Kekerasan pada perempuan, intoleransi, kesetaraan jender, ujaran kebencian, dan ekspresi mencinta. Kira-kira itulah suara bising yang selama ini disimak para insan film. Keresahan itu kini berbunyi tak kalah nyaring lewat film karya mereka.
Film Indonesia berjudul Ave Maryam, 27 Steps of May, dan Kucumbu Tubuh Indahku menggambarkan keresahan-keresahan tadi. Karena muatan nilai di balik cerita, ketiganya pun terpilih untuk ditayangkan pada Plaza Indonesia Film Festival (PIFF). Festival ini berlangsung di Jakarta pada 14-17 Februari 2019 dan telah digelar tujuh kali sejak 2015.
Secara total ada 12 film yang ditayangkan. Masing-masing terdiri dari enam film dan enam film pendek yang dari Indonesia, Jepang, Lebanon, Jepang, Vietnam, dan Polandia.
Angkat isu
Pada film 27 Steps of May, cerita kehancuran korban kekerasan seksual jadi topik utama. Film besutan Ravi Bharwani tersebut mengisahkan kehidupan tokoh May setelah diperkosa bergilir di usia 14 tahun.
Trauma dan luka batin yang diterima May terlalu dalam. Ia dan sang ayah pun menarik diri dari kehidupan. Tidak hanya itu, May juga memilih bisu selama delapan tahun.
Suatu hari, untuk pertama kalinya, May melirik dunia di luar dinding yang ia bangun. Kepindahan tetangga baru, seorang pesulap, membuka dunianya. Perlahan, si pesulap jadi obat penawar luka May.
Pemeran tokoh pesulap di film 27 Steps of May Ario Bayu mengatakan, keterlibatannya pada film ini didasari pada isu kekerasan seksual pada perempuan. Menurutnya, isu ini perlu dikemukakan, salah satunya melalui film.
“Judul film ini pun simbol dari apa yang terjadi pada Mei 1998 (di Indonesia). Sebagai laki-laki, saya terganggu pada fakta bahwa ada sisi manusia yang begitu hitam. Saya saja terganggu, apalagi para perempuan yang mengalaminya (kekerasan seksual),” kata Ario pada acara pembukaan PIFF di Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Hadir pula dalam acara ini sejumlah pemeran, sutradara, dan produser film terkait di PIFF, antara lain sutradara film Ave Maryam Robby Ertanto, pemain film Kucumbu Tubuh Indahku Muhammad Khan, produser film pendek Kado Aditya Ahmad, sutradara film pendek Ballad of Blood and Two White Buckets Yosef Anggie Noen, dan sutradara film pendek Loz Jogjakartoz Tata Sidharta.
Melalui film 27 Steps of May, ada pesan bahwa perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah hal nyata. Namun, kenyataannya kerap diperlakukan seperti angin lalu.
Pemeran tokoh May dalam film 27 Steps of May Raihaanun mengatakan, isu perkosaan tidak bisa dianggap remeh. Para pemangku kepentingan, menurutnya, harus bisa mendalami dan menyelesaikan isu seperti ini. Sebab, masih ada korban-korban perkosaan yang tidak (atau belum) mendapat keadilan.
“Saya harap ada banyak mata yang terbuka untuk kasus seperti ini,” kata Raihaanun.
Pesan yang disampaikan film berdurasi 112 menit ini dinilai bermakna. Film ini pun memperoleh sejumlah penghargaan, antara lain sebagai Golden Winner Hanoman Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival 2018. Selain itu, film untuk penonton dewasa ini juga ditayangkan di Busan International Film Festival pada 2018.
Selain 27 Steps OF May, Ave Maryam, dan Kucumbu Tubuh Indahku ada sembilan film lain pada PIFF. Kedelapannya adalah Cold War, Shoplifters, Capharnaum, Kado, Ballad of Blood and Two White Buckets, Elegi Melodi, Loz Jogjakartoz, Elinah, dan The Tailor.
Sementara itu, film Kucumbu Tubuh Indahku bercerita tentang fluiditas jender. Tentang pengalaman menjadi maskulin sekaligus feminin dalam satu raga.
Pada kesempatan yang sama, produser film Kucumbu Tubuh Indahku Ifa Ifansyah mengatakan, filmnya berkisah tentang perjalanan tubuh seorang penari. Dengan memasukkan konteks perjalanan hidup seseorang, konten yang ingin disampaikan melalui film bisa lebih mudah dipahami.
“Ada lebih dari 250 juta penduduk Indonesia yang tidak bisa diwakilkan oleh warna hitam atau putih, siang atau malam. Harus ada abu-abu dan senja,” kata Ifa.
Atas karyanya, film berdurasi 106 menit ini diberi anugerah Film Terbaik pada Three Continents Film Festival Nantes, Perancis pada 2018. Selain itu, film arahan Garin Nugroho ini juga dianugerahi Cultural Diversity Award under The Petronage of UNESCO Asia Pacific Screen Award 2018 dan Bisato D’Oro Award Venice Independent Film Critic 2018.
Apresiasi
General Manager Plaza Indonesia Extension Astri Abyanti Permatasuri mengatakan, PIFF diadakan untuk memajukan industri film Indonesia menurut versi Plaza Indonesia. Selain itu, PIFF juga jadi wadah bagi film-film yang dinilai berprestasi dan berkualitas untuk ditayangkan.
Hal serupa dikataka kurator film PIFF Sugar Nadia. Menurutnya, ada banyak film lokal dan internasional yang berkualitas, tetapi belum mendapat sorotan. Oleh sebab itu, festival film digelar agar masyarakat bisa menikmati film tersebut.
“Ada banyak film bagus yang kadang tidak masuk bioskop, maupun masuk ke Indonesia. Festival film kemudian menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengakses film-film seperti ini,” kata Sugar.
Ada lebih dari 100 film lokal dan internasional yang dikurasi untuk PIFF. Beberapa kriteria yang berlaku dalam kurasi antara lain perolehan prestasi, keterlibatan dalam fesrtival film lain, hingga muatan nilai pada film.
“Film seperti inilah yang penting karena menyuarakan isu yang marak dibahas (di masyarakat),” lanjut Sugar.