Saat sekelompok perusuh bikin onar di Jakarta baru-baru ini, sejumlah seniman Indonesia berjuang memanggungkan nama bangsa dalam Venice Art Biennale 2019 di Venesia, Italia. Lewat karya seni rupa kontemporer, mereka menapaki panggung dunia dan turut membangun peradaban global.
Oleh
Ilham Khoiri
·5 menit baca
Saat sekelompok perusuh bikin onar di Jakarta baru-baru ini, sejumlah seniman Indonesia berjuang memanggungkan nama bangsa dalam Venice Art Biennale 2019 di Venesia, Italia. Lewat karya seni rupa kontemporer, mereka menapaki panggung dunia dan turut membangun peradaban global.
”So, ladies and gentlemen, we present to you, Lost Verses: Akal Tak Sekali Tiba, Runding Tak Sekali Datang. From Indonesia, to the world!” kata Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf saat membuka Paviliun Indonesia dalam pameran seni rupa internasional Venice Art Biennale 2019,
Rabu (8/5/2019), di Venesia, Italia.
Para pengunjung bertepuk tangan, hangat, memecah udara sore itu yang mulai dingin. Seusai berpidato, Triawan memotong tumpeng dan membagikannya kepada para seniman yang berkolaborasi membuat karya seni instalasi ”Los Verses”. Mereka adalah Asmudjo Jono Irianto (kurator dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung), Yacobus Ari Respati (ko-kurator), Syagini Ratna Wulan (seniman asal Bandung), dan Handiwirman Saputra (seniman asal Yogyakarta).
Hadir juga dalam pembukaan itu, Wakil Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Indonesia di Roma JS George Lantu dan Kepala Komisioner Paviliun Indonesia Ricky Pesik. Puluhan undangan turut menyaksikan. Mereka berdiri di sela-sela seni instalasi yang ditata di bekas bangunan pabrik kapal tua di pinggir sungai di Arsenale itu.
Di ruangan seluas sekitar 500 meter persegi tersebut, ada 180 kabinet kaca transparan yang ditempatkan memenuhi seluruh sudut. Kabinet itu berisi berbagai benda yang akrab di Indonesia, mulai dari jam (dengan angka 2:12), keris, topeng, lele, ikan, karet, kenong, catur, sampai patung tangan berdoa.
Para pengunjung melongok-longok isi kabinet itu. Sebagian membaca teks yang ditempelkan di kaca. Beberapa teks itu berupa kutipan dalam bahasa Inggris.
Di tengah ruangan, ada semacam komidi putar dari kayu. Ini mainan dari tradisi Sumatera Barat, yang bisa berputar ke atas-ke bawah, dan dilengkapi dengan tempat duduk. Awalnya buaian itu dirancang agar bisa diduduki pengunjung, tetapi panitia pameran melarangnya dengan alasan keamanan. Meski tak bisa dinaiki, buaian kayu itu terus bergerak.
Dekat buaian, ada ruang merokok yang dibuat dari kaca transparan dengan lubang terbuka di bagian bawah. Pengunjung bisa menyelinap masuk dan mencoba merokok. Karena transparan, mereka bisa dilihat oleh orang dari luar, sekaligus melihat orang yang berada di luar.
Proses negosiasi
Bagaimana memahami seni instalasi itu? Coba kita mulai dari judulnya yang unik, ”Lost Verses: Akal Tak Sekali Tiba, Runding Tak Sekali Datang”. Ini istilah asal Minangkabau, Sumatera Barat, untuk menggambarkan negosiasi atau tawar-menawar. Proses itu tak berlangsung sekali jadi, tetapi berulang, bahkan kerap tanpa ujung.
Bagi Asmudjo, karya ini merupakan refleksi kritis atas praktik seni kontemporer di Indonesia yang sangat beragam dan kompleks. Seni rupa kita tak memiliki paradigma tunggal. Saat bersamaan, publik belum merasakan peran seni rupa dalam membangun kehidupan. Semua dalam proses negosiasi.
Namun, boleh saja karya ini juga dimaknai dalam konteks negosiasi sosial-politik Indonesia. ”Kita, kan, masih bingung, apa sebenarnya identitas Indonesia? Bagaimana hubungan mayoritas dan minoritas, sampai kini masih terjadi tarik-menarik,” katanya.
”Kita, kan, masih bingung, apa sebenarnya identitas Indonesia? Bagaimana hubungan mayoritas dan minoritas, sampai kini masih terjadi tarik-menarik."
