Keputusan untuk membawa kebudayaan Nusantara di panggung dunia adalah langkah cerdas. Ini menjadi karakter pembeda di antara orkes lain.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Orkes remaja Indonesia, Trinity Youth Symphony Orchestra, akan segera berangkat ke Vienna, Austria, pada Agustus 2019 untuk berpartisipasi dalam ajang The World Orchestra Festival. Mereka adalah satu-satunya perwakilan Indonesia dalam perhelatan orkestra internasional besar tersebut. Berbekal tekad bulat, misi kebudayaan siap mereka laksanakan.
Buat konduktor Trinity Youth Symphony Orchestra (Trust), Nathania Karina, tampil di Vienna saja sudah menjadi prestasi. Pasalnya, panitia WOF menerima sekitar 300 pendaftaran dari orkes di seluruh dunia setiap tahun. Dari ratusan orkes, hanya 25 orkes yang akan tampil di panggung WOF. Tentu pemilihan didasarkan pada sejumlah variabel yang hanya diketahui panitia.
”Semua ini bermula saat kami meraih silver medal di Australian International Music Festival 2015, Sydney. Dari sanalah semua bergulir seperti bola. Kami diundang ke Austria, tetapi tetap mengikuti audisi dan mengikuti sejumlah seleksi,” kata Nathania, Selasa (23/7/2019), di Jakarta.
Menurut dia, salah satu faktor terpilihnya Trust ialah aspek budaya yang mereka usung. Ada sejumlah lagu yang akan dimainkan di Austria nanti. Semuanya lagu daerah. Ada ”Rasa Sayange”, ”Bungong Jeumpa”, ”Janger”, ”Cublak-cublak Suweng”, hingga ”Manuk Dadali”. Sejumlah lagu juga dicampur satu sama lain (medley), antara lain ”Sik Sik Sibatumanikam”, ”Sing Sing So”, dan ”Sigulempong”.
Lagu-lagu tersebut diaransemen agar menonjolkan sisi khas Indonesia, tetapi tidak menghilangkan roh musik klasik. Aransemen itu sekaligus membawa fluktuasi suasana bagi para pendengarnya. Adakalanya musik yang dibawakan terasa tenang, ceria, hingga menegangkan.
Aransemen itu dikerjakan oleh sejumlah komponis, yakni Nathania, Samuel Huang, Hugo Agoesto, Ivan Tangkulung, dan Christofer Tjandra. Semuanya komponis Indonesia.
Selain bermusik, puluhan anggota Trust yang berusia 10-27 tahun ini juga akan menari. Tarian yang mereka bawa merupakan paduan tari kecak (Bali), saman (Aceh), dan ratoh jaroe (Aceh). Tidak ada alasan khusus saat memilih lagu-lagu dan tarian-tarian itu.
”Jika bisa, kami ingin sekali mengambil semua lagu dan tarian Indonesia buat ditampilkan. Tetapi, kami punya 45 menit untuk tampil,” kata Nathania.
Panggung internasional
Secara historis dan kultural, orkestra merupakan budaya yang muncul pertama kali dan berkembang di dunia barat. Namun, Nathania dan Trust bercita-cita untuk mengenalkan budaya Indonesia melalui orkes. Menurut dia, panggung orkestra internasional merupakan platform yang baik untuk menyorot budaya Nusantara.
”Tantangannya adalah membawa nilai-nilai daerah Indonesia yang tetap terasa kental, tetapi tetap dalam ranah orkestra,” kata Nathania.
Menurut salah satu mentor Trust, Addie MS, keputusan untuk membawa kebudayaan Nusantara di panggung dunia adalah langkah cerdas. Ini menjadi karakter pembeda di antara orkes lain.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Hubungan Antarlembaga Luar Negeri Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Kartika Candra Negara mendukung Trust sepenuhnya. Dukungan serupa juga diberi untuk para pegiat seni, antara lain dengan memberi insentif dan mendukung ekosistem seni yang ada.
Bimbingan senior
Secara garis besar, delapan bulan sudah mereka lewati untuk mempersiapkan diri. Bukan hanya latihan musik, para anggota Trust, yang pada dasarnya adalah pemain musik, bukan penari, juga harus berlatih tari. Maestro kesenian Bali, I Gusti Kompyang Raka, pun diminta untuk turut mengajar mereka.
Selain Kompyang, ada sejumlah pegiat seni lain yang turut membimbing para anggota Trust. Selain Addie MS, ada juga pemain biola crossover Maylaffayza, pelatih vokal Yudhi Ekaputra, dan komposer Addie MS.
Bimbingan seniman senior ini tidak hanya membantu Trust untuk mematangkan kemampuan mereka, tetapi juga dinilai sebagai regenerasi. Sebagai grup musik yang identik dengan lagu klasik, orkes dipandang membosankan buat sebagian orang. Perlahan orkes ditinggalkan. Inovasi dan dinamika dunia musik sekarang dinilai lebih menarik buat diikuti.
Nathania mengatakan, orkes di Eropa perlahan kolaps. Ini terjadi karena orkes dinilai idealis dan tak lagi relevan dengan penerimaan (bahkan mungkin selera) masyarakat awam. Oleh sebab itu, menurut dia, penting untuk sebuah orkes menempatkan diri di tengah masyarakat, salah satunya dengan mengeksplorasi beragam genre musik.
”Anak muda dan orkes adalah dua hal yang sangat relevan. Mereka adalah bibit untuk menerima tongkat estafet dari para senior di masa depan,” katanya.
Orkes bukan hanya wadah untuk menyalurkan hobi dan mengembangkan minat bermusik. Orkes juga dipandang sebagai sarana melatih kepribadian. Sebagai sebuah kelompok, setiap anggota orkes harus memiliki sikap disiplin. Soliditas grup menjadi kunci keberhasilan suatu orkes.
”Disiplin kerja merupakan kelengkapan kerja di dunia profesional yang penting dan kerap terlupakan di dunia musik. Jadi, bukan hanya jago main musik yang diperlukan. Kita juga butuh integritas, etika kerja, disiplin, dan ketepatan waktu,” kata Maylaffayza.