Salah satu cara menjaga warisan budaya adalah menjaga keberlangsungannya melalui turun-temurun. Salah satu upaya itu seperti yang berjalan pada Pabrik Gong Pancasan di Pancasan, Bogor, Jawa Barat. Pabrik gong ini sudah mulai sejak tahun 1820 yang didirikan oleh Abah Pangarang. Usaha pembuatan gong ini bertahan melalui regenerasi selanjutnya, yaitu Bah Emang, Bah Budin, Bah Zakim, Jupri, Sukarna, hingga pada akhirnya ke generasi ke tujuh yaitu Krisna Hidayat.
Bukan hanya segi pemilik usaha. Beberapa pekerja juga mewariskan keterampilan ini ke anak cucu mereka. Salah satunya adalah Surya (56), yang memiliki ahli khusus di pembakaran. Dirinya sudah mulai ikut ayahnya belajar bekerja membuat gong sejak tahun 1971 di usia 8 tahun. Kini, anak Surya, Priatna (42), juga ikut bekerja membuat gong dan bertugas menjaga aliran udara pembakaran yang dilakukan ayahnya.
Aktivitas para pekerja mulai sejak subuh. Mereka mulai mengolah bahan baku campuran tembaga dan kuningan. Pilihan bahan baku ini untuk menghasilkan kualitas suara dan produk yang baik dan bisa tahan lama. Bukan hanya bahan baku, bengkel kerja pun juga memerlukan suasana temaram dan seminim mungkin cahaya agar bisa melihat intensitas warna bara tertentu yang menghasilkan kualitas prima dari hasil kerja mereka. Mencampurkan pengetahuan ilmu kerja, peralatan tradisional dan teknologi penunjang terkini, serta keahlian yang mumpuni membuat produk mereka telah tersebar di sejumlah penjuru Nusantara, seperti Sumatera, Sulawesi, Banten, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan juga mancanegara, terutama Eropa dan Amerika.