisah tiap kali mendengar warga mengeluh kesulitan ekonomi, tidak bisa sekolah, ataupun tak punya pekerjaan.
Matahari belum juga menyingsing di ufuk timur, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah bergegas mengawali pengabdiannya untuk warga Surabaya, Jawa Timur. Ia berangkat dari rumah pribadinya di Wiyung menuju Balai Kota Surabaya yang berjarak 11 kilometer itu rata-rata sekitar pukul 05.30, bahkan tak jarang bisa lebih cepat lagi. Waktu tidur empat jam per hari dirasa sudah cukup untuk memulai aktivitasnya sehari-hari.
Ke mana tujuannya? Hanya Risma yang tahu. Maka, tak ayal ajudan yang mendampinginya wajib tiba di Wiyung paling lambat pukul 04.00. Tujuannya pun tak selalu langsung di kantor, tetapi sering kali ke tempat-tempat yang tak terduga untuk memantau perkembangan kota seluas 350 kilometer persegi ini.
Jadi, jangan kaget jika tiba-tiba sosok ibu dua anak ini terpantau mengatur lalu lintas di sebuah persimpangan jalan. Ketika hujan deras dan banjir mengintai, dalam waktu cepat perempuan yang ketika mahasiswa pernah menjadi pelari dan gemar naik gunung itu sibuk di lapangan. Ia mencari penyebab banjir, yakni selokan atau saluran yang penuh sampah.
Memantau kota siang dan malam sudah dilakukan sejak dia menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya pada 2005. Jangankan gerobak sampah, satu kantong plastik melayang di jalan raya, dia sudah sibuk pinjam jalur lewat handy talky (HT).
”Pak, pinjam jalurnya. Itu ada plastik di persimpangan Kertajaya, tolong dibersihkan, ya,” begitu Risma memberi instruksi kepada petugas saat dia melintas di kawasan itu pada 2005.
Suatu ketika Risma sedang menanam pohon di Jalan Ir Soekarno (Jalan Lingkar Dalam Timur/MERR). Saat itu masih pukul 06.00. Tiba-tiba Kompas berhenti dan hendak mengabadikan kegiatan menanam didampingi ajudan dan dua anggota stafnya.
Baca juga : Pengusiran Bukan Solusi Tangani Permukiman Kumuh
Apa yang terjadi? Risma malah berhenti menanam dan langsung mendatangi Kompas. Dengan santun, ia meminta untuk meninggalkan lokasi. ”Saya ini bekerja, bukan untuk diliput. Sudahlah, pulang saja, liput yang lain,” begitu Risma memohon agar aktivitasnya tak perlu dipublikasikan.
Totalitas
Risma memang seorang pemimpin yang selalu bekerja. Wali Kota Surabaya 2010-2015 dan 2016-2021 itu menyelesaikan satu demi satu problem kota berpenduduk 3,3 juta jiwa ini. Perubahan dimulai dari membuat kota ini bersih dan nyaman. Caranya, dengan memerdekakan Surabaya dari sampah. Tak ayal, jika berkeliling Surabaya, sulit menemukan sampah berserakan. Yang ada, tong sampah yang berjajar di sepanjang jalan sehingga warga mudah untuk membuang sampah.
Bahkan, sampah-sampah disulap menjadi energi baru terbarukan melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Di Surabaya ada PLTSa di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo yang mampu menghasilkan listrik hingga 11 megawatt.
Selain itu, sampah plastik dimanfaatkan untuk alat pembayaran Bus Suroboyo. Hingga saat ini, sampah botol plastik terkumpul sebanyak 74,5 ton. Sebanyak 39 ton di antaranya sudah dilelang. Hasilnya, Rp 150 juta menjadi pemasukan pendapatan asli daerah. Dampak dari pengelolaan sampah itu, timbunan sampah menurun dari 1.441,62 ton per hari pada 2014 menjadi 1.398,59 ton per hari pada 2019.
Di saat isu pendidikan gratis muncul beberapa tahun terakhir, Risma sudah memulainya pada periode pertama pemerintahannya. Ia mengratiskan biaya sekolah dari SD hingga SMA. Ia juga mendobrak kekakuan warga yang hanya berprinsip mencari pekerjaan dengan melatih mereka sesuai keinginan dan terus didampingi hingga benar-benar mentas. Artinya, lulus sekolah atau kuliah harus menciptakan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan.
