Sukrasana sangat sayang kepada kakaknya. Ia bahkan rela membantu Sumantri dalam kesulitan apa pun tanpa pamrih.
Oleh
Sekar gandhawangi
·4 menit baca
Dahulu kala, saat para dewa dan dewi masih hidup berdampingan, ada seorang pemuda bernama Sukrasana. Ia adalah kesatria sakti mandraguna yang baik hati. Kekuatan itu ialah hasil berguru kepada salah satu dewa terkuat di kayangan, Batara Indra. Kebaikan dan kekuatan itulah yang suatu hari mengantar Sukrasana ke kebinasaan.
Sukrasana memiliki kakak lelaki bernama Sumantri. Berbeda dengan kakaknya yang rupawan, Sukrasana buruk rupa dan tampak seperti buta (raksasa) yang kecil dan pendek. Itu sebabnya ia kerap dipanggil ”Buta Bajang”.
Perbedaan antara kakak dan adik ini tidak hanya di tampangnya. Sumantri dikisahkan sebagai kesatria yang ambisius. Kendati demikian, Sukrasana sangat sayang kepada kakaknya. Ia bahkan rela membantu Sumantri dalam kesulitan apa pun tanpa pamrih.
Suatu hari, Sumantri kebingungan karena harus memindahkan Taman Sri Wedari. Ini dilakukan agar ia bisa mendapat kedudukan sebagai perdana menteri kerajaan. Dalam hatinya, ia tahu itu adalah misi yang mustahil ditunaikan.
Saat itulah Sukrasana turun tangan membantu Sumantri. Ia memindahkan Taman Sri Wedari tanpa kesulitan dengan bantuan para lelembut. Atas jasanya, Sukrasana memohon agar boleh mengikuti Sumantri ke mana pun ia pergi, termasuk saat bertugas di istana. Permintaan itu sempat ditolak karena Sumantri malu akan wujud sang adik.
Kehadiran Sukrasana rupanya membuat para putri kerajaan resah. Mereka berteriak ketakutan saat tiba-tiba melihat Sukrasana yang buruk rupa. Itu sebabnya Sumantri diperintahkan mengusir Sukrasana.
Sumantri meminta Sukrasana pergi, tetapi permintaan itu tidak diindahkan. Ia pun mengambil busur dan panah, lalu berpura-pura akan memanah Sukrasana. Ia bermaksud menggertak. Namun, panah itu benaran melesat dan membunuh Sukrasana.
”Sang Sukrasana”
Cerita itulah yang diangkat dalam pertunjukan wayang orang berjudul Sang Sukrasana. Kisah tersebut akan dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 17 November 2019. Pementasan dilakukan untuk merayakan Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap 7 November.
Pertunjukan ini diselenggarakan Laskar Indonesia Pusaka bersama Bakti Budaya Djarum Foundation. Sejumlah pihak juga terlibat, antara lain Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, dan sejumlah aktor.
Sang Sukrasana dinilai unik karena menampilkan Sukrasana sebagai tokoh utama. Padahal, selama ini, Sumantri yang kerap menjadi tokoh sentral.
Pendiri Laskar Indonesia, Jaya Suprana, mengatakan, kisah Sukrasana merupakan cerminan dari situasi negara saat ini. Sejumlah pihak berebut kekuasaan dan melupakan kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat. Padahal, masyarakat adalah tokoh krusial dalam susunan negara.
”Rakyat begitu dipuja saat masa kampanye. Mereka dirayu dan diberi kesan bahwa negara dipersembahkan untuk rakyat. Namun, begitu pemilu selesai, rakyat dilupakan dan membuat saya sedih. Saya harap pergelaran wayang ini akan mengangkat kembali harkat dan martabat rakyat,” kata Jaya saat konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Kisah Sukrasana merupakan cerminan dari situasi negara saat ini. Sejumlah pihak berebut kekuasaan dan melupakan kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat.
Menurut Jaya, Sukrasana merupakan kisah pewayangan yang menarik. Sebab, Sukrasana dan Sumantri merupakan tokoh wayang asli dari Indonesia, bukan dari Mahabharata.
Sukrasana dan Sumantri ia sebut sebagai kisah buatan leluhur Indonesia yang menggabungkan cerita Ramayana dan Mahabharata. Seiring berkembangnya zaman, cerita wayang Sukrasana dan Sumantri pun bermunculan.
Sebagai contoh, ada versi yang mengatakan Sukrasana tewas akibat tertusuk panah, tetapi ada juga yang mengatakan ia mati karena keris. Versi lain mengatakan bahwa Sukrasana menaruh amarah kepada kakaknya saat meninggal. Adapun yang menyebut Sukrasana memaafkan Sumantri sebelum meninggal dan menunggu kakaknya di alam baka.
Penasihat pergelaran Sang Sukrasana, Ninok Leksono, berpendapat, pertunjukan wayang orang bisa melanggengkan kebudayaan Indonesia. Terlebih, wayang telah ditetapkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan budaya tak benda.
”Apabila sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, ada tiga amanat yang harus kita penuhi, yaitu melestarikan, memopulerkan, dan mengembangkannya. Dalam pengembangannya, wayang menjadi tuntunan dan tontonan (buat masyarakat),” tutur Ninok.
Agar relevan dengan penonton, penyelenggara akan memadukan pertunjukan wayang dengan sarana multimedia. Latar belakang berupa grafis digital, video, dan audio akan disertakan.
Produser Sang Sukrasana, Aylawati Sarwoni, mengatakan, ini dilakukan agar generasi muda tertarik menonton wayang.
”Selama sembilan tahun terakhir, kami telah menggelar 115 pertunjukan. Ada 18 di antaranya yang menampilkan kesenian tradisional yang ditampilkan di panggung internasional, seperti New York, Sydney, dan Moskwa. Kali ini, kami mengemas wayang orang secara lebih modern agar anak muda mau menonton wayang,” katanya.
Pertunjukan ini melibatkan sedikitnya 200 orang. Beberapa orang yang turut berperan dalam Sang Sukrasana antara lain adalah aktor Lukman Sardi, Maudy Koesnaedi, Asmara Abigail, Ruth Marini, Inayah Wahid, dan Kenthus Amprianto.