Siasat Radio, Mendekat biar Hangat
Suasana di studio siaran Bens Radio 106,2 FM, Jakarta, pada Kamis (15/8/2019) malam, terasa relatif lengang. Beberapa kru dan penyiar di stasiun radio berslogan ”Betawi Punye Gaye” itu sibuk hilir mudik mempersiapkan siaran program acara selanjutnya.
Suasana di studio siaran Bens Radio 106,2 FM, Jakarta, pada Kamis (15/8/2019) malam, terasa relatif lengang. Beberapa kru dan penyiar di stasiun radio berslogan ”Betawi Punye Gaye” itu sibuk hilir mudik mempersiapkan siaran program acara selanjutnya.
Jam dinding di dalam ruang siaran menunjukkan lima menit lagi menuju pukul 20.00 saat program acara mingguan ”Sohibul Hikayat” mulai mengudara. Acara yang sudah berumur hampir dua dekade itu dipandu dua penyiar senior, H Fandi Baskara (57) dan Aditya Oking (55).
Bang Fandi ataupun Bang Oking, begitu mereka akrab disapa, duduk santai di area kafe baru, Kopi Engkong, di salah satu sudut dekat bangunan studio siaran saat persiapan mengudara. Di sudut kafe, yang juga unit usaha baru radio, itu orang bisa bersantai sambil melihat para penyiar beraksi di studio.
”Sohibul Hikayat pernah menjadi acara favorit sekitar awal tahun 1990-an. Acara itu sempat terhenti lama, lalu saya usulkan disiarkan lagi sekitar tahun 2000-an. Soalnya waktu itu materi acara yang mengangkat budaya Betawi semakin sedikit,” ujar Bang Fandi.
Seperti nama siarannya, ”Sohibul Hikayat” berisi kisah-kisah teladan zaman dulu. Baik kisah dari riwayat di kitab suci, kisah teladan para nabi dan rasul, dongeng 1.001 malam, maupun legenda kepahlawanan para jagoan Betawi, seperti Si Pitung dan Si Jampang.
Akibat konsistensinya, pada 2012 Bens Radio dan acara yang diasuhnya itu diganjar penghargaan oleh Taman Ismail Marzuki. Mereka dikategorikan sebagai Penerus 10 Kebudayaan yang Hampir Punah.
Walaupun namanya terdengar serius, ”Sohibul Hikayat” dibawakan dengan ringan dan jenaka. Sebagai dalang, Bang Fandi menyampaikan jalannya cerita, sementara Bang Oking berperan sebagai ”celetuker”, melontarkan selorohan dan celetukan jenaka khas Betawi.
Selain ”Sohibul Hikayat”, Bens Radio mempertahankan sejumlah program siaran khas mereka lainnya, seperti ”Asal Goblek” yang mengudara setiap Jumat malam.
Acara ”Asal Goblek” awalnya diciptakan sendiri oleh mendiang pendiri Bens Radio, yang juga artis besar sekaligus seniman Betawi, Benyamin
Sueb. Siaran ”Asal Goblek” berisi celotehan-celotehan jenaka khas orang Betawi, yang juga menjadi ciri khas celetukan-celetukan Benyamin dalam film-filmnya pada masa lalu.
Menurut Direktur Utama Bens Radio Benny Pandawa Benyamin, radionya memang kental dengan budaya kontemporer Betawi. Sang pendiri sendiri sejak awal membangun Bens Radio pada 29 tahun lalu memang ingin melestarikan budaya tanah kelahirannya itu lewat siaran-siaran mereka.
”Kalau kata almarhum Babe (Benyamin), teriak-teriak ngomongin tentang Betawi lewat radio pesannya bisa semakin luas sampai dan diserap orang,” ujar Benny.
Bens Radio, kata Benny, ingin menegaskan posisi mereka sebagai satu-satunya radio Betawi di Jakarta. Dia juga bersyukur, berdasarkan survei AC Nielsen, sejak tahun 2000 radio ini selalu menduduki posisi lima besar pendengar terbanyak se-Jabodetabek. ”Kami mau sampaikan, yang namanya budaya Betawi itu memang kagak bakal ade matinye,” seloroh Benny sambil tertawa.