”Mimpi saya, kelak kalau sudah uzur, meski tak pernah berstatus sebagai pegawai, tetap memiliki pensiunan (sumber penghasilan), dari usaha yang dirintis dari rumah,” ujarnya.
Baca juga : Festival Yosakoi Meneguhkan Hubungan Surabaya dan Kochi
Soal menjadi pengusaha dari minus hingga bisa ekspor itu dialami Wiwit Manfaati, pengusaha kerajinan berbahan baku eceng gondok. Usahanya awalnya hanya dilirik konsumen lokal. Begitu ikut program pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yakni Pahlawan Ekonomi, sampai hari ini ekspor terus berlangsung.
Wiwit bersama Supriadi, suaminya, pun didapuk sebagai pelatih dalam setiap pelatihan keterampilan. Pasangan ini pernah menjadi guru bagi penghuni Liponsos Keputih, lembaga yang menampung orang dengan gangguan jiwa.
Kecintaan pada kota
Mengurus kota tentu tak mungkin dilakukan oleh semua pegawai Pemerintah Kota Surabaya. Kuncinya tetap ada pada warga. Apa pun yang dikerjakan Pemerintah Kot Surabaya untuk merombak kota, warga tak boleh diabaikan. Warga justru dirangkul dan dilibatkan untuk melakukan kebaikan bagi dirinya, rumahnya, dan dan tentu kotanya.
Menurut pengamat perkotaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Johan Silas, Surabaya bisa berubah secara total, tersohor, dan mendunia karena Risma benar-benar menanamkan kecintaan warga terhadap kotanya. Maka, apa pun yang harus dilakukan terhadap rumahnya harus melibatkan pemilik atau penghuni.
Warga pun diposisikan harus selalu menjadi tuan dan nyonya di kotanya, bukan sekadar tamu atau penonton.
Warga pun diposisikan harus selalu menjadi tuan dan nyonya di kotanya, bukan sekadar tamu atau penonton. Dengan memosisikan warga sebagai tuan dan nyonya, seluruh pembangunan bermuara pada kesejahteraan penduduknya.
Baca juga : Mengapa Harus Risma?
Pembangunan kota didanai dari pajak warga. Jadi, apa yang dibangun harus sesuai kebutuhan warga. Pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkot Surabaya yang digaji dari uang rakyat pun harus tulus dan ikhlas melayani masyarakat.
Total bekerja untuk warga Surabaya dan paham betul apa yang terjadi atas keluhan dan keinginan warga, Risma tak betah berlama-lama di ruang kerja. Setiap ada peristiwa apa pun di ”Kota Pahlawan” ini, Risma harus sesegera mungkin berada di lokasi untuk memutuskan solusi.
Termasuk ketika bom bunuh diri mengguncang kota ini pada 13 Mei 2018, Risma yang saat itu dalam perjalanan pulang dari Arab Saudi bisa tiba di lokasi satu jam sebelum Presiden Joko Widodo berada di Surabaya.
Untuk menajamkan mata dan telinga, Surabaya juga memiliki layanan pengaduan 112, yang justru lebih sigap ketimbang 911 New York. Tim pusat komando 112 punya waktu bergerak dari menerima pelaporan hingga eksekusi maksimal tujuh menit.
Kota juga bersih dari pengemis, orang gila, dan pengamen di persimpangan jalan sejak 2013 karena semua kelompok itu dirayu, dipelihara, dan diberi harapan. Bahkan, mereka dilepas setelah benar-benar siap hidup secara normal. Mereka dirawat di Liponsos Keputih bagi orang dengan gangguan jiwa serta Kampung Anak Negeri untuk anak jalanan dan anak berkebutuhan khusus.
Jatah makan
Hingga hari ini, 35.000 warga dari kelompok yatim piatu, lansia, penderita TBC, HIV-AIDS, dan penyandang disabilitas mendapat jatah makan sekali sehari melalui program permakanan. Dalam program permakanan, tidak hanya penerima yang menikmati, tetapi juga pemasak makanan, pengantar, serta pengawas.
