Pada usia 67 tahun, akhirnya Andre Rumantir bisa menginjakkan kakinya di titik Kilometer 0 Indonesia di Pulau Weh, Kota Sabang, Provinsi Aceh. Pencapaian ini semakin istimewa karena Andre berada di titik paling barat Nusantara tepat pada 17 Agustus 2019, Hari Kemerdekaan Ke-74 RI. Ini adalah sebuah perjalanan merajut harapan keindonesiaan.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Pada usia 67 tahun, akhirnya Andre Rumantir bisa menginjakkan kakinya di titik Kilometer 0 Indonesia di Pulau Weh, Kota Sabang, Provinsi Aceh. Pencapaian ini semakin istimewa karena Andre berada di titik paling barat Nusantara tepat pada 17 Agustus 2019, Hari Kemerdekaan Ke-74 RI. Ini adalah sebuah perjalanan merajut harapan keindonesiaan.
Sebanyak 90 pesepeda yang tergabung dalam Kompas Bike menjelajah Pulau Weh pada Jumat-Sabtu (16-17/8/2019). Bagi peserta, selain berwisata, perjalanan itu juga menjadi jembatan meneguhkan nasionalisme.
”Berada di sini (Km 0), saya merasa telah menjadi Indonesia yang utuh setelah beberapa tahun lalu mengunjungi Merauke,” kata Andre.
Masa kecil dia kerap mendengar lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke”. Sejak itu dia bermimpi suatu saat akan menapak di titik 0 paling barat dan timur. Banyak orang yang menaruh harapan seperti Andre, tetapi tidak semua memiliki kesempatan yang sama.
Andre lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Kini, ia menetap di Jakarta dan bekerja sebagai Direktur Departemen Store Matahari.
Rona bahagia terpancar di wajahnya. Rasa lelah mengayuh sepeda selama dua hari sejuah 65 kilometer terbayar. Andre mengangkat sepedanya ke tugu Km 0. Dengan menggunakan telepon genggam, dia mengabadikan dirinya di titik 0 Indonesia. ”Entah kapan saya bisa kembali ke sini,” kata Andre.
Berada di sini (Km 0), saya merasa telah menjadi Indonesia yang utuh setelah beberapa tahun lalu mengunjungi Merauke.
Tugu Km 0 berada di tepi pantai. Debur ombak dan suara burung bak simfoni alam menyambut peserta. Ketika lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dinyanyikan bersama sambil mengangkat bendera Merah Putih, mereka tenggelam dalam lautan cinta terhadap Tanah Air.
”Luar biasa indahnya negara ini. Saya bangga menjadi Indonesia,” kata Dwi Budi Harto (59). Ini juga kali pertama Dwi mengunjungi titik 0 Indonesia bagian barat.
Dwi yang kini menetap di Jakarta telah mengunjungi banyak kota di Indonesia termasuk Merauke. Baginya belum sahih keindonesiaannya jika belum berkunjung ke Pulau Weh. Kata Dwi, meski sekali dalam seumur hidup, dia harus menginjak tanah ujung barat dan timur Nusantara. Harapan itu terwujud di hari spesial, pada HUT Ke-74 RI.
Para peserta terdiri dari berbagai profesi, seperti pengusaha, dokter, manajer perusahaan, wartawan, dan karyawan swasta. Mereka hobi bersepeda mengelilingi Nusantara untuk menyelami keindahan alam, kuliner, budaya, dan sosial masyarakat.
Mereka berasal dari sejumlah daerah, seperti Papua, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Aceh. Ada juga peserta dari Malaysia. Para peserta membiayai sendiri semua kebutuhan, mulai dari biaya transportasi, konsumsi, akomodasi, hingga kebutuhan di tempat wisata.
Dhani, peserta dari Tangerang, Banten, menuturkan, dirinya sangat bahagia mengunjungi Sabang. Dhani menyisihkan uang dari gaji bulanan untuk membiayai perjalanan ini. ”Semua keperluan kami tanggung sendiri, tidak masalah karena ini hobi,” katanya.
Menurut karyawan perusahaan otomotif itu, apa yang dia temukan di Sabang setimpal dengan apa yang dia keluarkan. Menikmati suasana alam yang asri dan tenang adalah sesuatu yang berharga. Apalagi, dia tinggal di kota yang juga semakin padat.