Meski begitu, Benny mengakui pihaknya terus berupaya bertahan, terutama dalam mencari peluang pendapatan iklan, yang memang menjadi semacam darah dan nyawa dari kehidupan stasiun radionya.
Tingginya keterdengaran (listenership), menurut Benny, tak selalu berbanding lurus dengan pendapatan iklan, apalagi di tengah era disrupsi media sekarang. Walau trennya terus menurun, jumlah pendengar Bens Radio masih di kisaran angka 1,5 juta orang.
Kembali ke lokal
Upaya lebih kurang sama juga dilakukan sejumlah stasiun radio di beberapa daerah. Mereka dengan sadar memperkuat keakraban dengan pendengar. Caranya dengan mengambil pendekatan budaya dan menggunakan bahasa lokal yang lebih akrab dan hangat.
Caranya, mengambil pendekatan budaya dan menggunakan bahasa lokal yang lebih akrab dan hangat.
Dari ranah Minang, Sumatera Barat, ada Radio Harau FM. Radio ini juga total mengangkat konten budaya dan bahasa lokal di daerahnya sebagai strategi menggaet pendengar. Padahal, saat awal berdiri tahun 1991, Harau FM mencoba tampil sebagai radio multisegmen.
Berbasis di Nagari Koto Tuo, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, radio ini dulu siaran dalam bahasa Indonesia dan memutar beragam lagu dari artis dalam dan luar negeri. Stasiun RRI dan Prambors di Jakarta menjadi acuan mereka memilih dan memutarkan lagu-lagu populer itu.
Seiring berjalannya waktu, sang pemilik, Yuzermin, dan para pengelola Harau FM lainnya, menyadari mereka punya banyak keterbatasan dan kendala untuk tampil optimal sekaligus bersaing dengan radio-radio lain di konsep multisegmen seperti itu. Begitu kata Kepala Studio Harau FM Yivatman Dalu Awartha.
Kendala itu, misalnya, terkait dengan kemampuan mengoleksi lagu-lagu sesuai keinginan penggemar. Di daerah mereka juga sulit mencari dan mempekerjakan penyiar yang fasih berbahasa Indonesia. Dalu menambahkan, Harau FM lalu mulai serius menggarap konten Minang pada 2000-an.
Peralihan ke konten Minang, menurut dia, juga didorong keinginan memberikan ruang bagi lagu-lagu Minang yang sebelumnya selalu menjadi ”anak tiri” di daerah sendiri. Tadinya banyak karya musisi lokal tidak memiliki tempat di radio.
Ternyata peralihan fokus konten itu berbuah manis. Radio Harau justru semakin digandrungi terutama di segmen pendengar usia 25 tahun ke atas. Jumlah iklan pun meningkat drastis. Banyak pendengar kerap aktif berpartisipasi dalam program interaktif.
Selain dari Limapuluh Kota dan Payakumbuh, para pendengar Harau FM juga merambah sampai kota-kota lain macam Bukittinggi, Agam, Tanah Datar, Pasaman, Pasaman Barat, dan bahkan sampai Kampar, Riau.
Beberapa program favorit, antara lain ”Dendang Saluang” dan ”Palapeh Taragak” yang sama-sama memutarkan lagu-lagu Minang diiringi alat musik tiup tradisional saluang. Selain itu, juga ada ”Dendang Masok Kini” berisi lagu-lagu Minang terbaru serta ”Dendang Sanjo” yang memutarkan lagu-lagu Minang nostalgia.
Acara Dendang Saluang, yang disiarkan pukul 21.00 hingga 02.00, bahkan ramai dikunjungi ratusan penggemarnya. Mereka datang dari kabupaten atau kota lain untuk menonton langsung proses siaran sambil juga memberikan uang saweran kepada kelompok dendang saluang yang tampil.