Baca juga : Kualitas Udara di Surabaya Membaik
Segala penghalang mobilisasi warga dari timur ke barat dan utara ke selatan dibongkar dengan pengoperasian MERR sepanjang 10 kilometer itu. ”Sejak MERR ada, kota ini nyaris tak mengenal lagi istilah pinggiran. Semua wilayah menjadi pusat kota karena di setiap wilayah semua ada mal, sekolah, pasar, tempat rekreasi, taman, tempat olahraga. Jadi, warga yang tinggal di Rungkut, semisal, tak perlu ngemal ke Surabaya barat,” begitu kata Risma yang merupakan lulusan Arsitektur ITS tahun 1987 itu.
Perlawanan warga
Menata dan membangun kota tak tak lepas dari perlawanan dari warga, semisal terkait penataan pasar hingga pembangunan saluran air, trotoar, dan taman yang kini jumlahnya sudah 573 taman serta konservasi mangrove seluas 2.871 hektar. Gejolak itu diatasi dengan pendekatan dialog dan memberikan pengganti yang lebih baik dibandingkan tempat semula.
Pencetus pengadaan barang/jasa, e-procurement, pada 2012 ini bisa meminimalkan pertemuan orang karena semua proses mulai dari penyusunan anggaran, pengurusan izin, hingga lelang dilakukan secara dalam jaringan.
E-procurement awalnya menimbulkan gejolak di lingkungan Pemkot Surabaya. Bahkan, Risma sempat mendapat ancaman dari beberapa pihak yang keberatan dengan penerapan sistem yang mampu menghemat anggaran hingga Rp 400 miliar setahun itu. Sebab, dengan sistem ini, aksi kongkalikong antara pegawai dan warga terkikis habis.
Perempuan kelahiran Kediri itu memulai karier PNS-nya di Kabupaten Bojonegoro. Sejak pindah di Pemkot Surabaya, sikap tegas dan kerja kerasnya menonjol.
Selama 10 tahun menjadi ibu dari 3,3 juta jiwa, pernah ia mengalami upaya pemakzulan oleh DPRD Kota Surabaya. Pemicunya adalah munculnya Perwali Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame dan Perwali Nomor 57 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya yang menaikkan pajak reklame sebanyak 25 persen.
Tanduk lain sempat menyeruduk Risma dari jabatan wali kota karena dia menolak rencana pembangunan jalan tol tengah kota serta penutupan lokalisasi di Surabaya, termasuk yang konon terbesar di Asia Tenggara dari jumlah pekerja seks komersialnya, yakni lokalisasi Dolly. Enam lokalisasi di kota dengan luas 350,5 kilometer persegi ini ditutup semua pada 2014.
Tegas, kerja keras, serta tak kenal lelah yang ditunjukkan Risma dalam memimpin Surabaya, menurut dosen Statistik ITS, Kresnayana Yahya, menjadi faktor yang sangat mendominasi dalam perubahan kota. Selama 10 tahun terakhir, Surabaya telah menjadi ”tempat sekolah” bagi banyak daerah, perusahaan, instansi, dan lembaga baik di dalam maupun luar negeri.
Maka, tak ayal Risma hampir setiap tahun mendapat kehormatan untuk tampil di forum internasional untuk memaparkan perubahan kota ini. Bahkan, Risma menjadi satu-satunya wali kota yang berbicara pada forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Nama Surabaya di bawah kepemimpinan Risma selama 10 tahun terakhir pun kian dikenal di kancah nasional dan internasional. Sejak 2010, Surabaya mendapatkan 279 penghargaan tingkat nasional dan 30 penghargaan di level internasional. Risma bahkan terpilih menjadi Presiden Asosiasi Pemerintah Daerah Se-Asia Pasifik (UCLG) serta Wakil Presiden UCLG dunia.
Semoga ke depan Surabaya di tangan wali kota baru paling tidak bisa seperti sekarang, dengan penyempurnaan yang belum teratasi secara maksimal, yakni transportasi massal.
Paling penting lagi, aset Pemkot Surabaya yang masih dikuasai pihak ketiga kembali bisa dikelola oleh Pemkot, yang selama 10 tahun terakhir sudah berhasil mengembalikan ratusan persil dan bangunan yang bernilai ratusan miliar rupiah.
Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, begitu jualah Risma, mesti tidak lepas dari kekurangan, yang semoga bisa ditebus oleh penggantinya kelak. Surabaya sudah tenar, dan terlalu banyak goresan karya selama 10 tahun yang patut dikenang, karena perubahannya sekaligus menyejahterakan warganya.