Rasa sepi saat pembatasan sosial kerap melanda warga menghabiskan banyak waktunya di lingkungan rumah. Kemunculan rasa itu menjadi alarm bahwa Anda tetap perlu berinteraksi sosial di masa pandemi.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
Rutinitas Restu Iryanti (30) berubah drastis dua pekan terakhir. Pegawai staf customer service di Jakarta ini sepenuhnya berkegiatan di rumah karena kebijakan work from home. Selain menyelesaikan pekerjaan kantor dan bersih-bersih di rumah, belakangan ia merasa sepi.
Perempuan yang meyakini dirinya ekstrover ini sebenarnya lebih menikmati suasana keramaian di kantor. Saat bekerja di rumah justru membuatnya merasa lelah karena tidak ada teman bicara. Dia mengatasi kesepian itu dengan bertelekonferensi bersama sejumlah teman kantor.
”Kalau sedang sendirian, apalagi waktu malam, saya kadang malah berpikir ke mana-mana yang justru bikin risau. Kalau sudah begitu, saya merasa perlu ngobrol dengan teman supaya enggak jadi overthinking,” tuturnya.
Kondisi Restu mungkin dialami sebagian orang di masa pandemi Covid-19 ini. Pembatasan sosial yang berlaku kini ternyata tidak hanya memicu kesepian di rumah, tetapi juga di dalam diri seseorang. Fenomena ini pun melanda sejumlah penduduk di negara lain.
Julianne Holt-Lunstad, pakar psikologi dan neurosains Brigham Young University, mengungkap bahwa kesepian bisa berdampak pada hal-hal serius. Salah satu studinya menyebut kekurangan interaksi sosial bisa jadi berisiko sepadan dengan mengisap 15 batang rokok per hari sebagai faktor penyebab kematian. Studi lainnya mengungkap bahwa kesepian meningkatkan risiko kematian lebih dini sebanyak 26 persen.
”Kita sejatinya makhluk sosial dan tubuh kita turut merespons ketika kita kurang bersosial dengan orang lain. Pandemi Covid-19 mungkin akan memunculkan situasi normal baru, di mana kita harus tetap terhubung secara sosial meski harus berjarak satu sama lain,” tutur Julianne seperti dilaporkan The New York Times.
Susan Pinker, psikolog dan penulis buku The Village Effect”, mengatakan, kesepian adalah perasaan subyektif yang muncul di luar kehendak Anda. Dia bilang bahwa Anda bisa saja merasa sepi saat sendirian, atau bahkan sepi di tengah kerumunan orang.
”Perasaan semacam itu bisa muncul saat Anda dikecualikan atau mengalami kecemasan eksistensial,” ucapnya.
Meski begitu, kondisi sepi tidak melulu berasosiasi pada hal buruk. Psikolog dari Universitas Indonesia, Dian Oriza, mengingatkan bahwa kesepian bisa menjadi momen perenungan di masa pandemi.
”Sepi menjadi hal yang penting karena itu merupakan salah satu mekanisme alarm di dalam diri bahwa kita butuh koneksi sosial,” ungkap dia saat dihubungi Kompas.
Saat kebutuhan bersosialisasi itu muncul, Anda bisa memanfaatkan berbagai aplikasi telekonferensi di masa pandemi. Cara tersebut adalah yang paling efektif untuk kondisi sekarang.
Kebutuhan interaksi itu juga bisa dilakukan lewat media sosial. Meski begitu, media sosial rentan membuat Anda membandingkan diri dengan orang lain yang kerap memunculkan emosi negatif. Dian mengingatkan agar Anda tetap mawas diri dalam penggunaan media sosial.
Terkait itu, Dian menambahkan bahwa kondisi kesepian Anda memerlukan kehadiran support system. Hal yang dimaksud ini adalah hadirnya teman, kerabat, atau keluarga dekat saat Anda merasa kesepian.
”Jadi, usahakan agar Anda selalu memiliki teman atau orang dekat untuk berbagi cerita. Keberadaan mereka akan banyak menolong di masa seperti ini,” ujarnya.
Amanda Ripley, penulis The Unthinkable: Who Survives When Disaster Strikes and Why (2009), menyampaikan, rasa sepi dapat memicu stres yang turut berdampak pada penurunan respons sistem imun tubuh. Hal ini, menurut dia, bisa jadi mengkhawatirkan di tengah penularan wabah Covid-19.
Dalam artikel The Washington Post, Amanda membagikan empat cara yang dapat dilakukan saat Anda kesepian. Pertama, berolahraga. Sebab, menurut dia, latihan fisik seperti itu dapat meningkatkan fungsi sistem imun tubuh.
Caitlin M Rivers, ahli epidemiologi dari John Hopkins University, Baltimore, Amerika Serikat, menyarankan untuk lari-lari kecil atau naik sepeda di sekitar lingkungan rumah. ”Hal ini memungkinkan dilakukan bersama rekan selama Anda bukan di wilayah riskan sebagai lokasi penularan,” jelasnya.
Cara kedua, menjaga komunikasi dengan kerabat terdekat. Selama pembatasan sosial, komunikasi bisa dilakukan dengan ponsel atau aplikasi yang mendorong Anda untuk benar-benar ngobrol secara lisan dengan lawan bicara. Nancy Jo Sales, kolumnis The Guardian, mengatakan, cara ini bisa jadi kesempatan untuk mengubah perilaku kita dalam menggunakan ponsel dan media sosial.
Cara ketiga, berusaha menciptakan ketenangan batin atau mindfulness. Hal ini dapat dilakukan melalui meditasi yang menurut Anda nyaman. Sebagai saran, Anda dapat mencoba sejumlah aplikasi meditasi gratis, seperti Headspace dan Calm di ponsel.
Keempat, menolong orang lain dalam hal sekecil apa pun. Menurut penulis Amanda Ripley, aksi sukarela atau bentuk pertolongan lainnya dapat mengurangi kegelisahan seseorang. Pola solidaritas serupa kerap terjadi, menurut pengamatannya, bahkan sejak tragedi 9/11 di Amerika Serikat.
Meski Anda merasa kesepian, perlu diingat bahwa saat ini banyak orang sedang bersama-sama melawan kesepian di masa pandemi. ”Kita bersama-sama menghadapi situasi ini. Jadi, sepi itu jangan dibunuh, tetapi dijadikan kawan. Kalau tinggal di apartemen, misalnya, Anda pun bisa bersosialisasi dengan teman apartemen dengan berjaga jarak,” jelas psikolog Dian Oriza.