Tegangan antara minoritas dan mayoritas juga tergambarkan oleh ruang merokok yang transparan. Saat orang merokok di situ, publik dari luar melihat mereka sebagai ”liyan” (asing). Namun, saat bersamaan, mereka juga memandang publik di luar sebagai ”liyan”. Jadi, sebenarnya, siapa yang diasingkan? Semua tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Syagini berharap pengunjung mau menelisik benda-benda dalam kabinet transparan itu. Jika dicermati satu per satu, semua itu mencerminkan pergulatan budaya. Salah satu kabinet berisi papan catur dengan semua biji catur berupa pasukan pion dengan warna sama. Mungkinkah kita bermain catur seperti itu?
”Benda-benda tersebut memberikan kebingungan dan penasaran buat publik. Tapi, mereka bebas juga membacanya sesuai pengalaman masing-masing,” katanya.
Selain di paviliun, Handiwirman juga diundang oleh Venice Biennale 2019 untuk menyajikan tiga karya dalam seksi internasional. Salah satu karyanya, instalasi yang dirangkai dari beberapa obyek: akar kayu, drum, dan karet. Judulnya, ”Tak Berakar Tak Berpucuk”.
Meski bentuk dasarnya mudah dikenali (seperti akar kayu, drum, dan karet), benda-benda itu diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan citra baru yang aneh. Kita seperti mengenali sekaligus merasa asing dengan benda-benda itu.
Gelang karet, misalnya, jadi mengejutkan saat dibikin dalam ukuran besar. Begitu pula akar kayu yang dibuat seakan realis, tetapi juga terasa imitasinya.
”Dalam berkarya, saya tidak mulai dari gagasan. Saya mengolah benda-benda yang menarik, berdialog, sampai kemudian melahirkan bentuk-bentuk baru,” katanya.
”Tak Berakar Tak Berpucuk” menggambarkan pencarian kreatif Handiwirman. Dia mudah menerima pengaruh dari luar. Pengaruh itu tidak ditelan mentah-mentah, tetapi diolah menjadi budaya baru yang berbeda.
Paviliun nasional dan pameran internasional di Venice Art Biennale 2019 itu dirangkai oleh kurator Ralp Rugoff dengan tema ”May You Live in Interesting Times”. Ajang dua tahunan itu dibuka untuk umum pada 11 Mei, berlangsung hingga 24 November 2019.
Kancah dunia
Handiwirman adalah seniman ketiga dari Indonesia yang diundang untuk tampil dalam sejarah Venice Art Biennale sejak tahun 1895. Dua seniman sebelumnya adalah Affandi (tahun 1954) dan Heri Dono (2013). Karya ketiga seniman itu dipanggungkan sejajar dengan para seniman undangan dari sejumlah negara.
Kehadiran Handiwirman pada tahun 2019 semakin kuat dengan adanya Paviliun Indonesia, yang ditempatkan di Arsenale, tak jauh dari Paviliun India, Italia, dan China. Ini kehadiran paviliun kita yang keempat setelah tahun 2011, 2013, dan 2017. Dua partisipasi terakhir ditangani Bekraf, sementara dua sebelumnya disokong Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
”Setelah berdialog dengan para pemangku kepentingan di Tanah Air, kami memutuskan untuk melanjutkan partisipasi Paviliun Indonesia di Venice Art Biennale,” kata Ricky Pesik. Seleksi seniman yang mewakili Indonesia dilakukan oleh tim juri yang bekerja sejak awal 2018.
Kenapa kehadiran kita penting di ajang ini?
Venice Art Biennale merupakan pameran internasional yang punya sejarah panjang sejak tahun 1895. Pameran dua tahunan itu juga punya reputasi prestisius karena diikuti para seniman kontemporer dunia pada masanya. Indonesia perlu hadir agar karya-karya seniman kita semakin dikenali, diakui, dan mendapat tempat di peta seni rupa dunia.
Dengan berpartisipasi di sini, seniman Tanah Air berkesempatan untuk turut membangun peradaban global. Ini sejalan dengan posisi kita yang kian penting secara geopolitik setelah kini menjadi Ketua Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jangan sampai Indonesia lebih dikenali dunia lewat berita-berita buruk, seperti korupsi, teror, atau kerusuhan di Jakarta pasca-pemilu baru-baru ini.