Infodemi Membuat Publik Abai dengan Bahaya Covid-19
Infodemi tak hanya berpotensi menyesatkan orang dari kebenaran, tetapi juga membawa kemunduran bagi peradaban. Informasi di media sosial terkait pandemi Covid-19 jangan ditelan mentah-mentah tanpa mengecek kebenarannya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jika digambarkan, media sosial dan internet itu seperti hutan belantara. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas atau lampu jalan seperti di jalan tol. Penjelajah yang buta soal hutan bisa saja tersesat, terperosok ke pasir isap, atau terjebak semakin dalam ke hutan tanpa tahu ada apa di sana.
Aturan bermedia sosial lebih kurang sama dengan berinteraksi di dunia nyata, yakni tetap santun dan tidak boleh menyebar berita bohong. Kebebasan berpendapat seseorang perlu dikendalikan dengan ”gas dan rem” yang tepat. Jangan sampai kebebasan itu membuat pengguna media sosial berkontribusi menyebarkan hoaks.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada 850 hoaks mengenai Covid-19 selama 23 Januari hingga 15 Juni 2020. Hoaks menyebar melalui media sosial dan aplikasi percakapan.
Organisasi Kesehatan Nasional (WHO) menyebut berita bohong soal Covid-19 sebagai infodemi (information pandemic/infodemic). Infodemi merupakan informasi berlebihan akan suatu masalah sehingga publik kesulitan mengidentifikasi hal yang benar dan salah. Lebih lanjut, infodemi akan menimbulkan kebingungan publik, ketidakpercayaan, dan menghambat efektivitas layanan kesehatan.
Video wawancara musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji dengan Hadi Pranoto, orang yang mengaku telah menemukan obat Covid-19 di Youtube, dinilai memuat berita bohong sehingga warganet melaporkan video itu dengan keterangan ”spam or misleading”. Video tersebut kini sudah diturunkan oleh Youtube.
Selain dari kalangan selebritas, informasi salah seputar Covid-19 juga pernah disampaikan pemerintah. Pada Juli 2020, Kementerian Pertanian mengumumkan kalung aroma terapi dari eukaliptus dapat mencegah Covid-19. Temuan itu masih perlu diteliti lebih lanjut. Kalung penangkal virus korona itu kini diajukan untuk mendapat izin edar sebagai jamu (Kompas, 6/7/2020).
Sebelumnya, Direktur Jenderal WHO menyatakan bahwa saat ini dunia tidak hanya memerangi pandemi, tetapi juga infodemi. Sekretaris Jenderal WHO Antonio Guterres menyatakan, sains dan fakta harus dikedepankan dalam menangani virus korona baru.
Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indo (PP PPNI) Harif Fadhillah menyayangkan ada pihak yang menganggap enteng Covid-19. Ini bisa memengaruhi pemahaman publik yang salah dan mendorong pelanggaran protokol kesehatan. Akibatnya, kasus positif Covid-19 bakal terus meningkat.
”Sarana dan prasarana pelayanan Covid-19 masih terbatas, begitu pula tenaga kesehatannya. Peningkatan kasus akan membuat beban tenaga kesehatan meningkat drastis. Tenaga kesehatan akan kelelahan dan semakin berisiko terpapar,” kata Harif.
PPNI mencatat ada 55 perawat yang meninggal di Indonesia per hari ini akibat Covid-19, sedangkan yang terpapar sedikitnya 500 orang. Harif menekankan bahwa pandemi adalah masalah serius.
”Kita harus rasional dan mengedepankan fakta. Faktanya, Covid-19 ada di hampir semua negara. Jumlah korban meninggal di Indonesia pun mencapai lebih dari 5.000 orang,” katanya.
Sering ditemui
Hoaks soal Covid-19 kerap ditemui karyawan swasta Teddy Ariyadi (25). Sebagai warganet yang aktif di media sosial, ia menyayangkan berita bohong itu beberapa kali disampaikan oleh tokoh publik. Ia yakin ada orang yang percaya pada tokoh itu, begitu pula informasi yang disampaikan.
”Itu akan merugikan orang-orang pada akhirnya. Jadi banyak orang yang abai dan menganggap enteng Covid-19,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Menurut dia, hoaks bisa terlihat dari cara penulisan teks berita yang janggal. Informasi itu kemudian ia periksa secara mandiri di internet dan berbagai media. Teddy pun menjadi tempat mengonfirmasi kebenaran informasi oleh keluarganya.
”Kalau melihat hoaks di Twitter, aku akan dengan senang hati menegurnya dengan meme supaya tidak terlihat ngegas. Ada juga hoaks yang aku laporkan. Lebih baik jika bisa ajak orang lain melaporkan penyebar hoaks,” ujar Teddy.
Pengusaha Tevin Rayimaz (24) berpendapat bahwa media sosial mengamplifikasi opini banyak orang. Opini dan informasi tersebut ia saring lalu diambil yang bermanfaat bagi dirinya. Sebisa mungkin ia mengabaikan opini yang tidak bisa dicerna atau hoaks demi kesehatan mentalnya.
”Misalnya, ada orang-orang yang tidak percaya bahwa pandemi itu masalah serius, maka aku tidak akan menanggapinya. Kita bisa menghentikan suatu argumen tak berdasar dengan tidak menanggapinya sama sekali. Jika (informasi atau hoaksnya) parah, aku akan laporkan,” kata Tevin.
Berbahaya
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto mengatakan, infodemi bisa menyebabkan seseorang keliru mengambil tindakan pencegahan Covid-19. Lebih lanjut, kekeliruan tersebut akan membahayakan keselamatan orang lain.
”Informasi yang keliru juga bisa mendorong lahirnya kebijakan negara yang keliru juga untuk menangani pandemi. Ini bisa memperkecil kesuksesan kita menangani Covid-19. Infodemi bisa membuat mundur peradaban manusia,” ujar Damar.
Hoaks soal Covid-19 yang disebar tokoh publik dikhawatirkan menjadi justifikasi publik untuk mengabaikan protokol kesehatan. Upaya tenaga kesehatan dan para ilmuwan pun terancam sia-sia karenanya.
”Pembuat konten di media digital punya tanggung jawab terhadap pengikut atau subscriber-nya. Mereka perlu memverifikasi suatu pernyataan sehingga yang disampaikan berdasar pada fakta dan kebenaran. Jika tidak dilakukan, bisa dikatakan mereka pembuat konten yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab,” kata Damar.
Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indo (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, informasi yang terverifikasi bisa diperoleh di media massa seperti koran dan majalah. Informasi itu telah melewati proses redaksional sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Publik yang memperoleh informasi di media digital perlu memeriksa dan mengonfirmasi keabsahannya.
Pemeriksaan bisa dilakukan di sejumlah situs, seperti turnbackhoax.id dan cekfakta.com. Namun, publik belum terbiasa mengecek fakta sendiri. Menurut Eko, literasi digital di Indonesia masih rendah sehingga perlu didorong. Literasi melibatkan pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, serta pengguna media sosial yang melek informasi.
”Lebih dari 40 persen hoaks menyasar isu pencegahan dan pengobatan Covid-19. Jadi, kita perlu hati-hati jika ada klaim penemuan obat atau pencegahan Covid-19,” kata Eko.