Bukan Hilang, Tradisi Lebaran Saat Pandemi Hanya Berubah Cara
Pandemi Covid-19 tidak mengubah makna Lebaran. Hanya beberapa tradisi yang berubah seiring dengan kebutuhan untuk mencegah penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 ini.
JAKARTA, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19, tradisi Lebaran masih bisa dijalankan meski harus menggunakan tata cara yang tidak melanggar protokol kesehatan. Di sisi lain, banyak hal positif baru yang bisa dilakukan tanpa harus mudik ke kampung halaman.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, tradisi Ramadhan dan Idul Fitri tidak akan tercerabut karena pandemi Covid-19. Masyarakat tetap dapat melaksanakan tradisi-tradisi tersebut. Namun, pelaksanaannya harus sesuai dengan protokol penanganan Covid-19.
”Idul Fitri dalam masa pandemi seolah-olah akan menghilangkan kultur yang sudah berjalan bertahun-tahun. Padahal, tetap bisa dilakukan dengan cara yang berbeda,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Baca juga : Layanan Zakat Fitrah dengan Protokol Kesehatan
Syuhud mencontohkan, momen Ramadhan dan Idul Fitri biasanya identik dengan ziarah kubur. Pada masa pandemi ini, hal tersebut tetap bisa dilakukan dengan cara membacakan tahlil dari rumah. Begitu pula dengan tradisi sungkeman, masyarakat dinilai masih bisa melakukannya tanpa harus bersentuhan fisik atau berkerumun.
”Jika bertemu sesama di jalan, tetap sampaikan mohon maaf lahir batin. Tidak usah bersalaman, tapi berikan isyarat tubuh yang baik dan sopan,” ujarnya.
Hal yang sama juga bisa dilakukan saat melakukan shalat Tarawih dan Shalat Id. Selama ini tidak ada larangan untuk melakukan shalat sunah tersebut. Masyarakat tetap bisa melakukannya di rumah, baik secara mandiri maupun berjamaah dengan keluarga serumah.
”Yang terpenting adalah menjaga kebersihan. Itu namanya kita sedang menjaga jiwa. Menjaga jiwa adalah tujuan syariah yang paling besar,” katanya.
Ciptakan kebiasaan positif
Lebih dari itu, Syuhud menilai, ada hikmah yang bisa diambil pada masa pandemi ini. Masyarakat bisa menciptakan kebiasaan positif yang baru. Contohnya, seorang ayah yang selama ini tidak sempat menjadi imam shalat di rumah bisa membiasakan diri menjadi imam.
Begitu pula orang-orang yang selama ini tidak pernah menjadi khatib, sekarang banyak mempelajari buku-buku khotbah karena memiliki banyak waktu luang. Orang yang jarang mengaji, sekarang lebih sering membaca Al Quran. Hal ini, menurut dia, hanya bisa dilakukan jika seseorang mampu memaknai pandemi dengan cara mendekatkan diri pada Ilahi.
Menuju ketakwaan
Sementara itu, pemerintah telah melarang masyarakat melakukan mudik untuk menghindari penularan Covid-19 yang lebih luas. Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat menilai, masyarakat harus mampu menahan diri untuk mudik.
Menurut dia, menahan diri atau yang ia sebut dengan imsak merupakan salah satu jalan untuk mencapai ketakwaan. Di bulan Ramadhan ini, tidak hanya lapar dan dahaga yang perlu ditahan. Masyarakat juga perlu menahan diri dari pikiran, tindakan, dan perilaku yang dapat merugikan orang lain.
”Menahan diri di masa pandemi ini, artinya kita perlu mengikuti kaidah-kaidah sains dan pengalaman empiris mengenai pencegahan Covid-19,” kata Komaruddin.
Komaruddin menambahkan, mudik bisa ditunda untuk Lebaran tahun-tahun mendatang. Begitu pula dengan shalat Id dan shalat Tarawih. Masyarakat yang berada di zona merah perlu mengindahkan imbauan pemerintah untuk melakukan ibadah di rumah.
Dia juga mengajak masyarakat untuk merenungi kondisi pandemi ini pada momentum Idul Fitri. ”Hal ini tidak akan berlangsung permanen. Hanya bersifat kasuistik saja. Kalau mampu memaknai, orang nanti tidak akan hidup bermewah-newahan,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengajak masyarakat untuk tidak mudik jika sekadar untuk menjalankan tradisi. Ketimbang mengeluarkan uang untuk mudik, lebih baik menyisihkannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
”Salurkan saja kelebihan yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Lebaran tahun ini tetap bisa bersilaturahmi melalui jarak jauh dengan bantuan digital,” katanya.
Salurkan saja kelebihan yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Lebaran tahun ini tetap bisa bersilaturahmi melalui jarak jauh dengan bantuan digital.
Jimly mengamati, solidaritas warga selama bulan Ramadhan dan pandemi ini terus meningkat. Hal ini bisa menjadi modal sosial yang penting untuk menghadapi kondisi normal baru. Saat ini, antarmasyarakat terlihat saling membantu tanpa pandang bulu.
”Kita semua melakukan hal yang sama tanpa sadar. Hal ini menjadi momentum yang bagus untuk melawan ujaran kebencian di media sosial. Mudah-mudahan setelah ini bisa direm,” ujarnya.