Amerika Serikat dan Korea Selatan menangguk sukses berkat film dan budaya pop mereka yang mendunia. Hal ini tidak serta-merta terjadi. Ada proses menahun di baliknya dan semua dimulai dengan bermimpi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amerika Serikat dan Korea Selatan dinilai berhasil ”mengangkat” negaranya melalui film. Bukan tidak mungkin Indonesia melakukan hal serupa. Angan itu bisa dimulai dengan merumuskan mimpi sebesar biji sesawi.
Dalam sebuah seminar virtual berjudul ”Cerita di Balik Layar: Diskusi Film Indonesia”, Jumat (18/9/2020), aktris dan produser Dian Sastrowardoyo mengatakan, film berperan besar untuk kemajuan suatu bangsa. Kemajuan AS, menurut dia, tidak lepas dari ”Mimpi Amerika” (American Dream).
Istilah American Dream mulai populer setelah James Truslow Adams menulis buku The Epic of America. Mulanya, ia ingin pihak penerbit menamai buku itu The American Dream, tapi tidak terwujud. Buku itu diterbitkan pada 1931 dan menjadi buku laris. Saat itu, AS sedang mengalami Depresi Hebat (Great Depression).
Konsep American Dream yang ditulis Adams membahas mimpi tentang perempuan dan laki-laki yang bisa hidup sebaik mungkin. AmericanDream juga berisi harapan, optimisme, dan rasa bangga terhadap negara. Bagi negara yang sedang krisis, American Dream itu seperti cita-cita baru.
Emmett J Winn dalam buku The American Dream and Contemporary Hollywood Cinema mengartikan American Dream sebagai kepercayaan warga AS. Kepercayaan itu tumbuh menjadi mimpi kolektif warga, kemudian membentuk persepsi akan ”hidup yang ideal”.
Warga AS percaya bahwa setiap individu bisa sukses—siapa pun—tanpa peduli status sosial, agama, ras, warna kulit, atau negara asalnya. Kesuksesan bisa dicapai asal seseorang bekerja keras dan tekun. Winn menjelaskan, American Dream adalah ”visi egaliter yang bebas dari batasan sosial”.
Kembali ke buku Adams, American Dream kemudian diadopsi ke seluruh aspek kehidupan, menjadi artikel akademis, hingga literatur sosiologi. Mimpi Amerika semakin populer ketika disisipkan ke produk budaya pop, seperti buku, majalah, lagu, acara televisi, hingga film. Ya, film.
Peneliti sosial dan penulis skenario di abad ke-20, Leo Rosten, menyatakan bahwa Mimpi Amerika memengaruhi industri film. Dalam studinya tentang Hollywood pada 1939, American Dream disebut membentuk kerangka perfilman modern Amerika.
Ada beberapa film yang memproyeksikan Mimpi Amerika. Mengutip Culture Trip, film-film itu antara lain The Great Gatsby (2013), The Pursuit of Happyness (2006), Forrest Gump (1994), dan Citizen Kane (1941).
Pengaruh dari ekonomi
Dian Sastrowardoyo mengatakan, kesuksesan Hollywood sebagai pusat industri film tidak lepas dari kondisi ekonomi negara yang baik. Pulihnya ekonomi AS dari Depresi Hebat dipengaruhi oleh Mimpi Amerika.
”Sebuah negara bisa berkembang jika publik punya kepercayaan kuat kepada institusi perbankan. Publik akan menabung. Simpanan yang dipercayakan ke bank kemudian diinvestasikan ke industri di berbagai sektor, termasuk film,” kata Dian yang mengambil gelar magister manajemen di Universitas Indonesia.
Dian menambahkan, Mimpi Amerika membuat warga berani bermimpi besar. Mereka bekerja keras agar sukses. Hal itu turut mendorong orang untuk menabung sehingga perbankan bisa berinvestasi.
”Indonesia belum punya Indonesian dream akan hidup yang ideal. Ini peran industri kreatif dan perfilman untuk membentuk imajinasi itu. Sebagai contoh, Indonesia bisa merdeka dari penjajahan karena ada beberapa tokoh yang bermimpi tentang kemerdekaan. Jika kita bermimpi bersama, jangan-jangan mimpi itu bisa terwujud,” tutur Dian.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (Pilar) Salman Aristo mengatakan, industri film Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Ini karena edukasi belum dianggap sebagai mata rantai esensial bagi ekosistem film.
Ada beberapa mata rantai penting dalam ekosistem, yakni investasi, produksi, ekshibisi, dan edukasi. ”Edukasi tentang film sebenarnya ada, tapi masih lemah. Lemahnya aspek edukasi membuat eksosistem film berjalan pincang,” ujar Salman pada awal September 2020.
Korea Selatan
Berkaca pada Korea Selatan, pemerintah dinilai berperan penting untuk mendukung para sineas muda yang berani mendobrak stereotip lama dalam film. Pemerintah membentuk Badan Film Korea dan menyuntikkan dana hingga 1 juta dollar AS bagi sineas independen untuk biaya produksi film. Badan tersebut juga mencarikan distributor internasional untuk pemasaran film (Kompas, 11/2/2020).
Korea Selatan juga mendirikan Korean Academy of Film Arts yang mencetak para pekerja film, termasuk sutradara Parasite, Bong Joon-ho. Bioskop-bioskop alternatif pun mendapat subsidi agar konsisten menampilkan film berkualitas. Bertahun-tahun kemudian, upaya ini membuahkan hasil.
Selain film layar lebar, ”Negeri Ginseng” juga terkenal dengan produksi drama televisi. Drama mereka digemari karena ide ceritanya segar dan eksploratif. Eksekusinya pun apik. Beberapa orang mengaku ketagihan setelah menonton drama sekali, misalnya Crash Landing on You.
Dari drama, film, hingga K-pop, orang-orang di seluruh dunia belajar mengenal kebiasaan hidup orang Korsel. Misalnya, makan ramyeon dengan panci, pakai kosmetik ala eonni-eonni Korea, hingga makan gorengan sambil mencocol saus tteokbokki. Segala yang berbau Korea kini jadi hal gaul bagi orang-orang. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada perekonomian Korsel.
”Segyehwa”
Bertahun lalu, Pemerintah Korsel punya misi menjadikan negaranya berpengaruh bagi dunia global. Misi itu disebut segyehwa. Jika diartikan secara sederhana, artinya globalisasi.
Segyehwa adalah kebijakan yang ada di era Presiden Kim Young-sam (masa jabatan 1993-1998). Kebijakan ini diterapkan, antara lain, di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Pemerintah juga mendorong masyarakat agar mengadopsi cara berpikir baru yang lebih terbuka.
Kebijakan ini mengedepankan efisiensi kerja dan meminimalkan malapraktik. Dengan segyehwa, semua institusi diharapkan mengadopsi sistem kerja bertaraf global. Pemerintah berangan agar Korsel menjadi destinasi untuk berinvestasi, berwisata, dan sebagainya.
Penasihat Senior untuk Wakil Perdana Menteri Korea Selatan Shim Sang-dal pada 1996 mengatakan, Korea cukup bangga dengan pencapaian mereka, yakni membangun industri tanpa banyak campur tangan negara lain. Namun, menurut dia, strategi lama seperti itu tak lagi efektif. ”Inti dari segyehwa adalah mengubah pola pikir tersebut,” kata Shim, seperti dikutip dari New York Times (16/9/1996).
Pencapaian Korsel dan AS nyatanya berawal ”hanya” dari sebuah mimpi. Mimpi itu dipupuk dengan tekun selama bertahun-tahun hingga kini berbuah. Apakah Indonesia akan berani bermimpi?