Sineas Indonesia berpeluang masuk ke pasar film Hollywood. Ini bisa dilakukan jika sineas paham selera pasar dan pola pembuatan film ala Hollywood.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman mengenai selera pasar dan pola pembuatan film di Hollywood, pusat industri film dunia, memungkinkan sineas Indonesia menembus pasar film yang lebih luas. Talenta-talenta dalam negeri berpotensi untuk melakukannya.
Salah satu film Indonesia yang berhasil di Hollywood ialah Battle of Surabaya (2015) yang diproduksi MSV Pictures dan Universitas Amikom Yogyakarta. Per Februari 2019, film ini menerima 39 penghargaan internasional dan 3 penghargaan nasional. Salah satu penghargaan itu ialah Best Animation Feature dari Hollywood International Moving Pictures Film Festival atau HIMPFF (Kompas, 21/2/2020).
Executive Producer Battle of Surabaya sekaligus Rektor UniversitasAmikom Yogyakarta M Suyanto mengatakan, ia bekerja dengan teknik Hollywood screenplay. Ia menjabarkan Hollywood screenplay sebagai pembuatan film dengan cerita lokal, tetapi dengan pola pencitraan Hollywood.
”Dengan model (kerja) seperti itu, (karya) kita bisa diterima secara luas. Selain itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan jika ingin membuat film dengan kelas Hollywood, yaitu buatlah cerita yang memuat perjalanan dramatis dan psikologis,” kata Suyanto pada siaran langsung Kompas Talks di Instagram, Senin (24/8/2020).
Selanjutnya, ia membagikan siasat membuat skenario film. Hal ini ia pelajari dan terapkan untuk pembuatan film Battle of Surabaya.
Pertama, sineas perlu menentukan tema. Pada saat bersamaan, sineas bisa menentukan pesan yang hendak disampaikan ke audiens. Pesan itu disampaikan sejak awal film secara metafora. Makna pesan itu baru dimunculkan pada akhir film.
”Begitulah film Hollywood bercerita, yaitu dengan metafora di bagian depan film. Jika kita gali, cerita seperti ini persis seperti Kitab Suci, misalnya pada petualangan Adam, Hawa, dan Nabi Yusuf,” kata Suyanto.
Kedua, membuat karakter cerita. Karakter ini terdiri antara lain dari tokoh pahlawan, musuh yang punya kekuatan seimbang atau lebih kuat dari pahlawan, pembimbing, sahabat, tokoh yang kondisi fisik atau psikologisnya berubah-ubah, dan pelawak.
Ketiga, membangun plot atau alur cerita. Keempat, membangun lingkungan yang menggambarkan cerita.
”Saya pernah bertanya ke sineas di (perusahaan hiburan Amerika Serikat) Warner Bros tentang cara film Indonesia masuk Hollywood. Katanya, ada empat cara, pertama kita harus punya pengacara. Kedua, harus ada agensi talenta. Ketiga dan keempat, harus punya pengacara,” kata Suyanto.
Pengacara menjadi salah satu aspek penting untuk menembus industri film Hollywood. Pengacara berperan sebagai orang yang melakukan negosiasi bisnis.
Cerita lokal Indonesia, seperti dongeng dan cerita rakyat, dinilai berpotensi diangkat menjadi film Hollywood. Suyanto berpendapat, cerita lokal belum lengkap. Bagian akhirnya dinilai belum tuntas atau ”menggantung”.
”Dalam sebuah cerita, ada perjalanan yang menjelaskan soal ’aku’, ’keluargaku’, ’masyarakatku’, dan ’rahmat bagi seluruh alam’. Cerita-cerita di Indonesia biasanya masih ada di pola ’aku’ dan ’keluargaku’. Jadi, saya hanya perlu tambahkan 2-3 scene untuk membuat film dengan pola Hollywood,” kata Suyanto.
Ia dan Amikom Yogyakarta kini menggarap tujuh video pendek untuk dibawa ke Hollywood. Video itu menceritakan film Ajisaka, Akira, Golden Snail, Crimson Light, Prince of the Sea, Amir Hamzah, dan sebagainya. Pengerjaannya melibatkan dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Amikom Yogyakarta, serta pihak profesional.
Di sisi lain, tahun ini dinilai sebagai pukulan bagi industri film Nusantara. Pandemi Covid-19 memaksa dunia film Indonesia yang sedang jaya di tahun 2019 mandek. Kini sineas berpikir cara bangkit setelah pandemi usai.
Ketua Bidang Advokasi Kebijakan Badan Perfilman Indonesia (BPI) Alex Sihar mengatakan, pandemi mengubah logika bekerja dan berkarya yang selama ini terbangun. Kebudayaan dan bentuk perfilman baru mungkin terbentuk setelah pandemi (Kompas, 31/3/2020).
”Setelah pandemi Covid-19 mereda, bayangan kami apakah bisa kembali normal seperti sebelumnya? Pola konsumsi film berubah tidak? Kami rasa (kita) perlu bersiap memikirkan metode produksi baru, baik padat modal maupun pekerja, sehingga film tetap bisa dinikmati secara daring,” ucap Alex.