Pengendalian Kasus Covid-19 Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi
Pengendalian jumlah kasus Covid-19 harus terus dilakukan agar pemerintah tidak menerapkan pembatasan sosial yang bisa menghambat laju pemulihan ekonomi.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2021 dan triwulan-triwulan berikutnya sangat ditentukan oleh keberhasilan pengendalian kasus Covid-19. Jika kasus covid-19 melonjak, pemerintah terpaksa harus kembali menerapkan pembatasan sosial yang bisa menahan aktivitas ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan anggota Komisi XI DPR pada Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (14/6/2021). Sri Mulyani didampingi oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
Sri Mulyani mengatakan, seluruh pihak harus mewaspadai kenaikan kasus Covid-19 pasca-Lebaran. Saat ini telah terjadi lonjakan kasus Covid-19 yang berdampak pada semakin meningkatnya bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian ruang perawatan sampai di kisaran 80 persen dari total kapasitas.
”Pemulihan ekonomi di dalam negeri sangat bergantung pada penanganan Covid-19. Apabila jumlah kasus Covid-19 meningkat, pemerintah terpaksa mengetatkan aktivitas yang menahan laju ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah kasus Covid-19 turun, aktivitas ekonomi bisa kembali menggeliat,” ujar Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK.
Ia mencontohkan, pada awal tahun terjadi lonjakan jumlah kasus Covid-19 sehingga pemerintah menggalakkan kembali pembatasan sosial. Setelah jumlah kasus menurun, pelonggaran pun dilakukan.
Hasilnya, kinerja ekonomi pada April dan Mei 2021 membaik. Ini ditunjukkan, antara lain, dari meningkatnya indeks keyakinan konsumen dan peningkatan penjualan mobil. Ia menjelaskan, kinerja perekonomian yang positif pada April dan Mei harus terus dilanjutkan pada Juni sehingga pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 bisa optimal.
Pihaknya menargetkan pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini berkisar 7,1-8,3 persen. Keyakinan ini ditopang oleh kinerja ekonomi di bulan April dan Mei yang cukup baik. Selain itu, karena basis produk domestik bruto (PDB) triwulan kedua tahun lalu sangat rendah, yakni sekitar Rp 2.589,7 triliun.
”Pada kuartal kedua kami berharap terjadi pemulihan ekonomi yang kuat,” ujar Sri Mulyani.
Dari sisi sistem keuangan, lanjut Sri Mulyani, industri keuangan dalam posisi stabil dan siap mendukung pertumbuhan ekonomi. Wimboh menjelaskan, perbankan memiliki likuiditas melimpah, ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (DPK) pada April 2021 yang mencapai 33,67 persen atau tiga kali lipat di atas ambang batas minimum 10 persen.
Namun, diakui penyaluran kredit masih belum kembali bergairah. Penyaluran kredit per April 2021 terkontraksi minus 2,28 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Perry mengatakan, untuk mendorong perekonomian, BI sudah menurunkan tingkat suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (DRR) hingga 3,5 persen yang tercatat sebagai yang terendah sepanjang sejarah. BI juga mendorong transparansi suku bunga dasar kredit agar suku bunga kredit di pasar semakin kompetitif.
”Ini agar fungsi intermediasi perbankan lebih optimal dalam mendorong perekonomian Indonesia,” ujar Perry.
Tantangan global
Selain tantangan dalam negeri, Sri Mulyani mengatakan, pihaknya juga harus mengantisipasi tantangan global. Peningkatan jumlah kasus Covid-19 di sejumlah negara, seperti India dan negara tetangga seperti Malaysia, harus membangkitkan alarm kewaspadaan Indonesia.
Tak hanya jumlah kasus Covid-19 global, pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan China juga harus diantisipasi dengan langkah tepat. Membaiknya ekonomi di AS akan mendorong bank sentral AS mengeluarkan kebijakan moneter yang berdampak pada sistem keuangan di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Meningkatnya inflasi AS di kisaran 4 persen, lanjut Mulyani menandakan kembali membaiknya perekonomian dan konsumsi masyarakat AS. Untuk menjaga inflasi tak melambung, bank sentral AS kemungkinan akan menaikkan suku bunga. Hal ini bisa memicu keluarnya modal (capital outflow) dari Indonesia ke AS.
”Apabila terjadi kenaikan suku bunga di AS, capital outflow di negara berkembang seperti Indonesia akan terjadi. Ini bisa mengganggu stabilitas nilai tukar mata uang dan sistem keuangan,” ujar Mulyani.