Menyeberang dari Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh, menuju Pelabuhan Balohan, Sabang, Jumat pagi, mereka langsung mengayuh pedal sepeda untuk menyusuri jalan kota. Suasana jalanan agak lengang, sepeda pun meluncur jalan aspal yang mulus.
Singgah menyantap makan siang di Restoran Putroe Ijoe, Desa Aneuk Laot. Menu makan siang adalah ikan bakar dan aneka makanan laut (seafood). ”Ikannya segar banget, bukan ikan yang mati lima kali,” seloroh salah seorang peserta.
Sebagai daerah pulau, selain wisata bahari, Sabang memiliki potensi perikanan. Dalam setahun jumlah tangkapan mencapai 7.000 ton per tahun. Namun, potensi ini belum dikelola dengan baik.
Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Iboh sekaligus menginap di sana. Sebelum sampai ke Iboh, peserta singgah di SD Negeri 11 Aneuk Laot dan SD Negeri 25 Iboh untuk menyerahkan sumbangan 360 pasang sepatu dan 170 paket alat tulis. Sepatu sumbangan Fladeo dan Matahari sedang alat tulis sumbangan pesepeda.
Jalanan menanjak
Perjalanan ke Iboh menantang karena jalanan menanjak, tetapi mereka menikmatinya sebab suasana alam yang alami. Kiri kanan hutan alam dan sesekali melewati tepi pantai. Sepanjang perjalanan hampir tidak ditemui jalan berlubang.
Khushairi bin Muhammad (49), peserta dari Malaysia, sangat menikmati suasana Sabang yang asri. ”Udara sejuk dan jalan mulus. Sabang sangat cocok untuk jadi tempat gowes,” kata Khushairi, yang berprofesi sebagai arsitek.
Ini kali ke lima Khushairi ikut jelajah bersama Kompas Bike. Meski bukan orang Indonesia, dia mendapatkan keluarga baru di Kompas Bike. Tahun ini dia mengajak temannya, Mhd Amir bin Mustafa, bersepeda bersama Kompas Bike.
”Saat dikabari jelajah ke Sabang saya langsung mendaftar. Saya orang Malaysia yang sudah ke Merauke dan Sabang,” kata Khushairi.
Wali Kota Sabang Nazaruddin mengatakan, kehadiran komunitas membangun citra Sabang yang baik dan promosi wisata. Sabang hidup dari dunia wisata. ”Semakin banyak pengunjung semakin hidup kota ini. Kami membuka diri untuk orang luar,” kata Nazaruddin.
Data dari Dinas Wisata Sabang, pada tahun 2016, jumlah kunjungan ke Sabang wisatawan Nusantara sebanyak 724.923 orang dan wisatawan asing 10.038 orang. Pada 2017, sebanyak 736.275 wisatawan Nusantara dan 2.981 wisatawan asing. Kemudian pada 2018 kunjungan wisatawan Nusantara 709.506 orang dan wisatawan asing 29.827 orang.
Semakin banyak pengunjung semakin hidup kota ini. Kami membuka diri untuk orang luar.
Sabang membangun kerja sama dengan Thailand dan Malaysia untuk mempromosi Saphula (Sabang-Phuket-Langkawi). Sabang juga mengembangkan wisata kapal pesiar. Kegiatan skala internasional, seperti kompetisi penyelaman dan kapal layar atau yacht, rutin digelar.
Nazaruddin menuturkan, pihaknya harus berjibaku membangun infrastruktur wisata Sabang, seperti perbaikan jalan, pelabuhan, pelayanan air bersih, dan armada pelayaran. Pelayaran ke Sabang dilayani kapal cepat khusus penumpang orang dan kapal ro-ro melayani penumpang orang dan kendaraan.
”Kapal cepat sudah ada empat unit, sudah memadai. Namun, kapal lambat atau feri hanya satu,” kata Nazaruddin. Akan tetapi, kata Nazaruddin, tahun ini ada bantuan dari kementerian pengadaan satu unit kapal ro-ro dan ditargetkan pada 2020 sudah beroperasi.