”Podcast” Vs Radio, Siapa yang Lebih Unggul Sekarang?
”Podcast” menjadi populer di kalangan generasi muda Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Program audio ini dinilai lebih variatif dan praktis diakses.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
Podcast sebenarnya bukan barang baru. Terminologi ini muncul untuk mendefinisikan program audio yang bisa diakses melalui koneksi internet atau on demand. Seiring berjalannya waktu, podcast semakin digandrungi lantaran memiliki topik bahasan yang variatif dan mudah diakses.
Pekerja lepas Willybrodus Caesario (25) sudah lama mengenal podcast. Siaran pertama yang ia dengar adalah ”Podcast Awal Minggu” yang dibuat oleh komika Adriano Qalbi. Adriano disebut sebagai orang yang berpengaruh di dunia podcast Tanah Air hingga dijuluki Bapak Podcast Indonesia.
Sejak mengenal podcast, Willybrodus tertarik untuk membuat karya serupa. Dulu, ia meyakini bahwa podcast akan jadi tren baru di masa depan. Hal ini terbukti benar. Podcast menjadi tren populer di kalangan anak muda sejak beberapa tahun silam. Ada yang menyebut podcast merakyat sejak 2018.
”Menurutku, podcast bisa populer karena itu adalah bentuk baru dari vlog (video blog). Platform ini memberi akses bagi orang lain untuk mengenal seseorang lebih dalam, termasuk pemikiran mereka. Podcast jadi media baru untuk berbagi konten,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Kini, Willybrodus telah menghasilkan sejumlah episode podcast. Karyanya ia unggah melalui Youtube dan Spotify dengan kanal bertajuk ”Bedtime Stories-Webego” serta ”Seminar Demotivasi”.
Podcast ia nilai mudah diproduksi karena hanya mengedepankan aspek audio. Alat produksinya pun ia nilai sederhana. Ia hanya butuh aplikasi perekam suara di ponsel pintar. Audio itu kemudian ia edit melalui program pengedit di komputer atau laptop.
Membuat podcast mengasahku untuk berkarya dan berpikir dengan cepat. Ini juga melatihku untuk berbicara dengan lancar dan terstruktur.
Adapun isu yang dibahas di kanal podcast miliknya beragam. Ia memilih topik yang dekat dengan realitas anak muda, seperti isu patah hati, perselingkuhan, dan krisis identitas diri di usia 20-an (quarter-life crisis).
”Membuat podcast mengasahku untuk berkarya dan berpikir dengan cepat. Ini juga melatihku untuk berbicara dengan lancar dan terstruktur,” kata Willybrodus.
Menjadi tren
DailySocial dalam laporan berjudul Podcast User Research in Indonesia 2018 menyebutkan, istilah podcast lahir ketika pemimpin perusahaan teknologi Apple, Steve Jobs, memperkenalkan iPod kepada publik pada 2001. Podcast merupakan akronim dari iPod Broadcasting. Di Indonesia, podcast baru berkembang dan menjadi tren beberapa tahun terakhir.
Survei tersebut dilakukan terhadap 2.032 orang di seluruh Indonesia. Hasilnya, 67,97 persen responden mengetahui podcast dan 32,03 persen lainnya tidak.
Adapun 43,23 persen responden mengaku tertarik dengan podcast, sebanyak 17,95 persen tidak tertarik, dan 56,63 persen lainnya tidak yakin.
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Solo, Nun Fatimarahim (21), mendapati podcast menarik karena memiliki topik yang variatif. Topik kesukaannya adalah komedi dan cerita bertutur.
”Podcast itu punya keajaiban yang spesifik. Saat menikmati podcast yang mengisahkan cerita pendek, aku bisa memvisualisasi cerita yang dikisahkan. Kalau yang dikisahkan adalah cerita komedi, aku jadi bisa membayangkan situasi konyol itu,” kata Nun.
Kemudahan akses membuat podcast digemari publik. Yang dibutuhkan Nun hanya koneksi internet untuk streaming atau mengunduh podcast yang diinginkan. Podcast juga dapat didengarkan kapan saja dan di mana saja. Aspek ini ia nilai sebagai keunggulan podcast dibandingkan radio yang harus didengarkan secara waktu nyata (real time).
Podcast itu punya keajaiban yang spesifik. Saat menikmati podcast yang mengisahkan cerita pendek, aku bisa memvisualisasi cerita yang dikisahkan. Kalau yang dikisahkan adalah cerita komedi, aku jadi bisa membayangkan situasi konyol itu.
Berdasarkan studi yang sama dari DailySocial, publik yang lebih memilih radio ada 17,98 persen, podcast 25,29 persen serta 56,73 persen lainnya memilih radio dan podcast.
Nun telah dua kali terlibat dalam produksi podcast. Ia berencana membuat kanal podcast miliknya sendiri di Spotify tahun ini.
Konten berbobot
Audiens podcast memiliki preferensi yang berbeda-beda dalam mengonsumsi program audio ini. Beberapa di antaranya memilih konten berbobot yang menambah wawasan mereka.
Pegawai swasta Avianda (23) menikmati program audio bertajuk ”Hidden Brain”. Podcast ini diproduksi oleh National Public Radio yang berbasis di Amerika Serikat. Program ini ia ketahui semasa belajar selama setahun di AS.
”Podcast itu mengombinasikan storytelling (cerita bertutur) dan ilmu kemasyarakatan yang menjelaskan perilaku manusia. Pengetahuan ini berhubungan dengan pekerjaanku di industri periklanan. Program ini juga membahas sesuatu yang valid dengan menghadirkan ahli,” katanya.
Adapun dokter muda Mutiara (24) juga mencari podcast yang memberinya wawasan baru. Beberapa kanal yang ia dengarkan adalah ”Level Up with Benakribo” dan ”TED”.
Menurut dia, podcast menarik karena dapat dinikmati sambil bekerja. Genre yang ditawarkan pun beragam. Ia juga mempelajari cara menuturkan cerita dan jalan pikir orang-orang melalui podcast.
Pekerja lepas Mariano (24) mengatakan, ia menikmati program audio yang memberi pengetahuan baru, namun juga menikmati audio yang berisi guyonan. Seleranya disesuaikan dengan suasana hati.
”Podcast itu menyenangkan karena tidak menerapkan sensor sehingga topik dan cara bertuturnya lebih lepas. Jika sedang tertekan, kita tinggal mendengarkan podcast yang pembahasannya tidak berat. Jika ada waktu luang, aku biasanya mendengar podcast yang lebih berbobot,” kata Mariano.