”Kesenian itu sempat terlupakan. Akan tetapi, sekarang kembali digemari dan menjadi tren sejak kami menyiarkannya. Acara-acara hajatan di masyarakat kini juga kembali menampilkan kelompok dendang saluang sebagai pengisi acara,” ujar Dalu bangga.
Di Solo, Jawa Tengah, pendekatan lokal yang diambil Radio Ria FM juga disambut baik pendengarnya. Salah satu acara yang dijagokan adalah siaran langsung pentas musik ”Keroncong Bale” yang menjadi program bulanan Bentara Budaya Balai Soedjatmoko.
Pentas langsung keroncong yang disiarkan di radio itu digelar di pelataran Gedung Balai Soedjatmoko, yang kebetulan juga berada satu area dengan studio Radio Ria FM.
Para pendengar yang kebanyakan penikmat dan penggemar musik keroncong berdatangan menonton langsung. Mereka bukan hanya berasal dari kalangan senior, melainkan juga anak-anak muda.
”Muatan lokal yang sampai sekarang diminati dan dicintai masyarakat Solo, ya, keroncong itu. Penggemarnya dari berbagai kalangan usia. Bukan hanya penggemar, kelompok-kelompok musik keroncongnya pun ada yang dari lintas generasi,” ujar Kepala Studio Ria FM (Sonora Network) Krisna Wicaksono, Rabu (14/8/2019).
General Manager Radio Network di Grup Radio Kompas Gramedia F Wahyu Astuti menambahkan, konten lokal pasti ada di 33 radio Grup Sonora di 21 kota di Indonesia. ”Di Yogya ada wayangan, di Bangka ada berbalas pantun,” ujarnya.
”Kalau kontennya ditarik semua dari Jakarta, siapa yang mau dengar? Karakteristik radio, ya, lokal itu. Orang, bahkan, inginnya saling berkirim salam di radio itu,” ujar Wahyu.
Kalau kontennya ditarik semua dari Jakarta, siapa yang mau dengar?
Karaoke ”live”
Dari Singkawang, Kalimantan Barat, pengelola Radio Darios FM, Dandung Mahesa, menceritakan pendekatan unik yang mereka lakukan. Para pendengar diberi kesempatan untuk bernyanyi secara live lagu karaoke pilihan mereka.
Mereka membayar Rp 5.000 per lagu. Untuk mereka, disediakan panggung kecil dan layar monitor serta perlengkapan menyanyi karaoke. Ide acara itu dimulai sejak tahun 2010. Sejak dua tahun terakhir, frekuensi siarannya bahkan ditambah menjadi setiap hari. Lagu-lagu Melayu pada pukul 14.00-16.00, sedangkan lagu Mandarin pukul 20.00-22.00.
”Mereka lebih senang berkaraoke di radio karena suara mereka didengar orang banyak. Selain itu, mereka juga bisa saling bertemu dengan komunitas sesama penggemar karaoke,” ujar Dandung.
Mereka lebih senang berkaraoke di radio karena suara mereka didengar orang banyak.
Peminatnya banyak. Uang yang diperoleh untuk membiayai operasionalisasi radio. Walau tak besar, pendapatan dari acara itu menyumbang kelangsungan hidup radio.
”Setidaknya untuk menambah bayar tagihan listrik dan ongkos lain. Sebagai orang yang lama di radio, rasanya memalukan kalau sampai radionya mati,” ujar Dandung.
Saat dihubungi secara terpisah, pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Andre Rahmanto, menilai, pendekatan lokalitas dalam konten-konten siaran memang bisa menjadi peluang bagi stasiun-stasiun radio untuk bisa tetap bertahan.
”Lokalitas seperti itu berkaitan dengan proksimitas (kedekatan) yang menjadi salah satu daya tarik bagi audiens. Namun, harus diingat juga keinginan orang mengakses siaran radio makin terkekang oleh gawai,” kata Andre. (ERWIN EDHI PRASETYA/YOLA SASTRA/WISNU DEWABRATA/DWI AS SETIANINGSIH)