Tiga film pendek buatan sineas Indonesia ditayangkan di festival film Eropa, Europe on Screen. Dari sini mereka berharap bisa berkarya lebih baik di industri film dalam negeri.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Setelah menang Short Film Pitching Project 2019, tiga film terpilh ditayangkan di festival film Eropa atau Europe on Screen 2020, Rabu (25/11/2020), secara virtual. Kendati tidak jadi ditampilkan di layar lebar, para sineas senang karena karyanya bisa dinikmati publik.
Tiga film tersebut adalah Kisah Para Pencuri atau A Tale of the Thieves, Nebeng atau Along the Road, dan Forget the Bomb in the Backyard, We’re Fine! Semuanya buatan orang Indonesia. Ketiganya terpilih sebagai yang terbaik pada Short Film Pitching Project (SFPP) 2019. Program bagi sineas pemula itu bagian dari rangkaian Europe on Screen (EoS).
Ada 120 proposal film yang diterima panitia. Proposal yang masuk disaring menjadi sepuluh judul. Tiga pemenang menerima pendanaan untuk memproduksi film pendek mereka. Setelahnya, film-film itu dikompilasi dan ditayangkan di EoS tahun ini.
Seharusnya, ketiga film tersebut diputar di layar lebar selama festival berlangsung. Festival seharusnya dilaksanakan pada 9-19 April 2020. Namun, penyelenggaraannya mundur menjadi 16-30 November 2020 akibat pandemi. EoS 2020 akhirnya digelar secara virtual.
Sutradara Nebeng, M Faisal Hibatullah, mengaku senang filmnya akhirnya diputar. Ia sempat pesimistis filmnya akan tayang. ”Tidak menyangka akhirnya film ini tayang juga,” katanya.
Nebeng jadi pemenang ketiga di SFPP 2019. Film berdurasi 20 menit ini berkisah tentang psikolog dan pemerkosa yang telah melakukan sejumlah kejahatan seksual. Mereka melakukan permainan manipulasi hingga akhirnya sang psikolog tertarik dengan sang pemerkosa.
Film pemenang kedua, Forget the Bomb in the Backyard, We’re Fine!, adalah tentang kesibukan dua sahabat menggarap tugas kuliah. Kegiatan mereka terganggu oleh bom yang ditemukan di kawasan parkir.
Pelaku industri film tidak hanya diajarkan soal kreativitas, tetapi juga kewirausahaan. Kewirausahaan jadi fondasi penting untuk keberlanjutan ekosistem film.
Sang sutradara, Lerryant Krisdy, mengatakan, kisah itu diangkat dari pengalaman pribadinya saat ada bom di tempat umum beberapa waktu silam. Orang-orang tampak tenang saja. Ledakan bom tidak menghentikan orang sekitar untuk makan di pinggir jalan, berswa foto, hingga melakukan siaran langsung di media sosial.
”Itu situasi yang sangat kekanakan. Saya jadi terpikir untuk diangkat jadi film. Tetapi, film ini tidak dibuat dramatis karena nanti tidak sesuai dengan kenyataan. Kisah ini dibuat dalam humor khas anak muda,” kata Lerryant.
Juara SFPP 2019, film Kisah Para Pencuri, bercerita tentang waria yang harus menyamar agar bisa mengikuti pengajian. Suatu masa, ia harus membongkar penyamaran dan diusir oleh komunitasnya. Ide cerita berdasarkan ”penggerebekan” waria oleh suatu ormas agama di Yogyakarta, pada 2016.
”Ini berdasarkan apa yang terjadi pada 2016. Kami pikir ini menarik untuk diangkat menjadi fiksi dan menampilkan realitas baru,” kata sutradara Erlangga Fauzan.
Rencana ke depan
Produser Kisah Para Pencuri, Basundara Murba Anggana, mengatakan, untuk jangka pendek, ia berencana memutar filmnya untuk publik di Yogyakarta. Adapun rencana jangka panjang adalah mendistribusikan film ke berbagai platform, termasuk festival-festival film.
Menurut rencana, film Forget the Bomb in the Backyard, We’re Fine! rakan ditayangkan di platform daring. Adapun Nebeng akan didistribusikan lebih luas ke berbagai platform. Produser Nebeng, Dwi Santika, mengatakan, sudah ada rumah produksi yang tertarik membeli film karyanya.
Dwi menambahkan, ia berencana membuat lebih banyak karya dengan kualitas yang lebih baik. Adapun tantangan yang dihadapi sebagai sineas independen ialah pendanaan dan meyakinkan calon investor untuk berkontribusi di produksi film.
”Benar-benar harus pintar menjalin relasi ke berbagai kalangan. Bentuk kontribusi untuk film tidak hanya sekadar fresh money, tetapi juga bisa dengan dukungan alat, promosi, dan lainnya,” kata Dwi.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, ekosistem film Indonesia masih punya banyak tantangan. Beberapa di antaranya adalah akses permodalan, pendidikan perfilman di daerah, dan koordinasi di antara pemangku kepentingan.
”Kita tidak kekurangan (potensi) di bidang kreativitas. Tetapi, ada banyak tantangan lain yang harus diselesaikan dari hilir ke hulu. Koordinasi antar-kementerian sudah ada, tetapi masih ada tumpang tindih tanggung jawab. Ini wajar karena batas tanggung jawab di hulu dan hilir kabur. Tetapi, ini jadi proses belajar bersama,” ujar Hilmar.
Menurut Deputi VII Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Muhammad Neil El Himam, pihaknya akan meneruskan program-program Badan Ekonomi Kreatif sebelumnya. Program Kemenparekraf yang sudah berjalan, antara lain,pendanaan produksi film pendek, kerja sama dengan platform streaming video, dan membuat kelas khusus dengan para ahli perfilman.
”Harapannya tahun depan ada road map yang lebih jelas, termasuk untuk melanjutkan program-program Bekraf,” ucap Neil.
Sementara itu, Ketua Bidang Fasilitasi Pembiayaan Film Badan Perfilman Indonesia Agung Sentausa mengatakan, redefinisi film diperlukan di era digital. Ini karena film selama ini dipandang sebagai karya yang ditayangkan di bioskop, sedangkan yang tayang di televisi atau internet adalah video.
Film kini didefinisikan sebagai segala bentuk gambar bergerak dengan atau tanpa suara. Dengan ini, riset atau pendataan menyeluruh tentang film masa kini bisa dilakukan. Setelahnya, menyusun prioritas dan arah pengembangan industri film dalam negeri jadi penting.
”Meningkatkan kualitas, kapasitas, dan profesionalisme SDM sesuai standar kompetensi minimal juga penting. Jadi, pelaku industri film tidak hanya diajarkan soal kreativitas, tetapi juga kewirausahaan. Kewirausahaan jadi fondasi penting untuk keberlanjutan ekosistem film,” kata Agung.