Andi Bachtiar Yusuf: Kru Film Alih Profesi akibat Terhentinya Produksi Film
Industri perfilman Indonesia merasakan dampak dari merebaknya virus korona jenis baru penyebab Covid-19. Meski sulit, para sutradara terus berpikir kreatif untuk menjalankan roda industri film.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Bagi produser, sutradara, dan penulis naskah Andi Bachtiar Yusuf, awal April ini seharusnya menjadi waktu yang sibuk untuk memproduksi sekuel dari Dealova (2005). Film yang saat itu sukses ditonton lebih dari 1,75 juta penonton Indonesia itu akan diproduksi di Jakarta, Surabaya, Magelang, dan Pacitan. Sekitar 80 persen persiapan shooting sudah dilaksanakan.
Namun, rencana pengambilan gambar untuk film yang menelan biaya sekitar Rp 7 miliar itu harus ditunda entah sampai kapan karena wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19). Menurut dia, untuk aktor utama yang mementingkan keselamatan memang tidak masalah apabila shooting ditunda karena pendapatan mereka cukup besar.
Akan tetapi, bagi puluhan kru dan tim pendukung yang mengandalkan pendapatan harian atau mingguan dari produksi film tentu hal ini sangat mengganggu. Kru dan pendukung film ini termasuk sopir, teknisi listrik, konsumsi, dan pekerja produksi bangunan yang menyiapkan lokasi shooting.
”Kru film meminta agar shooting tetap berjalan karena kalau tidak ada shooting, mereka tidak ada pekerjaan,” kata Andi, dihubungi di Jakarta, Senin (30/3/2020). Namun, demi kepentingan keselamatan nasional, Andi memutuskan agar shooting ditunda, paling cepat hingga Juni.
Terhentinya produksi film membuat kru dan tim pendukung kembali ke daerah masing-masing. ”Sebagian ada yang pulang kampung. Daripada tinggal di kota penuh ketidakpastian, mereka memutuskan kembali ke sawah untuk bertani. Katanya, kalau di desa masih ada pekerjaan. Ada juga yang ingin pulang kampung, tetapi kemudian tertahan karena pak RT dan pak RW tempat tinggalnya menganjurkan untuk tetap di rumah. Beberapa kru alih profesi menjadi sopir ojek daring. Tetapi, jadi ojek juga susah karena tidak ada penumpang,” kata Andi.
Sutradara yang menyabet Piala Citra untuk Penulis Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia 2018 ini mengatakan, dampak ekonomi akibat wabah Covid-19 memukul industri film.
Apalagi, situasi produksi film Indonesia masih jauh dari ideal, seperti sebagian besar kru dan tim pendukung yang bekerja tanpa kontrak resmi dari rumah produksi, tanpa jaminan asuransi, dan dengan penghasilan yang masih minim.
Dengan munculnya Covid-19, persiapan produksi, produksi, dan rencana pemutaran sejumlah film di Indonesia otomatis terganggu. Selain Dealova 2, film Yowis Ben 3 yang disutradarai Fajar Nugros dan dibintangi Bayu Skak, Joshua Suherman, dan Brandon Salim juga harus dihentikan. Seharusnya, film ini diproduksi sejak Maret lalu di Malang, Jawa Timur. Kru film harus dikembalikan ke Jakarta dengan naik pesawat untuk mengurangi risiko keselamatan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), sudah ada 15 proyek produksi film yang ditunda eksekusinya sejak Maret hingga April 2020. Jumlah proyek ini baru mencakup film komersial atau layar lebar, belum termasuk film dokumenter dan serial.
Sebagian kru ada yang pulang kampung. Daripada tinggal di kota penuh ketidakpastian, mereka memutuskan kembali ke sawah untuk bertani.
Menurut Andi, jumlah riil di lapangan bisa lebih besar daripada data Aprofi mengingat banyak produksi film yang tidak tercatat. ”Dampak ekonominya besar banget. Industri ini tidak hanya bicara satu-dua orang yang mempunyai nama besar, seperti sutradara atau aktor, tetapi banyak masyarakat kecil yang menjadi kru film yang juga terdampak,” katanya.
Dalam setahun, ada sekitar 120-130 judul film Indonesia yang tayang di bioskop. Setiap produksi film melibatkan lebih dari 100 orang dengan biaya produksi Rp 5 miliar-Rp 40 miliar per judul. Sejak Januari hingga Maret 2020, sekitar 30 film sudah ditayangkan.
Beberapa film, termasuk The Science of Fictions, KKN di Desa Penari, Tersanjung The Movie, dan Mudik, terpaksa ditunda penayangannya hingga waktu yang tidak pasti karena banyak jaringan bioskop tutup. Hal ini memukul industri film nasional yang memasang target 60 juta penonton sepanjang 2020. Berdasarkan data per 20 Maret 2020 yang diambil dari filmindonesia.or.id, film nasional telah ditonton oleh lebih dari 12 juta orang.
Beberapa kru alih profesi menjadi sopir ojek daring. Tetapi, jadi ojek juga susah karena tidak ada penumpang.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Badan Perfilman (BPI) Indonesia yang juga pengusaha, produser film, dan pemilik rumah produksi PT Kharisma Starvision Plus, Chand Parwez Servia, memperkirakan, industri film akan terganggu selama setahun akibat wabah. ”Kalau kita bisa menyelamatkan sekitar 25 persen dari industri saja, itu sudah bagus,” katanya.
Dengan situasi ini, Parwez mengatakan, insan film berusaha saling menyemangati pada masa-masa sulit seperti ini. Ia juga menuturkan, dengan minimnya kegiatan produksi film Indonesia, kesempatan ini menjadi jeda yang baik untuk merumuskan kembali sistem film nasional dan memikirkan bagaimana memberantas pembajakan film yang masif.